Candi Cetho juga merupakan gerbang jalur pendakian Gunung Lawu yang banyak diminati para pendaki. Jalur ini menjadi alternatif selain Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu yang dikenal terlebih dulu.
Jarak tempuh pendakian melalui Candi Cetho memang lebih panjang dibanding dua jalur lainnya. Namun suasananya terbilang masih sangat asri, bersih, dan alami. Kondisi jalurnya adalah trek tanah dengan vegetasi cukup rapat sehingga sangat terasa nuansa pegunungan
Selain kawasan Candi Cetho, tempat ini pun juga tersedia Candi Kethek. Candi ini berada di jalur pendakian sehingga bagi yang bukan pendaki pasti tidak banyak yang tahu tentang Candi Kethek ini. Selain Candi Kethek, daerah ini juga mempunyai Pelataran Dewi Sarasvati. Dimana patung sarasvati ini merupakan pemberian dari Pemerintah Gianyar. Tetapi, pada saat Karanganyar dipimpin oleh Bupati Iriana. Patung ini di taruh di kawasan Candi Cetho sebagai salah satu daya tarik wisata.
Fasilitas penunjang wisata yang berada di area Candi Cetho terbilang sudah cukup lengkap. Area parkir bagi kendaraan bermotor milik wisatawan telah tersedia. Penjual makanan dan penginapan pun mudah ditemukan di area pintu masuk dan keluar candi. Dan harga yang tersedia cukup tidak terlalu mahal.
Bagi pecinta sejarah, Candi Cetho memiliki sejarah dari pembangunan hingga ditemukannya oleh Van De Vlis pada 1842. Â Berdasarkan penelitian, candi ini dibangun pada tahun 1451 -1470. Oleh Raja Brawijaya V. pembangunan candi ini berfungsi sebagai tolak bala atau ruwatan dan candi tersebut bercorak Hindu Syiwa. Karena pada masa itu Kerajaan Majapahit sedang mengalami proses keruntuhan dengan memuncaknya kekacauan sosial, politik, budaya dan bahkan tata keagamaan sebelum akhirnya mengalami keruntuhan total pada tahun 1519 M. Situs Candi Cetho mempunyai kaitan erat dengan Situs Candi Sukuh yang letaknya di dataran yang lebih rendah dan dengan jarak yang relatif berdekatan. Sama halnya dengan Situs Candi Sukuh yang dibangun pada abad 1439 Masehi yang mempunyai hubungan dengan ritual upacara ruwatan.
Setelah ditemukan oleh Van De Vlis, pada tahun 1928 Dinas Purbakala mengadakan penelitian dalam rangka pemugaran, dari penelitian ini tidak diperoleh cukup bukti untuk merekonstruksi bangunan batu yang berada di puncak bukit. Lalu pada tahun 1975-1976, Inspektur Jenderal Pembangunan (Irjenbang), Sudjono Hoemardhani melakukan pemugaran situs menjadi seperti yang terlihat sekarang ini. Namun sangat disayangkan bahwa pemugaran tersebut dilakukan tanpa memperhatikan aspek arkeologis, sehingga keaslian bentuknya tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah, seperti penambahan pondasi dan bangunan kayu.
Terlepas dari itu semua, kawasan Candi Cetho masih menunjukkan daya tarik tersendiri bagi masyarakat luas terutama yang beragama hindu untuk menyempatkan berkunjung baik untuk beribadah ataupun berwisata. Hingga saat tulisan ini ditulis, Candi Cetho kembali ramai setelah berkali-kali dibuka tutup untuk pencegahan penyebaran Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H