Kita di bumi mengenal benda dalam 3 bentuk yakni benda padat, benda cair, dan benda berbentuk gas. Sebenarnya ada zat keempat, yakni plasma. Misalnya es itu zat padat, kalau dipanaskan jadi zat cair, kalau kita panaskan lagi jadi uap atau gas. Nah kalau gas kita panaskan lagi jadi ion dan dia menjadi zat keempat. Singkat kata, plasma adalah kumpulan dari elektron bebas, ion, dan atom bebas. Plasma pertama kali diperkenalkan di tahun 1928 oleh peneliti Amerika, Irving Langmuir (1881-1957) dalam eksperimennya melalui lampu tungsten filament. Dalam kehidupan se-hari-hari, contoh plasma adalah matahari, petir, dan lampu neon.
Kompasianers tahu kenapa Allah menciptakan petir? Kata para pakar, salah satu fungsi petir adalah membersihkan atau mereduksi polutan di udara. Fenomena loncatan ion inilah yang ”ditiru” pada teknologi plasma. Kompasianers mohon melihat foto di bawah judul postingan ini. Tampak loncatan ”petir” dari sebuah plasma torch.
Teknologi Plasma Teknologi ini dikembangkan oleh Dr Anto Tri Sugiarto sebagai pemegang hak paten IPAL teknologi plasma di Japan Office Patent No. 4111858. Beliau adalah peneliti dari Pusat Kalibrasi Instrumentasi dan Metrologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2KIM-LIPI). Konsep dasarnya adalah memanfaatkan teknologi advanced oxidation process, atau proses oksidasi lanjutan, yang mengombinasikan teknologi plasma dari radiasi sinar ultraviolet, ozon, dan plasma. Dalam reaktor plasma yang disebut reaktor ozonized water, terjadi proses pelarutan gas ozon dalam air. Gas ozon memiliki kemampuan untuk membunuh bakteri serta mengurai bakteri. Hasilnya? Selain air menjadi jernih, semua polutan yang terkandung dalam air limbah akan terurai bebas endapan.
Air limbah masuk ke dalam tabung reaktor plasma dan setelah itu air akan mengalir ke tabung pengendapan. Tabung pengendapan ini berfungsi untuk memisahkan dan mengendapkan polutan yang berbahan logam atau non-organik. Tahap selanjutnya, apabila dalam limbah terkandung gas tertentu, gas tersebut akan dikeluarkan melalui exhausting fan yang prinsip kerjanya mirip dengan cerobong asap. Dan, tahap terakhir adalah air masuk ke dalam tabung filter. Setelah itu, barulah hasil daur ulang air limbah tersebut bisa dibuang lagi ke sungai ataupun digunakan lagi untuk proses produksi industri tersebut selanjutnya
Bravo Pasadena Engineering Indonesia Plasma dibanding biological dan chemical memiliki keunggulan antara lain membutuhkan areal IPAL yang sempit, waktu pengolahan yang pendek, slude yang sedikit (sebagian besar vinase diubah menjadi CO2 dan H2O), operasional yang simple, biaya operasional yang lebih murah. Namun berapakah biaya invest plasma?
Sri Hardiman Eko Yulianto, Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sukoharjo membeli IPAL mobile (MT) seharga Rp 450 juta dari PT Pasadena Engineering Indonesia (PEI), perusahaan yang ditunjuk Dr. Anto untuk merealisasi gagasannya (dengan merk PLASMAX). Alat ini berkapasitas 5 m3 per jam, dengan power 10 kW (menurut Dr Anto, per 1 m3 limbah membutuhkan daya listrik lebih kurang 300 Watt, tidak lebih dari sebuah rice cooker).
Sekadar informasi, teknologi plasma antara lain telah dipakai oleh Plaza Semanggi, Kansai Paint, dan Gadjah Tunggal, disamping Pemda Kab Sukoharjo. PT PEI memproduksi 2 tipe yakni Stationary Type (ST) untuk industri, rumah sakit, domestik, dan pabrik tekstil berkapasitas mengolah limbah 20 m3 sampai dengan 200 m3 per hari. Tipe Mobile Type (MT) untuk pabrik tekstil, industri, dan pengolahan oli bekas berkapasitas 1 m3 sampai 7 m3 per hari, dengan batasan maksimal COD limbah (inlet) sebesar 30.000 ppm.
Komentar terhadap rekan saya, Pak Ricky dari PT PEI.....hebat dan salut atas kerja sama dengan Dr Anto. Bravo karena Pak Ricky tidak saja merekayasa peralatan bioetanol tetapi juga memikirkan penanganan vinase (kapan ”suling perdana” pabrik bioetanol di pesantren Alzay, di Lebak, dan di NAD ?). Boleh tanya ya Pak Ricky, COD vinase sering mencapai 50.000 ppm, apakah Plasmax mampu mengelola tanpa vinase ”diencerkan” ? Demikian juga tampaknya kapasitas Plasmax hanya sampai pabrik bioetanol skala kecil (1 Kl s/d 15 Kl) ? Bagaimana dengan skala menengah (>15 Kl s/d < 60 Kl), bahkan skala besar (> 60 Kl) ?
Mahal ? By the way....apakah plasmax mahal atau murah bagi bioetanolist ? Tampaknya dapat dipastikan harga IPAL ini tidak terjangkau bagi bioetanolist skala UMKM. Meski Rp 450 juta tersebut termasuk sebuah truk –seperti mobil box- yang membawa IPAL mampu berkeliling lho ! Apabila UMKM tidak mampu membeli plasmax, apakah pemerintah akan menerapkan ”tindakan pembiaran” bila para bioetanolist membuang limbah vinasenya ke got, parit, selokan, dan sungai ? Bila ini yang terjadi maka Kep-51/MENLH/10/1995 dan Perda yang terkait hanyalah sekadar tulisan doang !
Ini PR kita bersama dan seharusnya pemerintah memperhatikan hal ini sebelum ”demam bioetanol” berlanjut. Seyogianya pemerintah mengadopsi teknologi plasma agar dapat tersedia dengan murah atau pemerintah menyediakan IPAL berbasis plasma, seperti Pak Sri Hardiman yang memperoleh dana untuk membeli IPAL Plasmax mobile dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Menteri Lingkungan Hidup. Bila masalah dana tidak terpecahkan maka ironi, karena kita akan menikmati ”langit biru” berkat bensin-berbioetanol dan/atau kompor di dapur ber-biokerosin, tetapi air tanah tercemar oleh vinase.