Dalam gelap aku berjalan menyusuri jalan setapak penuh onak.
Semak belukar menghimpit hingga kuterjepit.
Sedikit harap penantian panjang akan berakhir.
Khawatir mendera apakah aku menemukan kampung penandak.
Di ujung jalan seberkas cahaya menyapaku.
Selembut sutera membelai mata, berkilau buatku terpukau
Risau hati berangsur gugur berubah syukur.
Hablur dari kejauhan bangkitkan harapan di depan kampung idaman.
Nuansa gelap mulai tersingkap.
Degap jantung sudah tak terhitung.
Kampung penuh ingar bingar buatku nanar.
Terpancar aroma melati dari balik pohon jati.
Hati tak kerasan dengar suara cekikikan.
Gamelan bersenandung tak terbendung.
Berkerudung putih gadis gadis berlatih.
Letih bercampur cemas buatku tersungkur.
Tegur manja dari wajah mirip Anya buatku pasrah.
Narwastu menyerbak melalui helai rambut yang tersibak.
Bulu-bulu halus menjelajah wajah hingga bagian bawah.
Begitu lihai menari nari hingga persendian tak kuat menopang getaran magma yang siap menyemburkan lava.Â
Gerak-gerik, lenggak-lenggok menemani hingga ayam berkokok.
Tak terasa sudah berkali-kali rokok menjadi rebutan para penandak.
Roy Dabut
Bekasi, 3 Nov 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H