Hening. Semua bingung karena ternyata di antara kami bertiga tidak ada yang memiliki kebiasaan menghabiskan waktu di malam minggu. Mungkin karena malam minggu memang tak ada bedanya dengan malam-malam yang lain.
Agus lalu membaringkan tubuh, karena teledor kepalanya membentur dinding. Vina tertawa melihat Agus mengusap kepalanya yang mungkin saja beberapa menit lagi akan benjol. Saya masih bingung memikirkan apakah malam minggu itu akan saya lewatkan dengan tidur seperti malam-malam sebelumnya.
Saya tak sanggup membayangkan jika di masa tua nanti saya tak dapat bercerita banyak kepada anak cucu saya karena sebagian waktu muda saya hanya dihabiskan di dalam kamar. Saya mengamati Agus yang terlihat masih kesakitan. Di atas meja, pisang susu yang saya beli tadi seperti bertambah kuning.Â
Di bawah meja, sepatu milik saya terlihat seperti bertanya apakah ia akan kupakai malam nanti untuk sekedar berjalan-jalan.
Saya kembali melihat ke atas meja, ingin memastikan sesuatu yang terlewat dari pandangan, ternyata ada sebuah buku tergeletak. Di sisi sampul buku tertulis judul Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Ah iya, saya baru saja membacanya tadi pagi.Â
Ketika membacanya, saya bahkan sempat berharap jikalau saja Pram dapat hidup kembali, saya ingin segera bertemu dan menanyakan kepadanya mengapa ia begitu hebat dalam menulis.
Tiba-tiba saya ingat kalau Pram ternyata masih punya adik. Adik satu-satunya yang masih hidup dan kini tinggal di Blora. Dialah Soesilo Toer. Sang doktor ekonomi politik alumni Universitas Plekhanov Moskow, Uni Soviet. Ketika pulang dari masa belajarnya harus mendekam di penjara selama enam tahun.Â
Ijazahnya tak diakui negara karena ia dituduh sebagai simpatisan partai komunis, tidak lain karena ia juga adik kandung dari Pramoedya Ananta Toer, sang pemilik nomor urut 02 ketika berada di kamp pengasingan Pulau Buru.
Saya langsung berpikir, meskipun di dunia ini saya tak dapat bertemu Pram, setidaknya saya masih dapat bertemu dengan adik, yang kata orang-orang, adalah adik kesayangannya itu. Maka sore itu saya memutuskan untuk menghabiskan malam minggu di perjalanan menuju Blora.Â
Saya mengutarakan pikiran saya kepada Agus dan Vina. Agus segera bangkit dan setuju, sepertinya kepalanya tak jadi benjol. Vina tak bisa ikut karena masih lelah dan syukur puji Tuhan, ia mengijinkan kami memakai motornya.
Keputusan yang saya buat ketika itu mungkin cukup gila bagi kebanyakan orang, Agus pun juga lebih gila karena langsung saja setuju tanpa pikir panjang. Ternyata dari dulu ia pun sangat ingin bertemu dengan adik Pram tersebut. Mungkin hanya Vina yang masih waras diantara kami.Â