Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Bagaimana Strict Liability dapat Menjerat Korporasi Perusak Lingkungan Hidup?

26 Juli 2022   19:58 Diperbarui: 26 Juli 2022   20:02 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korporasi perusak lingkungan hidup (Sumber: mediaindonesia.com)

Pada tahun 2004, negeri ini pernah digegerkan oleh sebuah kasus pencemaran lingkungan yang begitu membahayakan. Sebuah perusahaan tambang asal Amerika Serikat, PT. Newmont Minahasa Raya (NMR), membuang limbah tailingnya secara bebas ke laut yang berada di Teluk Buyat, Sulawesi Utara.

Dilaporkan bahwa jumlah limbah tailing yang dibuang ke Teluk Buyat selama PT. NMR beroperasi adalah sekitar 5 juta ton. PT NMR mengklaim jika mereka telah mengantongi izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan limbah yang mereka buang telah memenuhi persyaratan teknis untuk dibuang ke dasar laut. Salah satunya mereka melaporkan bahwa limbah tersebut telah melalui proses detoksifikasi dan dibuang ke dasar laut dengan kedalaman 3000 -- 4000 meter.

Tetapi temuan-meskipun tak pernah dipublikasikan-dari tim independen yang dibentuk Gubernur Sulawesi Utara pada tahun 1999 menunjukkan hasil yang berbeda dari klaim PT NMR tersebut. Dalam temuan tim independen itu, justru limbah tailing ditemukan di kedalaman sekitar 82 meter. Selain itu ditemukan sekitar empat kandungan logam berat di sekitar perairan Teluk Buyat yang berada pada level yang berbahaya.

Berbagai laporan dan debat teknis di atas seringkali tak dapat dipahami oleh masyarakat awam yang hanya merasakan dampak langsungnya. Belakangan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin Soedarto menolak gugatan pemerintah Indonesia terhadap PT NMR dengan alasan mematuhi kontrak karya, meskipun sebelumnya di tingkat Pengadilan Negeri Manado, Jaksa Penuntut Umum menuntut Presiden Direktur PT NMR karena telah menyalahgunakan wewenang.

Meski telah terjadi hampir dua dekade lalu, kasus PT NMR di atas telah menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum lingkungan hidup di Indonesia. Bisakah suatu korporasi perusak lingkungan hidup terbebas dari jeratan hukum hanya karena persoalan teknis?

Mekanisme Pertanggungjawaban Korporasi

Pada masa-masa awal pembentukan hukum terutama dari segi hukum pidana, para pembuat undang-undang berpikir bahwa hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum pidana.

Khusus di Indonesia, di dalam KUHP tidak dikenal adanya satu ketentuan pun yang menetapkan korporasi sebagai subyek delik dalam hukum pidana. Hal ini dikarenakan secara historis KUHP bersumber dari Code Napoleon yang tidak mengenal subyek hukum pidana korporasi. KUHP hanya mengenal orang (naturrlijk person) sebagai subyek hukum pidana.

Tetapi dalam perkembangannya, para pembuat undang-undang mulai sadar bahwa manusia bisa melakukan sebuah tindak pidana di dalam, melalui dan atas nama sebuah organisasi sehingga muncul pengaturan terhadap rechts persoon sebagai subjek hukum dalam hukum pidana.

Korporasi yang awalnya hanya dipandang sebagai badan hukum keperdataan dan hanya dapat dikenakan sanksi-sanksi keperdataan pada perkembangannya mulai dimasukkan kedalam dimensi subjek hukum pidana.

Dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi karya Mahrus Ali disebutkan bahwa Indonesia setidaknya memiliki 18 undang-undang pidana di luar KUHP yang memuat dasar teoritis penentuan tindak pidana korporasi yang salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 32  Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau biasa disingkat UU PPLH.

Dalam pasa 116 ayat (1) disebutkan "Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. badan usaha; dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut".

Terdapat frasa "apabila tindakan pidana lingkungan hidup oleh, untuk, atau atas nama badan usaha.." yang memberi makna bahwa korporasi dikatakan melakukan tindak pidana secara langsung melalui orang yang sangat berhubungan erat dengan korporasi dan dapat dipandang sebagai tindakan korporasi itu sendiri.

Dengan kata lain setiap perbuatan orang/karyawan yang berada dalam lingkup korporasi dan dengan tindakannya itu ia mengatasnamakan dan untuk korporasi, lalu karena tindakannya itu berakibat pada kerugian banyak orang termasuk kerusakan lingkungan hidup, maka tindakan tersebut dapat disamakan dengan tindak pidana korporasi (tempatnya bernaung) , dan korporasi tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban.

Kehadiran UU PPLH dinilai menjadi salah satu langkah penting dalam usaha penegakan lingkungan hidup di Indonesia. Terutama dalam upaya menghukum korporasi yang dalam prakteknya selalu menjadi biang utama kerusakan lingkungan hidup.

Bagaimana Strict Liability Bekerja?

Pada kasus PT NMR, dan untuk kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup yang lain, upaya untuk menghukum korporasi sudah sepatutnya dijalankan.

Tetapi dalam prosesnya, untuk menghukum sebuah korporasi tak semudah yang dibayangkan. Hal ini disebabkan kasus-kasus kerusakan lingkungan hidup seringkali melibatkan teknologi tingkat tinggi dan proses yang bersifat sangat teknis.

Apabila korbannya masyarakat adat-rakyat jelata yang tak memahami cara kerja kerusakan tersebut apa yang akan melegitimasi gugatan mereka dalam upaya menggugat sebuah korporasi?

Dalam teori hukum, kita mengenal sebuah konsep yang cukup menarik yaitu strict liability. Mengutip Andri G. Wibisana dalam buku Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata, strict liability adalah konsep pertanggungjawaban yang tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri tergugat tetapi telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat.

Konsep ini tidak tergolong baru karena telah diperkenalkan pertama kali dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup j.o. UU PPLH. Dalam pasal 88 disebutkan "Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan."

Dengan kata lain, apabila masyarakat hendak menggugat dengan konsep ini, masyarakat tak perlu susah payah membuktikan apakah korporasi telah melanggar hukum atau tidak sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.

Konsep tersebut lahir dari logika bahwa dalam setiap aktivitasnya, korporasi seringkali melibatkan teknologi tingkat tinggi-beresiko, serta wilayah operasinya berada di sektor-sektor yang beririsan dengan hajat hidup orang banyak.

Maka setiap dampak yang dihasilkan dari aktivitas korporasi , dianggap telah diketahui resikonya oleh korporasi tersebut sehingga pencemaran dan kerusakan apapun yang dihasilkan merupakan pertanggungjawaban korporasi terlepas apakah masyarakat mengetahui hubungan kausalitasnya atau tidak.

Strict liability memiliki perbedaan dengan sistem tanggung jawab pidana umum yang mensyaratkan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan. Dalam strict liability hanya disyaratkan pengetahuan dan perbuatan dari korporasi.

Artinya, dalam melakukan perbuatan tersebut, apabila korporasi mengetahui atau menyadari tentang potensi kerusakan dan kerugian bagi masyarakat ataupun lingkungan hidup, maka keadaan tersebut sudah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana.

Konsep tersebut sangat memudahkan bagi masyarakat yang seringkali kalah dalam pengadilan hanya karena tak mampu membuktikan hubungan kausalitas antara kerusakan lingkungan hidup  yang terjadi dengan aktivitas korporasi. Sayangnya, strict liability masih sangat minim dipraktikan dalam proses pengadilan.

Jika saja gugatan terhadap PT NMR ketika itu menggunakan pendekatan ini, maka jalan kemenangan bagi masyarakat tentu dapat diraih. PT NMR tak dapat berkilah menggunakan segala argumen teknis dan normatifnya agar lolos dari jeratan hukum.

Dari kasus PT NMR kita dapat belajar agar kedepannya gugatan strict liability dapat dimanfaatkan dengan baik. Mengingat sampai saat ini belum pernah ada gugatan strict liability yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan. Preseden itu yang kita perlukan saat ini agar tak ada lagi korporasi yang dapat lolos dari jeratan hukum hanya karena persoalan teknis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun