Konsep tersebut lahir dari logika bahwa dalam setiap aktivitasnya, korporasi seringkali melibatkan teknologi tingkat tinggi-beresiko, serta wilayah operasinya berada di sektor-sektor yang beririsan dengan hajat hidup orang banyak.
Maka setiap dampak yang dihasilkan dari aktivitas korporasi , dianggap telah diketahui resikonya oleh korporasi tersebut sehingga pencemaran dan kerusakan apapun yang dihasilkan merupakan pertanggungjawaban korporasi terlepas apakah masyarakat mengetahui hubungan kausalitasnya atau tidak.
Strict liability memiliki perbedaan dengan sistem tanggung jawab pidana umum yang mensyaratkan adanya unsur kesengajaan atau kealpaan. Dalam strict liability hanya disyaratkan pengetahuan dan perbuatan dari korporasi.
Artinya, dalam melakukan perbuatan tersebut, apabila korporasi mengetahui atau menyadari tentang potensi kerusakan dan kerugian bagi masyarakat ataupun lingkungan hidup, maka keadaan tersebut sudah cukup untuk menuntut pertanggungjawaban pidana.
Konsep tersebut sangat memudahkan bagi masyarakat yang seringkali kalah dalam pengadilan hanya karena tak mampu membuktikan hubungan kausalitas antara kerusakan lingkungan hidup  yang terjadi dengan aktivitas korporasi. Sayangnya, strict liability masih sangat minim dipraktikan dalam proses pengadilan.
Jika saja gugatan terhadap PT NMR ketika itu menggunakan pendekatan ini, maka jalan kemenangan bagi masyarakat tentu dapat diraih. PT NMR tak dapat berkilah menggunakan segala argumen teknis dan normatifnya agar lolos dari jeratan hukum.
Dari kasus PT NMR kita dapat belajar agar kedepannya gugatan strict liability dapat dimanfaatkan dengan baik. Mengingat sampai saat ini belum pernah ada gugatan strict liability yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan. Preseden itu yang kita perlukan saat ini agar tak ada lagi korporasi yang dapat lolos dari jeratan hukum hanya karena persoalan teknis.