Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dilema Pembangunan Kosmodrom: Lompatan Katak di Atas Tanah Papua? (Bagian II)

21 Juli 2022   16:33 Diperbarui: 21 Juli 2022   16:34 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal-Hal yang Perlu Dipertimbangkan

Kosmodrom adalah sebuah proyek yang memerlukan teknologi tingkat tinggi serta biaya yang sangat besar. Resiko dari proyek ini pun sangat berbahaya, terutama terhadap manusia dan lingkungan hidup. Potensi ledakan roket, pencemaran udara dan air oleh limbah radioaktif sangat mungkin terjadi.

Belum lagi aktivitas peluncuran roket yang akan menghasilkan kebisingan dan pencahayaan di waktu malam dapat membuat flora dan fauna di sekitar lokasi kosmodrom dapat mengalami gangguan siklus hidup. Seperti yang terjadi di Pulau Georgia Cumberland, Texas, Amerika serikat. Beberapa spesies burung  seperti Tern Kecil, Piping Plovers, Pelikan Coklat, Simpul Merah, Bangau Kayu, Penangkap Tiram Amerika dan banyak spesies lain yang hidup di kawasan pesisir mengalami gangguan siklus migrasi akibat aktivitas kosmodrom milik SpaceX yang berada di pulau tersebut.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa Papua adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, bahkan menyumbang sebesar 50% dari total kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia. Dan Biak Numfor termasuk salah satu wilayah tersebut.

Dalam skenario terburuknya, apabila dalam proses peluncuran roket terjadi kegagalan lalu roket meledak dan menimpa rumah penduduk ataupun puing-puingnya jatuh dan membakar hutan maka Indonesia tidak dapat menuntut kerugian kepada siapapun.

Berdasarkan pasal IV Liability Convention 1972, beleid yang mengatur mengenai tanggung jawab negara terkait aktivitasnya di ruang angkasa, suatu ganti rugi akibat kerusakan yang ditimbulkan dari aktivitas ruang angkasa tidak dapat diberikan kepada negara yang melakukan aktivitas peluncuran ataupun negara yang menyediakan tempat peluncuran.

Selain hal-hal di atas, perlu juga dicatat bahwa dalam pembangunan kosmodrom dibutuhkan jumlah pasokan air yang melimpah. Sebab, area ini nantinya akan menjadi kawasan manufaktur yang padat industri. Maka lokasi pembangunannya harus berada di dekat sungai atau sumber mata air agar pasokan air dapat terus tersedia. Hal ini perlu dipertimbangkan dengan seksama agar tak ada konflik air dengan kebutuhan penduduk lokal.

Dikutip dari laporan Project Multatuli yang berjudul "Kau OPM?': Trauma Operasi Militer Indonesia di Balik Rencana Pembangunan Bandar Antariksa Biak di Papua", Biak Numfor sendiri adalah wilayah yang dihuni oleh masyarakat adat dengan jumlah suku yang cukup beragam.

Pola hidup mereka secara garis besar masih bergantung dengan memanfaatkan hasil hutan dan laut. Sedangkan, nantinya lokasi pembangunan kosmodrom berada di wilayah hutan dan mencakup sebagian pesisir yang menjadi wilayah kelola masyarakat adat di sana.

Di lain tempat dalam beberapa kesempatan, para teknokrat di Badan Riset dan Inovasi Nasional berpendapat bahwa pembangunan kosmodrom di Biak Numfor akan membawa modernisasi dan kesejahteraan masyarakat adat di sana.

Harapannya, masyarakat akan menikmati industri tersebut di masa depan. Mengingat kosmodrom nanti akan menjadi wilayah padat industri serta pariwisata yang akan membuka banyak lowongan pekerjaan bagi masyarakat setempat.

Pembangunan kosmodrom di Biak akan menjadi sebuah pertemuan kolosal antara ujung tombak teknologi antariksa Indonesia dengan wilayah yang sejak awal dipaksa bergabung dengan Indonesia tetapi sampai hari ini masih menyandang sebagai daerah tertinggi buta aksara.

Pola Pembangunan di Papua dan Masa Depan Pembangunan Antariksa

Pada pertengahan tahun 2006-2007, sejumlah kelompok intelektual di Biak Numfor menggelar diskusi terbatas perihal sikap penolakan mereka akan wacana pembangunan kosmodrom di wilayah adat mereka. Penolakan tersebut terus berlangsung hingga kini. Sesuatu yang tak dapat mereka lakukan ketika di era orde baru dahulu.

Alasan penolakan mereka ialah wacana pembangunan kosmodrom dilakukan tanpa sosialisasi dari pemerintah. Selain itu mereka berpendapat bahwa kehadiran kosmodrom akan membawa dampak yang berbahaya bagi lingkungan hidup serta akan merampas lahan-lahan kelola miliik masyarakat adat.

Jika dikatakan bahwa Papua adalah "tanah tempat tembak mati" seperti yang tertulis dalam potongan lirik lagu Pangalo -- Kweiya, maka hampir tak ada yang bisa menyangkalnya. Sejarah mencatat deretan kasus pelanggaran HAM di Papua sudah seperti layaknya menu makanan di restoran-sangat beragam. Dari awal berdirinya NKRI hingga proses integrasi Papua (sebelumnya Irian) melalui Pepera 1969 dan sampai hari ini tembak menembak di bumi cendrawasih itu tak pernah berhenti.

Biak Numfor sendiri adalah salah satu kabupaten yang terletak di pesisir utara Provinsi Papua. Wilayah ini pun tak luput dari peristiwa kelam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Pada Juli tahun 1998 terjadi penembakan brutal yang dilakukan oleh pasukan gabungan TNI Angkatan Darat terhadap ratusan warga sipil yang sedang melakukan aksi damai.

Peristiwa itu dikenal sebagai Tragedi Biak Berdarah. Hampir sama dengan banyak tragedi lainnya di Papua, kasus itu pun menguap dan terabaikan.

Berbekal peristiwa kelam masa lalu, pemerintahan Jokowi saat ini mewarisi luka hasil ciptaan orde baru yang sewaktu-waktu dapat kambuh jika pendekatan pembangunan yang digunakan masih dengan pola yang sama. Masih berdasarkan laporan Project Multatuli, proses penetapan Biak Numfor sebagai lokasi pembangunan Kosmodrom dilakukan dengan pola khas orde baru di saat itu.

Berawal dari pertemuan dengan beberapa warga, mengisi daftar hadir, memberikan iming-iming akan kehidupan yang lebih baik, beberapa tanda tangan dan sat sit set! Berdasarkan beberapa intrik tersebut, pemerintah mengklaim bahwa mayoritas masyarakat telah setuju untuk melepaskan tanah mereka.

Adapun yang menolak akan dianggap sebagai bukan warga asli dan yang paling sial dituduh sebagai OPM. Tuduhan OPM dianggap sangat efektif untuk memuluskan jalan pembangunan versi pemerintah. Karena masyarakat akan segera tahu konsekuensinya jika seseorang tertuduh sebagai OPM. Kini pemerintah mengklaim telah menguasai sekitar 100 Ha lahan milik masyarakat adat. Tetapi apakah dengan cara seperti itu pembangunan akan berjalan efektif?

Masyarakat adat seringkali dilihat sebagai masyarakat terbelakang, miskin dan perlu dimodernkan. Terlepas apakah masyarakat menginginkan itu atau tidak dan ironisnya negara seringkali merasa lebih tahu apa yang mereka lakukan.

Dalam berbagai kesempatan, pemerintah mengatakan bahwa proyek Kosmodrom ini akan mempercepat modernisasi di Papua dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Tetapi apakah hal tersebut memang dibutuhkan oleh masyarakat Papua?

Berkaca kepada kehidupan beradat di Papua, tanah adat bagi masyarakat Papua bukanlah tanah bebas. Dalam ungkapan Ernest Pugiye, setiap orang mesti mengetahui bahwa tidak pernah ada bagian tanah adat yang tidak memiliki pemilik hak kesulungan. Menurut ajaran adat dari setiap masyarakat suku bangsa di Papua, mereka mengakui tanah adat sebagai kepemilikan bersama.

Kepemilikan ini bersifat abadi dan melekat pada setiap anggota komunitas mayarakat dari suku-suku bangsa di Papua. Sebagai tanah ulayat/milik bersama yang melekat, tanah adat tidak bisa diperjual belikan dan tidak dapat digantikan dengan berbagai adanya proses pembangunan pemerintah.

Jika menelisik lebih jauh, artinya berdasarkan ungkapan Ernest Pugiye di atas, negara tak dapat memandang relasi antara masyarakat adat dengan tanah/lingkungannya hanya sebatas relasi ekonomi semata. Sebab dalam prakteknya, masyarakat adat justru menjalin hubungan dengan alam dalam relasi yang berlapis-lapis.

Relasi itu bisa berupa relasi sosiologis, ekologis, kultural, historis, spiritual, hingga estetis. Bahkan, relasi ekonomi terkadang ditempatkan di lapisan paling terakhir.

Dengan sekedar memberikan uang ganti rugi akibat pembebasan lahan, tentu tidak akan mampu mengembalikan simpul-simpul sosial dan historis yang telah tercipta antara masyarakat adat dengan lingkungan hidupnya yang mungkin saja sudah berlangsung selama ribuan tahun.

Jika dipaksakan, wacana pembangunan kosmodrom di Biak Numfor-terlepas urgensinya-hanya akan membuat luka lama yang belum sembuh kambuh kembali. Suara-suara penolakan dari masyarakat adat di sana tak dapat diabaikan apalagi diselesaikan dengan kacamata teknokrat semata.

Salah satu pembelajaran yang dapat dilihat oleh Indonesia adalah dengan berkaca pada sejarah perkembangan teknologi antariksa milik India. Meskipun memiliki masalah yang hampir sama dengan Indonesia, saat ini India mendapatkan reputasi sebagai salah satu negara berkembang yang mampu bersaing dengan negara-negara maju di sektor keantariksaan.

Dalam jangka waktu lima tahun terakhir, India telah mampu mengirimkan sebanyak 250 satelit menggunakan roket dari fasiltas peluncuran sendiri. Bahkan baru-baru ini India telah mampu mendaratkan robot di Bulan dan Mars.

Hal tersebut tidak terlepas dari "lompatan katak" yang dilakukan Jawaharlal Nehru pada tahun 1960. Pada waktu itu Nehru memfokuskan tujuan utama dari pembangunan teknologi antariksa India adalah untuk menjawab persoalan kemiskinan yang cukup tinggi.

Saat itu India mengembangkan teknologi satelit penginderaan jarak jauh untuk memetakan persebaran penduduk miskin di berbagai wilayah yang sulit terjangkau. Justru berkat hal tersebut, kini India memiliki teknologi penginderaan jauh dengan kualitas terbaik di dunia.

Tentunya pembangunan kosmodrom itu penting dan dapat membawa posisi geopolitik yang menguntungkan bagi Indonesia. Tetapi bukan berarti hal tersebut dapat dilakukan tanpa perencanaan yang matang.

Perlu dilakukan pemetaan masalah serta memfokuskan tujuan utama mengapa kosmodrom harus dibangun. Jika Indonesia ingin melakukan "lompatan katak" seperti yang dilakukan India, maka kehadiran sebuah common ground adalah hal yang sangat urgen. Agar kelak subjek utama yang akan menikmati kemajuan antariksa adalah masyarakat itu sendiri. Jangan sampai masyarakat adat Biak malah menjadi antrian korban perampasan atas nama pembangunan yang siklusnya tak pernah berhenti di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun