Mohon tunggu...
Royan Juliazka Chandrajaya
Royan Juliazka Chandrajaya Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang pekerja lepas yang sedang berusaha memahami makna hidup.

Saya suka hal-hal yang berbau fiksi. Jika diberi kesempatan, saya akan terus menulisnya. Instagram : @royanjuliazkach Twitter : @royanazka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Indonesia, Syarat Sahnya Nikah itu Ditentukan oleh Negara atau Agama?

14 Juli 2022   13:30 Diperbarui: 14 Juli 2022   13:32 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pernikahan beda agama (sumber : hipwee.com)

Bicara soal nikah beda agama di Indonesia sepertinya sampai saat ini tak pernah menemui titik temu yang adil. Belum juga usai kegaduhan akibat nikah beda agama yang dilakukan oleh staf ahli presiden beberapa bulan yang lalu, baru-baru ini Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menciptakan kegaduhan yang sama. Siapa sih yang gaduh? Semoga bukan sampeyan-sampeyan yaa...

Begini. Secara hukum yang berlaku, aturan soal pernikahan dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pada pasal 2 ayat 1 disebutkan "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Kita garis bawahi, dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Menurut pandangan para ahli, dikatakan bahwa UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit perihal nikah beda agama. Dengan kata lain, hukum di negara kita tidak membolehkan ataupun melarang. Terjadi kekosongan hukum di sini.

Maka dari itu, UU Perkawinan mengembalikannya kepada ajaran agama masing-masing perihal aturan nikah beda agama tersebut. Tetapi bagaimana sikap negara jika tetap ada yang ingin melangsungkan nikah beda agama? Kita memiliki yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No. 1400 K/PDT/1986 yang membolehkan hal tersebut.

Putusan MA di atas membolehkan seseorang untuk melangsungkan nikah beda agama tetapi pernikahannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Artinya kedua mempelai bisa saja telah memutuskan untuk melangsungkan pernikahan tidak berdasarkan ajaran agamanya masing-masing. Maka dari itu putusan PN Surabaya kemarin sudah tepat secara hukum. Jelaskan sampai di sini?

Lalu bagaimana secara agama? Nah, nah, di sini yang sering menimbulkan kegaduhan. Saya tak ingin mengulas beragam fatwa ulama yang bejibun jumlahnya terkait hukum nikah beda agama bagi yang Islam atau mengulas hukum nikah beda agama menurut agama-agama selain Islam. Yang ingin saya katakan adalah tarik menarik antara dimensi agama dan negara selalu berlangsung secara tak adil.

Bagi sebagian penganut, ada yang menganggap bahwa hukum agama harus lebih tinggi dibanding hukum negara. Sederhananya karena hukum agama bersumber dari Tuhan, sedangkan hukum negara bersumber dari manusia. Makanya banyak tuh yang mau dirikan negara ber-agama, agar kaffah katanya..

Eehh kok kejauhan ya, kembali ke nikah.

Tetapi kan salah satu tujuan pernikahan adalah kebahagiaan. Jika agama harus berada di atas hukum negara, apakah agama bisa menjamin kebahagiaan kedua mempelai itu? Bisa nggak bahagia itu diraih kalau sejak awal saja telah diatur oleh anasir-anasir di luar diri manusia itu sendiri? Soal selera misalnya, bisa nggak negara atau agama ikut mengatur hal tersebut? Kok saya jadi teringat kisah Cahyo dan Diana di film Cinta Tapi Beda yaa hehe..

Fitrah manusia sebagai mahluk yang berakal dan selalu ingin bebas seringkali terbentur oleh kedua hal di atas. Iya saya tahu, kebebasan itu juga ada batasnya ketika mulai mengganggu yang lain. Tapi, menikah beda agama itu memangnya menganggu siapa? Ada yang bilang nanti akan menyusahkan anaknya dalam memilih agama. Kok susah? Bukannya tak ada paksaan dalam beragama?

Jika ingin melihat bukti kalau manusia itu susah diatur, terutama soal nikah, silakan cek sendiri berapa jumlah pasangan yang melakukan nikah siri dengan tujuan poligami. Ya, mereka tahu kalau poligami dalam kondisi tertentu itu dilarang secara hukum, makanya mereka tidak mencatatkannya ke negara. Apakah sah secara hukum? Jelas tidak. Apakah sah secara agama? Hmm...

Bagaimana bisa disaat yang sama ada pernikahan yang sah secara hukum tapi tidak sah secara agama, dan ada pernikahan yang sah secara agama tapi tidak sah secara hukum. Ribet kan? Iyaa..

Karena pada dasarnya manusia sebagai mahluk sosial, selain memiliki dimensi publik juga memiliki dimensi privat. Nikah adalah dimensi privat dan dii dalam dimensi privat inilah negara dan agama seringkali bersitegang berebut lahan. Padahal, negara dan agama sebagai sebuah institusi yang mengatur kehidupan bersama sudah seharusnya dapat memasuki dimensi-dimensi tersebut secara adil.  

Saya bukan bermaksud meminta negara atau agama menganjurkan pernikahan beda agama ataupun melarangnya, tetapi bagaimana negara dan agama dapat menjawab ambivalensi yang lahir dari dialektika dua dimensi kemanusiaan tersebut. Duh, bahasanya udah kelewatan yaa hehe..

Kalau dipikir-pikir, di negeri ini kok terasa begitu sulit yaaa dalam menyatukan dua cinta. Orang lebih suka berteriak dan menghakimi dibanding bersuka cita dan merayakan bersatunya dua insan karena cinta.

Padahal kata para pujangga cinta adalah entitas yang paling sederhana. Tantangan itu kadang datang bukan cuma dari agama, tetapi status sosial dan material juga ikut merintangi. Selain ke sekolah dan ke rumah sakit, ternyata ke pelaminan sama sulitnya. Huufftt..

Untuk menutup keluhan ini, izinkan saya mengutip salah satu adagium latin yang cukup terkenal, "De gustibus non est disputandum" -- yang artinya perihal selera tidak dapat disengketakan/dihukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun