Bagaimana bisa disaat yang sama ada pernikahan yang sah secara hukum tapi tidak sah secara agama, dan ada pernikahan yang sah secara agama tapi tidak sah secara hukum. Ribet kan? Iyaa..
Karena pada dasarnya manusia sebagai mahluk sosial, selain memiliki dimensi publik juga memiliki dimensi privat. Nikah adalah dimensi privat dan dii dalam dimensi privat inilah negara dan agama seringkali bersitegang berebut lahan. Padahal, negara dan agama sebagai sebuah institusi yang mengatur kehidupan bersama sudah seharusnya dapat memasuki dimensi-dimensi tersebut secara adil. Â
Saya bukan bermaksud meminta negara atau agama menganjurkan pernikahan beda agama ataupun melarangnya, tetapi bagaimana negara dan agama dapat menjawab ambivalensi yang lahir dari dialektika dua dimensi kemanusiaan tersebut. Duh, bahasanya udah kelewatan yaa hehe..
Kalau dipikir-pikir, di negeri ini kok terasa begitu sulit yaaa dalam menyatukan dua cinta. Orang lebih suka berteriak dan menghakimi dibanding bersuka cita dan merayakan bersatunya dua insan karena cinta.
Padahal kata para pujangga cinta adalah entitas yang paling sederhana. Tantangan itu kadang datang bukan cuma dari agama, tetapi status sosial dan material juga ikut merintangi. Selain ke sekolah dan ke rumah sakit, ternyata ke pelaminan sama sulitnya. Huufftt..
Untuk menutup keluhan ini, izinkan saya mengutip salah satu adagium latin yang cukup terkenal, "De gustibus non est disputandum" -- yang artinya perihal selera tidak dapat disengketakan/dihukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H