Bicara soal nikah beda agama di Indonesia sepertinya sampai saat ini tak pernah menemui titik temu yang adil. Belum juga usai kegaduhan akibat nikah beda agama yang dilakukan oleh staf ahli presiden beberapa bulan yang lalu, baru-baru ini Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menciptakan kegaduhan yang sama. Siapa sih yang gaduh? Semoga bukan sampeyan-sampeyan yaa...
Begini. Secara hukum yang berlaku, aturan soal pernikahan dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Pada pasal 2 ayat 1 disebutkan "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Kita garis bawahi, dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Menurut pandangan para ahli, dikatakan bahwa UU Perkawinan tidak mengatur secara eksplisit perihal nikah beda agama. Dengan kata lain, hukum di negara kita tidak membolehkan ataupun melarang. Terjadi kekosongan hukum di sini.
Maka dari itu, UU Perkawinan mengembalikannya kepada ajaran agama masing-masing perihal aturan nikah beda agama tersebut. Tetapi bagaimana sikap negara jika tetap ada yang ingin melangsungkan nikah beda agama? Kita memiliki yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No. 1400 K/PDT/1986 yang membolehkan hal tersebut.
Putusan MA di atas membolehkan seseorang untuk melangsungkan nikah beda agama tetapi pernikahannya dicatatkan di Kantor Catatan Sipil. Artinya kedua mempelai bisa saja telah memutuskan untuk melangsungkan pernikahan tidak berdasarkan ajaran agamanya masing-masing. Maka dari itu putusan PN Surabaya kemarin sudah tepat secara hukum. Jelaskan sampai di sini?
Lalu bagaimana secara agama? Nah, nah, di sini yang sering menimbulkan kegaduhan. Saya tak ingin mengulas beragam fatwa ulama yang bejibun jumlahnya terkait hukum nikah beda agama bagi yang Islam atau mengulas hukum nikah beda agama menurut agama-agama selain Islam. Yang ingin saya katakan adalah tarik menarik antara dimensi agama dan negara selalu berlangsung secara tak adil.
Bagi sebagian penganut, ada yang menganggap bahwa hukum agama harus lebih tinggi dibanding hukum negara. Sederhananya karena hukum agama bersumber dari Tuhan, sedangkan hukum negara bersumber dari manusia. Makanya banyak tuh yang mau dirikan negara ber-agama, agar kaffah katanya..
Eehh kok kejauhan ya, kembali ke nikah.
Tetapi kan salah satu tujuan pernikahan adalah kebahagiaan. Jika agama harus berada di atas hukum negara, apakah agama bisa menjamin kebahagiaan kedua mempelai itu? Bisa nggak bahagia itu diraih kalau sejak awal saja telah diatur oleh anasir-anasir di luar diri manusia itu sendiri? Soal selera misalnya, bisa nggak negara atau agama ikut mengatur hal tersebut? Kok saya jadi teringat kisah Cahyo dan Diana di film Cinta Tapi Beda yaa hehe..
Fitrah manusia sebagai mahluk yang berakal dan selalu ingin bebas seringkali terbentur oleh kedua hal di atas. Iya saya tahu, kebebasan itu juga ada batasnya ketika mulai mengganggu yang lain. Tapi, menikah beda agama itu memangnya menganggu siapa? Ada yang bilang nanti akan menyusahkan anaknya dalam memilih agama. Kok susah? Bukannya tak ada paksaan dalam beragama?
Jika ingin melihat bukti kalau manusia itu susah diatur, terutama soal nikah, silakan cek sendiri berapa jumlah pasangan yang melakukan nikah siri dengan tujuan poligami. Ya, mereka tahu kalau poligami dalam kondisi tertentu itu dilarang secara hukum, makanya mereka tidak mencatatkannya ke negara. Apakah sah secara hukum? Jelas tidak. Apakah sah secara agama? Hmm...