Jujur, ketika hendak memilih judul, saya mengalami kesulitan luar biasa. Beragam pertanyaan muncul di kepala. Tema yang hendak saya tulis pun terasa sangat luas. Saya bingung memilahnya satu persatu agar tulisan ini bisa menjadi lebih fokus. Jangan terkecoh dengan "megahnya" judul di atas.
Jadi sekitar dua hari yang lalu, saya berangkat dari Jogja ke Semarang bersama tante untuk menziarahi kuburan ayah saya. Ini kali pertama saya menziarahi kuburan ayah sejak 5 tahun saya berpisah dengannya. Tak perlu saya mengulas kronologinya, akan menjadi tulisan yang amat panjang nantinya.
Di tengah perjalanan yang cukup panjang itu, saya tentunya banyak berbincang dengan tante saya. Mengapa di awal saya bilang kalau mencari tema dari tulisan ini menjadi amat sulit, hal itu karena perbincangan kami berjalan dari satu tema ke tema yang lain. Tetapi, ada satu segmen perbincangan yang menurut saya amat menarik.
Ketika itu kami singgah di sebuah kedai kopi untuk beristirahat. Saya menanyakan pandangan tante saya perihal kondisi penegakan hukum di negeri ini. Kan, sudah saya bilang kalau ini tema yang amat luas. Untuk memberi latar belakang, tante saya ini seorang praktisi yang memiliki pengalaman belasan tahun di bidang hak asasi manusia dan pemberdayaan masyarakat sipil.
Ketika menjawab pertanyaan saya, beliau memulainya dari kultur penegakan hukum di kalangan aparat penegak hukum itu sendiri. Selama kurang lebih satu jam tante saya bercerita dan selama itu pula pikiran saya pun bekerja untuk menghubungkan tiap pengetahuan yang tersimpan di kepala. Sampai di akhir jawaban, nada suara tante saya yang tadinya optimis perlahan menjadi pesimis.
Kesimpulan yang beliau sampaikan adalah penegakan hukum, sejauh pengalamannya ketika mendampingi para korban tak ada yang benar-benar bersih. Jual beli kasus atau komodifikasi kasus masih menjadi hal yang lumrah di kalangan aparat penegak hukum. Mungkin bagi sebagian pembaca, tidak ada yang baru dari kisah tersebut. Yaaaa memang negara ini diisi oleh para koruptor kok, kira-kira seperti itu celetukan yang mungkin akan muncul dalam hati pembaca yang budiman. Tetapi, perbincangan kami tidak berhenti disitu.
Setelah kopi habis kami pun memutuskan melanjutkan perjalanan. Di mobil, saya masih penasaran dan menggali pertanyaan lebih jauh. "Apa ada yaa negara yang benar-benar bersih dari korupsi?".. "Banyak, negara-negara eropa kan rata-rata bersih" jawabnya. "Apa mereka saat ini sejahtera hanya karena berkat rendahnya korupsi?" hening.
Saya masih belum puas, lalu bertanya bukankah negara-negara Eropa yang saat ini tergolong sebagai negara maju justru dulu awalnya mereka adalah penjajah ya? Sampai disitu, perbincangan kami terjeda. Pikirku, mungkin tante membiarkan saya berpikir sendiri setelah sejak tadi beliau terus memberikan saya jawaban.
Mungkin beberapa pembaca kebingungan, apa yang melatarbelakangi lompatan argumen saya di atas. Maksud saya, di awal saya bertanya soal adakah negara yang benar-benar bersih dari korupsi? Setelah dijawab oleh tante, saya langsung merespon kalau negara-negara Eropa justru dulunya adalah penjajah. Apa hubungannya korupsi dengan penjajah? Apa negara-negara Eropa benar-benar bersih? Pikiran itulah yang membawa saya sampai pada tulisan ini.
Eropa dan Ilusi Kemakmuran