Dalam dunia penerbangan dikenal sebuah ungkapan klasik "If it ain't Boeing, I ain't going". Ungkapan tersebut dialamatkan kepada Boeing untuk menggambarkan kesuksesan dan rekam jejaknya yang baik dalam dunia penerbangan selama puluhan tahun. Bicara soal keamanan dan kualitas Boeing adalah juaranya. Sejak awal berdirinya perusahaan asal Amerika Serikat tersebut, mereka tak pernah mengalami kecelakaan pesawat yang begitu besar. Namun kejayaan itu seketika runtuh.
Pada 29 Oktober 2018 sekitar pukul 9 pagi, perairan Tanjung Karawang tiba-tiba dikejutkan oleh hempasan sebuah pesawat yang terjun dengan bebas dari udara. Pesawat tersebut adalah jenis Boeing 737 Max milik maskapai penerbangan Lion Air dengan nomor penerbangan JT 610. Sebanyak 189 manusia yang ada di dalamnya dinyatakan meninggal seketika. Kecelakaan tersebut menjadi preseden buruk pertama bagi Boeing yang telah mempertahankan reputasinya selama puluhan tahun di dunia penerbangan.
19 minggu setelah jatuhnya Lion Air JT 610, tepatnya pada 10 Maret 2019, di sebelah tenggara Addis Ababa, ibukota Ethiopia, sebuah burung besi kembali terjun bebas dari udara. Pesawat Ethiopian Airliness berjenis Boeing 737 Max dengan nomor penerbangan ET 302 seketika hancur berkeping-keping. Seluruh penumpang yang berjumlah 157 orang dinyatakan tewas. Dua kecelakaan di atas membuat dunia penerbangan segera disoroti. Terkhusus kepada Boeing yang selama ini memiliki reputasi yang baik mulai dipertanyakan, ada apa dengan Boeing 737 Max?
Awal Mula Degradasi
Semua bermula pada pertengahan tahun 1996. Di masa kompetisi bisnis penerbangan semakin ketat, Saat itu Boeing memiliki pesaing baru dari Uni Eropa, yakni Airbus. Untuk memperkecil persaingan, Boeingpun memutuskan untuk mengakuisisi perusahaan aeroangkasa McDonnell Douglas.
Setelah terjadinya merger, muncul pimpinan-pimpinan baru dalam perusahaan tersebut dengan gaya kepemimpinan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Michael Godfarb seorang analis penerbangan mengatakan bahwa sejak terjadinya merger, maka kualitas Boeing mulai menurun. Orientasi perusahaan tidak lagi berfokus pada kualitas tetapi hanya semata-mata profit.
Segera Boeing melakukan PHK besar-besaran terhadap karyawannya. Arizona Daily Sun memberitakan 12.000 karyawan Boeing dipecat begitu saja. Alasannya demi efisiensi ongkos produksi perusahaan. Situasi yang dihadapi oleh para karyawan Boeing saat itu berubah drastis.
Dalam sebuah investigasi yang dilakukan The Wall Street Journal ditemukan beberapa foto yang memperlihatkan tertinggalnya kawat-kawat besi di jalur kabel pesawat yang merupakan residu saat proses produksi pesawat. Cynthia Kitchens mantan manajer produksi Boeing mengatakan bahwa hal itu dapat menyebabkan arus pendek listrik dan semua sistem di dalam pesawat akan terganggu karena hampir semuanya menggunakan arus listrik. Sebelum Boeing melakukan merger, karyawan Boeing bebas untuk menyampaikan kritik jika terdapat kesalahan dalam rancangan pesawat. Tetapi kondisi itu tidak lagi ditemukan pasca merger.
Karyawan yang menyampaikan kritik bisa berada dalam bahaya. Mereka dipaksa membuat pesawat dengan produktifitas dan efisiensi yang tinggi yang dalam bahasa Rick Ludtke, mantan karyawan Boeing, seolah mereka disuruh untuk membuat mesin cuci.
Pada tahun 2003 untuk pertama kalinya penjualan Airbus mampu melampaui Boeing. Sampai suatu ketika Airbus merilis model pesawat terbaru mereka Airbus A320neo pada tahun 2010. Pesawat ini diklaim sangat efisien dan hemat bahan bakar. Sebagian besar biaya operasional maskapai digunakan untuk membeli bahan bakar di mana harga minyak waktu itu juga terus memecahkan rekor. Tentu maskapai-maskapai akan mencari pesawat yang hemat bahan bakar.
Mendengar pesaingnya satu langkah lebih maju, membuat Boeing kepanikan karena saat itu mereka tak punya pesawat yang siap untuk bersaing. Di tengah kuatnya persaingan pasar tersebut, serta model manajerial yang berubah drastis pasca terjadinya merger, ditambah tuntutan kecepatan dan pemuasan pasar, lahirlah 737 Max. Bisa dibayangkan bagaimana kualitas sebuah produk yang dibuat dengan terburu-buru.
Ada apa dengan 737 Max?
Beberapa hari pasca evakuasi akhirnya kotak hitam milik Lion Air JT 610 ditemukan. Hasil analisis kotak hitam menyebutkan bahwa penyebab jatuhnya pesawat adalah kegagalan sensor indikator kiri sudut serang dari pesawat. Sensor itu berfungsi mengatur sudut angkat pesawat. Jika sensor itu rusak, maka stall dapat terjadi. Dikutip dari Dictionary of Aeronautical Terms, stall dalam dunia penerbangan diartikan sebagai hilangnya daya angkat dari pesawat.
Di sisi lain ketika hasil analisis kotak hitam pesawat ET 302 dirilis, ditemukan bahwa terdapat kemiripan gejala pesawat ET 302 dengan pesawat JT 610 sesaat sebelum keduanya jatuh. Pada saat proses evakuasi badan pesawat ET 302, ditemukan sejenis dongkrak ulir yang mengoperasikan stabilisator trim. Dongkrak itu bengkok seperti dipaksa mendorong ekor pesawat.
Pakar penerbangan Dennys Tajer mengatakan bahwa itu disebabkan oleh MCAS. Begitupun pada kasus Lion Air JT 610, saat sensor indikator rusak pesawat otomatis mengaktifkan MCAS. Lalu apa itu MCAS?
MCAS adalah akronim dari Maneuvering Characteristic Augmentation System. Richard Reed seorang ahli rekayasa sistem dari FAA menjelaskan bahwa MCAS adalah sebuah sistem yang sederhana. Perangkat lunak tersebut terhubung langsung ke sensor sudut serang dari pesawat. Karena karakteristik terbang model 737 MAX yang baru, saat sudut serang terlalu besar di kecepatan tertentu, pesawat akan cenderung mengalami stall.
Jadi MCAS didesain untuk secara otomatis menyeimbangkan pesawat saat sudut serang pesawat terlalu besar. Pada kedua kasus di atas MCAS bukannya bekerja untuk menambah keamanan pesawat, tetapi seperti mesin pembunuh bagi pesawat tersebut. Mengapa?
Pada minggu kedua bulan November 2018, beberapa minggu setelah JT 610 jatuh, Boeing merilis sebuah dokumen yang menyatakan bahwa 737 Max memiliki teknologi baru bernama MCAS. Tetapi yang membuat seluruh dunia tercengang adalah Boeing sama sekali tidak memberi tahu kepada maskapai maupun asosiasi pilot terkait teknologi baru tersebut. Sehingga ketika JT 610 dan ET 302 mengalami kegagalan pada sensor sudut kiri, MCAS aktif lalu berusaha menurunkan hidung pesawat, kedua pilot tersebut sama sekali tak memahami mengapa pesawat mereka terus menerus "ditekan" kebawah. Mereka sama sekali tidak mengenali teknologi baru yang ada di pesawat mereka sehingga mereka tak mampu mengendalikan pesawat tersebut.
Boeing berdalih bahwa tidak ada yang berbeda dari 737 Max dengan model sebelumnya. Mereka mengklaim bahwa MCAS seratus persen aman. Tetapi alasan sesungguhnya mengapa mereka tak memberi tahu terkait keberadaan MCAS ini adalah mereka ingin menghindari kewajiban untuk memberikan pelatihan kepada para pilot untuk mengoperasikan MCAS dimana hal itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Atas nama efisiensi dan kebutuhan mengejar kecepatan pasar, Boeing melakukan ini.
Boeing telah gagal menunaikan kewajibannya sebagai perusahaan yang seharusnya disamping mengejar keuntungan juga bertanggung jawab memberi pelayanan yang baik kepada masyarakat. Berdasarkan catatan sejarah telah banyak perusahaan besar yang melakukan tata kelola perusahaan yang buruk dan berakibat pada kerugian yang ditanggung masyarakat, salah satunya berawal dari dilakukannya merger, dan Boeing termasuk salah satunya.
Jika kita merujuk pada prinsip good corporate governance yang mulai berkembang di dunia beberapa dekade ini untuk menjawab permasalahan di atas, tujuan dilaksanakannya good corporate governance  adalah untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan cara melaksanakan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik yaitu akuntabilitas, pertanggung jawaban, keterbukaan dan kewajaran. Dalam hal ini Boeing telah melanggar prinsip keterbukaan dan pertanggungjawaban. Dari kasus Boeing 737 Max di atas kita belajar bahwa hasrat untuk mengejar keuntung jangan sampai membuat kita buta akan pelayanan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI