Sebelum  mengerjakan proyek tersebut, Juadi melakukan rapat bersama tim kuli bangunan yang dipimpinnya. Ia merasa perlu menambah satu orang lagi sebab salah satu rekan setimnya sedang sakit dan harus pulang kampung. Di sisi lain, suasana konflik di Kota Ambon kala itu masih belum reda. Akhirnya Juadi memutuskan untuk mengajak salah satu kenalannya untuk bergabung di proyek tersebut yang juga warga asli Maluku.
Kala itu hari kamis, tutur Juadi. Hari kamis adalah hari pasar bagi warga Kota Ambon. Orang-orang dari berbagai tempat datang untuk berjualan dan juga membeli kebutuhan. Warga dari pesisir datang untuk menjual hasil laut, warga dari dataran tinggi datang untuk menjual hasil kebun, dan warga dari kota kebanyakan menjual berbagai jasa. Wisma yang sedang dikerjakan oleh Juadi dan kawan-kawan hanya berjarak kurang dari 300 meter dari pasar. Tiba-tiba saja sebuah letupan senjata api terdengar menggelegar di tengah-tengah keramaian pasar. Dari jarak 300 meter Juadi masih bisa mendengar letupan tersebut. Â Ia segera menghentikan pekerjaannya sejenak dan mendekat ke pasar untuk memastikan apa yang sedang terjadi.
Sesampainya di pasar, orang --orang telah berkerumun mengelilingi tubuh seorang laki-laki yang bersimbah darah. Terlihat seorang wanita dan dua orang anak memeluk jasad tersebut sambil menangis histeris. Tak lama kemudian terdengar teriakan penuh amarah dari seorang lelaki. Juadi berpikir jika wanita dan anak-anak itu adalah istri dan anak dari lelaki yang bersimbah darah tersebut. Lalu ia menoleh kesana kemari untuk memastikan asal teriakan lelaki yang tadi. Tiba-tiba pandangannya tersangkut pada seorang lelaki yang ia kenal. Meski lelaki itu berdiri dengan parang di tangan kanannya, Juadi mengenal betul jika dia adalah kenalannya yang baru saja ia ajak untuk mengerjakan proyek wisma yang digarapnya.
Rupanya sang pembunuh telah ditangkap dan diamuk oleh massa sejak ia melepaskan peluru tajamnya ke tubuh lelaki malang tersebut. Sang pembunuh adalah seorang pria berperawakan tinggi, kumis tipis dan rambut ikal, mengenakan celana kain warna abu-abu dan kaos polo hitam. Â Juadi tak mengetahui dengan pasti apa motif pembunuhan itu. Ia hanya tau pasti kalau kenalannya itu mulai bergerak mendekati sang pembunuh dengan parang yang ia seret di atas aspal. Jantung Juadi mulai berdebar cepat. Seluruh pembuluh darahnya terasa bergetar karena aliran darah yang tak terkendali. Ia kenal persis adegan ini. Adegan yang tak ingin dilihatnya lagi seumur hidupnya. Adegan yang membuatnya pergi meninggalkan tanah jawa. Ia sangat ingin melerai, menahan kenalannya itu agar tak melanjutkan perbuatannya, tetapi kembali lagi Juadi mengalami ketakutan yang sama ketika ia melihat dua sepupunya mati dengan lubang peluru. Suasana ketika itu sangat mencekam. Orang-orang yang menonton mulai bersorak, "bunuh.. bunuh.. penggal!!" tiru Juadi. Ia takut jika berusaha melerai peristiwa itu ia akan dianggap sebagai teman dari sang pembunuh dan sudah bisa dipastikan Juadi akan bernasib seperti apa.
Amukan massa ketika itu benar-benar beringas. Sang kenalan kini telah sampai di depan sang pembunuh. Tangan kirinya memegang rambut sang pembunuh, terlihat tak ada lagi perlawanan dari sang pembunuh karena dirinya telah cukup babak belur setelah diamuk massa. Lalu, tangan kanan sang kenalan yang sejak tadi menggenggam parang dengan ayunan penuh amarah, segera menebas leher sang pembunuh. Dua tebasan dilayangkan untuk melepaskan kepala sang pembunuh dari tubuhnya. Kini sang kenalan telah berubah menjadi sang pembunuh. Juadi menyaksikan peristiwa tersebut dari jarak kurang dari 20 meter. Tak lama berselang, pandangannya kabur dan tubuhnya yang mungil pun ambruk ke tanah.
KM Sinabung, 2022
Dua kisah singkat tapi penuh pilu di atas saya dengarkan langsung dari penuturan sang saksi hidup di atas Dek 6 KM. Sinabung. Namanya Juadi, umurnya saat ini-menurut ingatannya-sekitar 80 tahun. Ia telah merantau meninggalkan tanah jawa sejak masih berusia 20 tahun. Adiknya menyusul dirinya di tanah perantauan sekitar 10 tahun kemudian.
Juadi telah berkeliling di hampir sebagian kota dan pulau di Indonesia timur. Mulai dari Makassar, Pare-Pare, Mamuju, Palu, Gorontalo, Manado, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Biak, Namlea dan Ambon. Hampir di semua kota dan pulau yang ia kunjungi, dirinya hanya bekerja serabutan. Mulai dari buruh angkut di pelabuhan dan pasar, petugas kebersihan di terminal, tukang cuci piring di rumah makan dan menjadi kuli bangunan. Di kota terakhir itulah dirinya melabuhkan bakat khususnya, menjadi seorang kuli bangunan profesional.
Ada banyak alasan mengapa ia meninggalkan tanah kelahirannya. Dalam percakapan singkat kami, ia bertutur jika sudah tak adalagi tanah garapan yang dapat ia kelola. "Di kampung saya, di Malang, tanah sudah sangat terbatas mas" ucap Juadi. Jika saja ia memiliki tanah meski sedikit, tak akan dirinya mau meninggalkan kampung halamannya tersebut. Di sini saya berpikir, jadi, makna tanah kelahiran itu sebenarnya apa? Jika Juadi, saya, atau kita semua justru harus terusir dari tanah tersebut.
Sebelum pembantaian PKI terjadi, tanah-tanah yang ada di kampung Juadi hampir semuanya dimiliki secara pribadi. Kebanyakan hasil warisan dari jaman kolonial, ada juga yang telah dibeli untuk dijadikan perkebunan. Tanah yang benar-benar dimiliki Juadi hanyalah tanah tempat rumah kecilnya berdiri. Di sekelilingnya telah berubah menjadi perkebunan jeruk. Padahal dirinya ingat betul bahwa bapaknya pernah memiliki kebun tidak jauh dari rumahnya, tetapi kebun tersebut malah dirampas oleh seorang perwira Angkatan Darat, entah bagaimana dan kapan kepemilikan itu berpindah. "pokoknya setelah peristiwa gestok, kebun bapak itu diambil sama orang Angkatan Darat. Kita wong cilik ndak tau apa-apa" tutur Juadi.
Setelah mengalami peristiwa mengerikan di tahun 1965, ia benar-benar tak lagi memiliki alasan harus menetap lebih lama di kampung halamannya. Banyak kenalan dan sepupu jauhnya telah dibunuh dengan sadis dan tanah-tanah miliknya telah dirampas oleh tentara. Ia pun harus membantu kehidupan Ibu dan ketiga adiknya. Kombinasi antara niat menghapus ingatan kelam dan terusirnya dirinya dari kampung halaman menghasilkan kebulatan tekad Juadi untuk merantau jauh.