Jawa 1965
Gelap mulai menyelimuti langit kota Malang. Suara truk silih berganti bersahutan tanpa putus melintasi jalan-jalan kota. Di bawah meja kayu tergeletak sebuah kalender lusuh dengan bercak darah. Diujung atas sebelah kanan kalender tersebut bertuliskan tahun 1965. Juadi membersihkan bercak darah tersebut dan meletakkan kembali kalender itu di dinding kayu sebuah rumah yang sudah hampir rubuh diterpa peluru tajam.
Usia Juadi baru sekitar 20 tahun untuk menyaksikan sanak keluarganya mati dengan tubuh berlubang. Kakak sepupunya kehilangan telinga dan bola mata. Sedang adiknya mati tergeletak tanpa payudara. Pada saat itu Juadi ditugaskan oleh komplotan milisi bentukan Tentara AD untuk mengecek tiap rumah yang dicurigai masih menjadi tempat persembunyian orang-orang PKI. Juadi tak dapat menolak karena penolakan pada saat itu dianggap perlawanan, jika melawan sudah dapat dipastikan Juadi akan bernasib seperti apa.
Selepas mengecek isi rumah, Juadi keluar tanpa bisa meneteskan air mata. Ia sangat ingin menangis setelah melihat kedua sepupunya itu mati mengenaskan. Tetapi ia pun takut menangis. Ia takut karena tangisannya pun dapat disalahartikan. Kesedihan memang tak patut diberikan meski sedikit kepada orang-orang yang terduga PKI, tak peduli apakah mereka seorang keluarga atau saudara. "PKI yoo.. pokok e Iblis kabeh" pungkas Juadi menirukan ucapan salah seorang komandan milisi yang menugaskan dirinya.
Truk-truk yang sejak sore melintasi kota bagi Juadi adalah wahana menuju kematian. Bagaimana tidak, setiap truk tersebut membawa sekitar 50 orang menuju ke berbagai wilayah pelosok untuk  dieksekusi. Tiap malamnya jumlah truk yang melintas bisa mencapai ratusan. Juadi hafal betul sebab ia dipaksa rutin mengikuti konvoi truk tersebut dan membantu mengamankan tahanan agar tidak melarikan diri. Setiba di tempat eksekusi, Juadi hanya berani berdiri di sekitar truk. Ia tak pernah punya cukup nyali untuk mendekati lokasi eksekusi.
Dari jauh ia hanya bisa mendengar suara rintihan, teriakan, tangisan, dan berbagai suara mengerikan yang lain. Suatu ketika ia pernah disuruh oleh komandan milisi untuk mengambil rokok di truk dan membawanya ke dekat lokasi eksekusi. Kejadian itu adalah hal yang paling ia sesali seumur hidup. Ia melihat seorang lelaki digergaji dari selangkangan hingga ke perut dalam keadaan hidup. Ada juga seorang perempuan yang payudaranya dicangkul hingga lepas ke isi perut. Selepas melihat peristiwa itu tidur Juadi tak pernah nyenyak lagi.
Sekitar satu tahun setelah ia menjadi suruhan milisi, Juadi memutuskan untuk merantau ke luar pulau Jawa. Salah satu alasan yang mendasarinya adalah ingin menghilangkan ingatan-ingatan buruk pembantaian yang masih bersarang kuat di pikirannya. Pulau pertama yang menjadi tujuan perantauannya adalah Pulau Maluku. Sesampainya di sana, ia bekerja serabutan beberapa tahun, sempat berpindah-pindah kota hingga melabuhkan kemampuan bekerjanya menjadi kuli bangunan tetap.
                                             Â
Maluku 2001
Terik matahari di Kota Ambon terasa seperti biasanya. Juadi yang telah hidup selama kurang lebih 20 tahun di kota tersebut tidak lagi merasa kepanasan apabila harus bekerja siang hari sembari mengaduk semen dan pasir untuk menyelesaikan sebuah pondasi rumah yang sedang dibangunnya. Ingatan buruk tahun-tahun pembantaian 1965 satu persatu dikuburnya  bersama pasir dan batu yang ia susun di tiap pondasi bangunan yang tak terhitung lagi jumlahnya. Ia mulai merasa bebas dari kenangan buruk masa lampau tersebut, meski tak sepenuhnya.
Pertengahan 2001, seingat Juadi ia bersama beberapa rekannya mendapatkan proyek pembangunan sebuah wisma di dekat pasar. Tidak jauh dari Kota Ambon. Wisma tersebut adalah milik salah satu pengusaha sukses asal Makassar. Juadi dan rekan-rekannya mendapat proyek tersebut karena adik Juadi-yang juga seorang kuli bangunan-pernah mengerjakan proyek wisma milik pengusaha asal Makassar tersebut yang berada di Kota Pare-Pare. Berkat keberhasilan proyek di Pare-Pare, adik Juadi mendapat kepercayaan penuh dari pengusaha tersebut dan diminta untuk kembali menggarap proyek yang sedang direncanakan di Kota Ambon. Dari sinilah kisah pilu yang lain bermula.