Untukmu Pejuang HalalÂ
Menikah adalah impian semua orang. Terlebih menikah dengan orang yang dicintai. Namun, menikah bukan perkara cinta saja. Menikah jauh lebih kompleks dari itu. Tulisan ini aku buat untukmu yang sedang berjuang untuk bisa menikah. Terutama buat yang berjuang untuk menikahi orang yang dicintainya. Yang bekerja keras meyakinkan calon mertua agar diterima. Untuk kamu yang bersiap menjalani sisa usia dengan orang yang kamu kenal selepas dewasa. Untuk kamu yang sedang menuju dan menerima orang lain masuk dalam kehidupanmu. Mengatur banyak hal dalam hidupmu.Â
Mengajari, mengajak, dan berjuang mati-matian untuk saling membahagiakan. Semoga Allah merahmatimu dan memudahkan urusanmu. Ini bukan curahan hati hanya saja sebagai iktibar agar kamu, yang berjuang untuk menunaikan sunah rasul, bisa belajar. Menikah bukan lagi perkara kamu mencintainya atau tidak. Sebelum akad diucapkan, penghulu (Kepala KUA) akan menyuruh kita meluruskan niat menikah. Bukan lagi soal apa yang kamu lihat pada dirinya, tapi urusan mencapai rida Allah.
Hari itu pesan BBM di ponselku masuk. Sebuah pesan datang dari gadis yang menolakku tiga tahun sebelumnya. Basa-basi bertanya kabar. Singkat kata kami dekat, meski tidak pernah berikrar pacaran. Toh, pacaran dilarang dalam agama, kan. Ha ha ha. Aku pun awalnya tak berpikir untuk memilih dia jadi pendampingku. Namun, seiring waktu berjalan kami semakin dekat, banyak impian yang kemudian kami sepakati untuk digapai bersama. Aku menikahinya.
Dalam pernikahan, meyakinkan calon mertua bukan perkara sulit. Kamu hanya perlu menunjukkan kalau kamu bertanggung jawab dan putrinya tidak akan diperlakukan tidak baik sepanjang bersamamu. Kamu hanya perlu meyakinkan kalau kamu akan bekerja sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan calon istrimu dan meyakinkan orang tuanya kalau putrinya tidak akan pernah mengemis makanan. Lelaki yang yakin pada dirinya pasti akan bisa.Â
Perkara pelik itu justru muncul selepas akad nikah. Itu makanya aku agak telat menikah. Usiaku saat menikah 29 tahun 2 bulan 13 hari. Cukup telat dibanding kawan-kawan seusiaku. Aku harus memastikan siap secara mental mengarungi kehidupan rumah tangga. Kesiapan mental jauh lebih penting dari kesiapan materil. Tak heran jika banyak yang menikah muda berakhir dengan perceraian. Sebab terkadang tidak tahan dengan huru-hara kehidupan berumah tangga.
Aku orang yang percaya kehidupan rumah tangga itu tidak akan selalu mulus, akan banyak perkara dan permasalahan. Maka dari itu aku menyiapkan mental. Benar saja. Baru saja menikah, sepeda motor yang dulunya kami pegang sewaktu lajang ditarik orang tua. Baik dia mau pun aku. Kami tak punya kendaraan lagi, sementara kami sangat butuh itu sebagai sarana untuk sampai di tempat kerja.Â
Pekerjaan tambahanku selepas menikah yang pertama adalah pedagang. Tak tanggung-tanggung, pedagang emas. Setelah diskusi panjang akhirnya kami memutuskan menjual emas milik istriku. Hasil penjualan emas itu ditambah sedikit uang yang kami miliki kami gunakan untuk membeli sepeda motor. Itu harta pertama kami.Â
Tak usah kautanya seperti apa sedihnya saat menjual emas itu. Berhari-hari kami pikirkan dan bicarakan. Itu masih awalnya. Beberapa bulan setelah menikah istri kehilangan pekerjaannya. Pukulan berat untuk kami berdua. Aku tentu saja berusaha untuk menguatkan dan menghiburnya. Setelah bebepa bulan tinggal dengan orang tua, kami memutuskan untuk mengontrak rumah. Kami pun pindah. Saat pindahan uang di tangan kami tidak lebih dari tiga ratus ribu rupiah. Uang sebanyak itu ternyata tidak terasa saat pindahan. Banyak hal yang harus kami beli untuk kebutuhan rumah. Gajiku dari mengajar dan kerja tambahan jadi penyiar praktis harus kami hemat betul.Â
Pernah satu waktu uang yang kami miliki cuma empat ribu rupiah. Kami beli telur dan kami bagi dua. Kami kelimpungan. Untung masih ada sedikit beras yang tersisa sehingga untuk saat itu tak perlu memikirkan uang beli beras. Belum lagi adanya pengeluaran-pengeluaran di luar dugaan. Hidup kami benar-benar terhimpit.Â
Sekali dua kali kami meminta bantuan kawan-kawan sembari menunggu datangnya gaji. Kami buka usaha kecil-kecilan dan sedikit membantu keuangan kami. Kami bisa sedikit bernafas lega, tapi muncul masalah baru. Ada kesalahpahaman antara aku, istri, dan keluargaku. Urusan keluarga ini sudah menjadi salah satu masalah klasik dalam rumah tangga. Butuh waktu dua minggu untuk menyelesaikan ini. Istri sampai saat itu belum juga bekerja. Aku memang tidak pernah memaksa dia untuk bekerja. Namun, dia selalu meminta untuk bekerja, alasannya agar ada kegiatan, meski aku tahu dia ingin ikut berbagi beban.Â
Pertengkaran dalam rumah tangga tidak sekali dua kali terjadi. Mulai dari masalah ekonomi sampai kecemburuan sering menjadi pemantik pertengkaran. Aku sebagai seorang yang selalu menyiapkan rencana sering terbentur dengan istri yang cenderung langsung aksi tanpa perencanaan. Istriku orang yang unik. Dia sangat gemar berbagi. Tak jarang uang kami yang tidak seberapa justru dibagi dengan orang lain. Pada awalnya aku tidak suka, tapi lambat laun aku mengerti. Toh, menikah itu saling belajar. Aku belajar dari kepekaannya terhadap orang lain. Sementara aku mengajari dia dengan kuliah prinsip dan kehidupan. Tak jaranga kami bercerita dan saling menguliahi sampai larut malam. Terlebih saat kami terhimpit.
Menjelang satu tahun pernikahan muncul masalah baru. Aku diberhentikan dari tempat kerja. Praktis saat itu pemasukan kami hanya dari hasil penjualan keripik bawang yang kami rintis dan uang siaran yang hanya sekitar 450 ribuan per bulan. Aku berusaha tegar. Sementara dia tak bisa menyembunyikan kesedihan. Kami saling menguatkan meski kami tahu kami sama-sama rapuh. Aku memeluknya erat sembari meminta maaf. Aku merasa telah gagal sebagai suami. Aku pernah berjanji untuk tidak akan membuat dia mengemis makanan dan mimpi buruk itu sedang menghampiri.
Kami berpikir cukup lama. Kami seperti ada di titik nadir.Â
Kami seperti dua orang linglung dan tersesat di tengah hutan belantara. Aku bahkan tak kuat memandangnya, sebab saat aku melihat wajah sendunya tiba-tiba dadaku sesak. Kami memilih saling menguatkan. Istriku orang yang sering mengambil keputusan pada saat-saat emosi (marah, bahagia, haru, dsb) memuncak, sementara aku kebalikannya. Kami menghubungi beberapa teman untuk meminta bantuan. Namun, semuanya buntu. Kami diskusi panjang.Â
Lalu tebersit untuk meninggalkan Panyabungan. Kami sudah sepakat untuk menjual segala yang kami miliki. Aku melirik sepeda motor yang menjadi harta kami pertama. Dadaku sesak. Namun, apa boleh buat. Hidup harus berjalan, bukan? Kami menimbang-nimbang beberapa tempat yang dituju. Berdebat panjang. Akhirnya dengan sedikit keraguan kami putuskan untuk merantau dengan syarat kami coba bertahan satu atau dua bulan lagi.
Aku berpikir ulang. Kami tidak boleh menyerah pada kehidupan. Kami punya kemampuan. Kami membuat kesepakatan untuk satu bulan lagi bertahan. Suatu hari menjelang siang tiba-tiba ada telepon dari radio. Aku berangkat ke radio. Ternyata aku ditawari kerja sebagai karyawan. Aku tak tahu harus berkata apa, selain syukur yang terus terucap dalam hatiku. Gajinya saat itu kami rasa cukup untuk sementara. Selepas pembicaraan kontrak kerja, aku pulang ke rumah.Â
Kami berpelukan sangat lama. Air mata berurai. Hidup yang baru telah dimulai. Lalu aku ditawari untuk bekerja di tempat lain dengan gaji yang lebih besar. Namun, aku tolak. Aku selalu berprinsip dalam hidup tidak boleh kemaruk dan ini selalu aku ajarkan pada istri. Beberapa saat kemudian istri dapat kerja les privat. Lalu dapat kerjaan lain di suatu perusahaan Bimbel swasta. Les privatnya pun bertambah. Saat ini dia sudah punya tiga les privat dan sebentar lagi akan empat. Sementara aku, syukurku untuk Allah. Untuk saat ini kami sudah bisa bantu-bantu orang tua sedikit-sedikit dan berbagi dengan adik-adik kami.
Menikah itu tidak selalu mulus. Maka dari itu pejuang nikah, siapkan mentalmu. Rumah tangga itu seperti biduk di tengah lautan. Akan banyak gelombang dan badai datang menerjang. Bagaimanapun nantinya badai itu, kalian harus saling menguatkan dan berani mendayung di tengah-tengahnya agar sampai pada tujuan. Menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tanamkan prinsip dalam hidup. Bulatkan tekad. Penuhi keyakinan akan kuasa Allah.
Itu masih untuk usia pernikahan kami yang baru menginjak satu tahun 3 bulan. Kudoakan semoga perjuangan kalian yang ingin menikah diberi kekuatan dan jalan. Sedang kami, mohon doakan agar tetap bisa bertahan di tengah-tengah lautan kehidupan yang ombak dan badai bisa datang kapan saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H