Perkembangan pesat pembangunan infrastruktur di berbagai belahan dunia telah meningkatkan pula kebutuhan bahan baku alam. Pasir dan kerikil merupakan komoditas utama yang digunakan untuk pengembangan jalan, jembatan, bendungan, bandara, bangunan gedung. Sedangkan pasir laut adalah salah satu komponen utama dalam mereklamasi laut. Peningkatan kebutuhan secara besar-besaran ini telah menimbulkan kekhawatiran akan kelangkaan sumber daya alam dan permasalahan lingkungan. Â
Negara-negara Asia menjadi kontributor utama sebagai pihak yang membutuhkan pasir saat booming pembangunan. Singapura, negara importir pasir urug terbesar di dunia, memiliki program memperluas wilayahnya sebesar 25 % melalui reklamasi laut, yang sejauh ini belum menghentikan programnya.
Sepanjang tahun 2016 misalnya, Singapura dilaporkan telah mengimpor pasir sebesar USD 752 juta dari Kamboja. New Delhi mengalami peningkatan populasi sebesar tiga kali lipat dalam 25 tahun terakhir. Sementara Beijing tumbuh empat kali lipat dari tahun 1999 sampai 2009. Di Indonesia sendiri, pemerintah yang gencar membangun infrastruktur di berbagai kawasan mulai meningkat tiga tahun terakhir ini.
Belt and Road Initiative,sebuah program ambisius China yang diluncurkan pada tahun 2013 untuk meningkatkan perdagangan dan diplomasi global lebih dari 60 negara di Asia, Afrika dan Timur Tengah, telah meningkatkan pengembangan fasilitas infrastruktur yang memadai, baik di darat maupun di laut. Program ini termasuk pengurugan laguna dan menutupi karang dengan pasir untuk pembuatan pulau-pulau buatan di Laut China Selatan.
KELANGKAAN YANG MEMBAYANG
Lebih dari 70 persen dari total pasir yang ditambang untuk konstruksi pada tahun 2014 digunakan di Asia, terutama di China, menurut firma riset pasar Freedonia Group.Jumlah beton yang digunakan China dalam 4 tahun terakhir sama dengan jumlah yang digunakan oleh AS dalam 100 tahun. Kecenderungannya terus berlanjut selama tahun-tahun depan.Â
Menurut Price Waterhouse Coopers, Asia mewakili hampir 60 persen dari pengeluaran infrastruktur global pada tahun 2025, terutama didorong oleh pertumbuhan China. Pada tahun 2019 saja, Asia akan membutuhkan hampir 11 juta ton pasir, hampir 8 juta ton di antaranya akan digunakan hanya di China (data Freedonia Group).
Dalam sebuah laporan PBB tahun 2014, Pascal Peduzzi, Direktur Database Informasi Sumber Daya Global PBB, mengatakan bahwa pasir dan kerikil telah melampaui bahan bakar fosil dan biomassa untuk menjadi bahan yang paling banyak diekstraksi di dunia, dan "sekarang diekstraksi pada tingkat yang jauh lebih besar daripada tingkat pembaharuannya". Masalahnya akan memburuk pada tahun ini dan seterusnya karena permintaan terus berkembang, terutama di Asia, karena sumber daya yang semakin terbatas.
Negara-negara di Asia, seperti Indonesia dan Vietnam, telah melarang atau membatasi ekspor selama beberapa tahun terakhir, sementara India telah mulai membatasi lisensi yang dikeluarkannya untuk mengekspor pasir. Di Kamboja, ekstraksi pasir di provinsi Koh Kong telah menyebabkan dampak lingkungan jangka panjang di wilayah sungai.Â
Di Cina, ekstraksi pasir telah menyebabkan penurunan dramatis permukaan air Danau Poyang, danau air tawar terbesar di negara itu. Di India, ketika terjadi kekurangan pasir yang parah, pasir diambil dari sungai musiman (ketika kemarau sungai itu kering). Padahal pasir yang mengandung kandungan lumpur yang tinggi memiliki kelembaban yang tinggi pula dan bisa mengurangi kekuatan beton.
Secara umum, di negara-negara yang giat mengekstraksi pasir bangunan dari sungai-sungai yang tidak mampu merehabilitasi atau melakukan pembaharuan kembali akan mengalami masalah kelangkaan. Kurangnya pasir sungai ini dalam jangka pendek akan meningkatkan harga komoditas. Salah satu contoh, di Vietnam harga pasir diprediksi akan mencapai USD 8,60 ton pada tahun 2019 (naik dari USD 5,65 pada tahun 2014).