Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keugaharian Menjadi Pilihan

4 Oktober 2020   08:45 Diperbarui: 4 Oktober 2020   08:53 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Buah hati kami menangis menjelang tidurnya di malam hari. Tangisnya disebabkan karena permohonan untuk dibelikan mainan hanya kami jawab seperti biasanya: "Iya, nanti Papa Mama belikan, tapi harus nabung dulu ya."

Buah hati kami sangat memahami aturan yang telah kami tetapkan bahwa saat menginginkan sesuatu, tak mungkin bisa dipenuhi seketika, melainkan ada proses yang harus dilalui lebih dulu yakni dengan cara menabung.

Bahkan tak jarang saat buah hati memohon sesuatu kepada kami, kalimat permohonannya selalu diikuti dengan akhiran: "Harus nabung dulu ya, Pa (atau Ma)?"

Namun, empat hari lalu (30/9/2020) menjadi hari yang berbeda, buah hati kami menangis saat kami menyampaikan harus menabung lebih dulu, dalam tangisnya buah hati kami berusaha berdiplomasi:

"Ethan nggak mau nabung, Ethan mau beli mainan, tabungan Ethan sudah ada di rumah Oma, Opa sudah tabungkan banyak untuk Ethan." 

Mendengar diplomasinya ini, kami berdua (saya dan istri) yang malam itu sudah mematikan lampu kamar dan bersiap untuk terlelap dalam tidur, seketika menjadi terkejut dan tertawa.

Ternyata menjelang sepuluh bulan (2/10/2020) kepergian Opanya menuju keabadian, masih segar dalam ingatan buah hati kami tentang tabungan yang pernah disiapkan oleh Opanya.

Bahkan buah hati kami bisa menyebutkan dengan spesifik tempat Opanya menyimpan tabungan (berupa kumpulan koin dalam celengan dari botol bekas bedak bayi ukuran 500 gram) di bawah tangga rumah Oma---semenjak kepergian Opanya, buah hati kami tidak pernah menyebut rumah Opa lagi, tetapi atas inisiatifnya sendiri mengganti sebutan dengan rumah Oma (pribadi yang masih hidup).

Opanya memang telah menyediakan tiga celengan yang rutin diisi dengan kumpulan koin untuk ketiga cucunya, dan tempat dari ketiga celengan itu pun masih tetap sama, belum ada yang membukanya hingga sekarang.

Selama setahun terakhir sebelum kepergian Opanya, buah hati kami memang selalu menyaksikan Opanya (dengan sengaja memperlihatkan) setiap kali memasukan koin-koin ke dalam celengan. Tak jarang pula Opanya dengan sengaja menyerahkan celengan ke buah hati kami untuk diangkat guna dirasakan bobotnya, pertanda celengannya telah penuh dengan kumpulan koin.

Tindakan yang Opanya lakukan ini pasti memiliki alasan yang kuat di baliknya, dan alasan itu saya yakini salah satunya karena Papa sedang berusaha mengajarkan kepada cucu-cucunya bahwa apabila ingin mendapatkan sesuatu, harus menyiapkan segala sesuatu dengan tekun lebih dulu, salah satunya melalui menabung.

Saya sangat memahami alasan tersebut, karena nilai ini pula yang tanpa disadari telah tertanam dalam diri saya. Selama bertahun-tahun saya menyaksikan mendiang Papa lebih memilih hidup dalam keugaharian (hidup sederhana dan berkecukupan), supaya bisa mempersiapkan masa depan yang baik bagi anak-anaknya.

Sependek ingatan saya selama menjadi anak Papa, keugaharian yang menjadi pilihan hidup Papa ini, salah satunya tampak dari Papa yang tidak pernah membeli baju bagi dirinya sendiri, busana yang dikenakannya selalu (tampil) apa adanya.

Keadaan yang demikian terjadi bukan karena Papa tak memiliki cita rasa dalam berbusana, apabila melihat foto-foto Papa tempo dulu (sebelum saya lahir), Papa terlihat mengikuti tren dalam berbusana pada masanya, dan Papa tampak flamboyan dengan gaya berbusananya---khas penampilan pria berdarah Ambon yang perlente.

Saya pernah mencoba mengonfirmasi kepada Papa (saat masih hidup) mengapa tidak pernah memperhatikan penampilan lagi, jawaban Papa sekenanya: "Sudah nggak penting yang gitu itu, ada yang jauh lebih penting."

Setelah kepergian Papa, rasa penasaran sempat melanda, dan saya pun mencoba mengonfirmasi terkait hal yang sama kepada Mama yang pernah menjadi kekasih di masa muda Papa.

Berdasarkan pengakuan Mama, Papa di masa mudanya memang selalu berpakaian rapi, tampak necis. Bahkan Mama pun menyampaikan bahwa setelah memasuki pernikahan, Mama menyaksikan Papa yang selalu menata rapi dan menjaga busana yang dimilikinya dengan baik.

Namun, saat kebutuhan bagi buah hatinya dirasa jauh lebih penting untuk dipenuhi, maka Papa tidak pernah memperhatikan penampilan lagi (seiring dengan pakaian yang telah dimiliki termakan oleh waktu), Papa lebih memilih untuk menabung supaya bisa mempersiapkan masa depan (dana pendidikan, dll.) yang baik bagi buah hatinya.

Teladan tentang keugaharian inilah yang tanpa pernah dipaksakan untuk bisa tertanam dalam jiwa, hanya karena sebagai anak yang telah melihat gaya hidup Papanya selama bertahun-tahun, pada akhirnya mengantarkan saya berada pada jalan yang sama dengan yang telah ditempuh oleh Papa.

Keugaharian yang telah menjadi pilihan hidup, tentu bukan berarti meniadakan cita rasa untuk bisa berpenampilan perlente. Dengan mengalirnya darah Ambon yang saya warisi dari Papa dalam diri ini, terlebih sejak kecil telah hidup dengan pemikiran-pemikiran yang berakar pada budaya Jawa, salah satunya pemikiran (filsafat) tentang "Ajining Raga Saka Busana" (terjemahan bebas: harga diri seseorang dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan), maka hasrat berpenampilan perlente pun tetap ada.

Namun, hasrat berpenampilan perlente untuk saat ini tidak menjadi prioritas yang utama, masih ada kebutuhan primer yang jauh lebih penting untuk dipersiapkan bagi masa depan, daripada sekadar kebutuhan sekunder dalam hal berbusana yang mungkin hanya demi gengsi, konten di media sosial, dan tuntutan sosial (social pressure).

Teristimewa melalui teladan keugaharian dari Papa, Papa telah menunjukan bahwa dengan memilih hidup sederhana dalam sikap kecukupan bagi diri sendiri, telah menjadikan hidup Papa lebih berharga karena bisa berguna bagi sesama. Makin banyak pendapatan yang bisa diamankan, maka makin banyak kehidupan yang bisa dibagikan.

Nilai inilah yang akan kami teladani, hidup dalam keugaharian dengan memiliki pengendalian diri dalam mengelola pengeluaran untuk menyiapkan masa depan, serta bersedia berbagi dengan sesama, supaya makin banyak yang bisa ikut merayakan kehidupan.

Kota Surabaya, 4 Oktober 2020

RAS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun