Saya sangat memahami alasan tersebut, karena nilai ini pula yang tanpa disadari telah tertanam dalam diri saya. Selama bertahun-tahun saya menyaksikan mendiang Papa lebih memilih hidup dalam keugaharian (hidup sederhana dan berkecukupan), supaya bisa mempersiapkan masa depan yang baik bagi anak-anaknya.
Sependek ingatan saya selama menjadi anak Papa, keugaharian yang menjadi pilihan hidup Papa ini, salah satunya tampak dari Papa yang tidak pernah membeli baju bagi dirinya sendiri, busana yang dikenakannya selalu (tampil) apa adanya.
Keadaan yang demikian terjadi bukan karena Papa tak memiliki cita rasa dalam berbusana, apabila melihat foto-foto Papa tempo dulu (sebelum saya lahir), Papa terlihat mengikuti tren dalam berbusana pada masanya, dan Papa tampak flamboyan dengan gaya berbusananya---khas penampilan pria berdarah Ambon yang perlente.
Saya pernah mencoba mengonfirmasi kepada Papa (saat masih hidup) mengapa tidak pernah memperhatikan penampilan lagi, jawaban Papa sekenanya: "Sudah nggak penting yang gitu itu, ada yang jauh lebih penting."
Setelah kepergian Papa, rasa penasaran sempat melanda, dan saya pun mencoba mengonfirmasi terkait hal yang sama kepada Mama yang pernah menjadi kekasih di masa muda Papa.
Berdasarkan pengakuan Mama, Papa di masa mudanya memang selalu berpakaian rapi, tampak necis. Bahkan Mama pun menyampaikan bahwa setelah memasuki pernikahan, Mama menyaksikan Papa yang selalu menata rapi dan menjaga busana yang dimilikinya dengan baik.
Namun, saat kebutuhan bagi buah hatinya dirasa jauh lebih penting untuk dipenuhi, maka Papa tidak pernah memperhatikan penampilan lagi (seiring dengan pakaian yang telah dimiliki termakan oleh waktu), Papa lebih memilih untuk menabung supaya bisa mempersiapkan masa depan (dana pendidikan, dll.) yang baik bagi buah hatinya.
Teladan tentang keugaharian inilah yang tanpa pernah dipaksakan untuk bisa tertanam dalam jiwa, hanya karena sebagai anak yang telah melihat gaya hidup Papanya selama bertahun-tahun, pada akhirnya mengantarkan saya berada pada jalan yang sama dengan yang telah ditempuh oleh Papa.
Keugaharian yang telah menjadi pilihan hidup, tentu bukan berarti meniadakan cita rasa untuk bisa berpenampilan perlente. Dengan mengalirnya darah Ambon yang saya warisi dari Papa dalam diri ini, terlebih sejak kecil telah hidup dengan pemikiran-pemikiran yang berakar pada budaya Jawa, salah satunya pemikiran (filsafat) tentang "Ajining Raga Saka Busana" (terjemahan bebas: harga diri seseorang dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan), maka hasrat berpenampilan perlente pun tetap ada.
Namun, hasrat berpenampilan perlente untuk saat ini tidak menjadi prioritas yang utama, masih ada kebutuhan primer yang jauh lebih penting untuk dipersiapkan bagi masa depan, daripada sekadar kebutuhan sekunder dalam hal berbusana yang mungkin hanya demi gengsi, konten di media sosial, dan tuntutan sosial (social pressure).
Teristimewa melalui teladan keugaharian dari Papa, Papa telah menunjukan bahwa dengan memilih hidup sederhana dalam sikap kecukupan bagi diri sendiri, telah menjadikan hidup Papa lebih berharga karena bisa berguna bagi sesama. Makin banyak pendapatan yang bisa diamankan, maka makin banyak kehidupan yang bisa dibagikan.