Pada tanggal 7 Januari 1965 Presiden Soekarno menolak dengan tegas keputusan PBB untuk menunjuk Malaysia sebagai anggota tidak tetap dewan keamanan PBB, oleh karena itu demi mempertegas keputusan politik luar negerinya maka Soekarno menyatakan Indonesia untuk keluar dari PBB dan membentuk organisasi tandingan yaitu Conference of The New Emerging Forces (CONEFO). Dalam perkembangannya Soekarno menggambarkan visi pandangannya membentuk CONEFO sebagai upaya melawan Neokolonialisme dan imperialisme dari negara barat yang memainkan peran terlalu dominan dalam dunia internasional, sudah tentu kebijakan luar negeri Soekarno sangat dipengaruhi oleh situasi geopolitik dunia saat itu dan posisi Indonesia dalam pandangan visi pribadinya.
Kasus terbentuknya CONEFO juga dipengaruhi oleh faktor eksternal lain dengan Malaysia yaitu selain menentang keputusan PBB atas terpilihnya Malaysia menjadi dewan keamanan tidak tetap, Indonesia menentang keberadaan negara Malaysia yang menurut Soekarno adalah boneka dari imperialis Inggris. Perlu kita lihat secara mendalam kasus Malaysia dan pengaruh nuansa geopolitik dunia barat saat itu turut berpengaruh secara langsung terhadap pikiran dan tindakan Soekarno dalam merumuskan kebijakan luar negeri Indonesia pada era orde lama.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa dasar utama dari CONEFO terbentuk tidak lain dan tidak bukan untuk tujuan mengimbangi kekuatan barat yang jauh terlihat dominan dalam pandangan Soekarno, sekaligus mengimbangi pandangan politik luar negeri hubungan internasional dengan memberikan visi alternatif dari negara berkembang kepada negara-negara lain. Jika demikian maka pendirian CONEFO harus kita pandang sebagai ujung tombak kekuatan Indonesia dalam dunia hubungan internasional untuk memperjuangkan nilai-nilai bangsa Indonesia, CONEFO juga menurut visi Soekarno merupakan organisasi tandingan PBB yang berdiri melawan hegemoni kekuatan negara-negara lama atau yang di gambarkan Soekarno sebagai Old Established Forces (OLDEFO). Â
Secara lebih jelas CONEFO menurut Soekarno akan hadir dalam dunia hubungan internasional untuk menjadi penyeimbang dua kekuatan dunia antara lain negara blok barat yang mendukung Amerika Serikat dan blok timur mendukung Uni Soviet. Bisa kita pahami visi dan semangat Soekarno dalam memperjuangkan idenya tersebut berhasil membuahkan hasil dengan bergabungnya beberapa negara mendukung, dan berhasil menyelenggarakan olimpiade internasional tandingan Games of the New Emerging Forces (GANEFO) yang bertujuan menunjukkan kekuatan solidaritas organisasi tersebut di mata dunia internasional.
Akan tetapi sesuai dengan fakta sejarah organisasi ini kemudian berakhir bubar dan di tinggalkan oleh negara-negara pendukungnya dan tidak lagi ada negara yang menyinggung maupun memperjuangkan nilai organisasi ini untuk muncul kembali. Hal ini menarik untuk masuk menjadi tulisan saya karena muncul dan hilangnya CONEFO merupakan sebuah kasus sejarah politik luar negeri Indonesia yang layak untuk dipelajari, oleh karena itu saya menentukan rumusan masalah pada tulisan kali ini adalah. Kegagalan Conference of The New Emerging Forces (CONEFO) dalam politik luar negeri Indonesia.
Kegagalan CONEFO sebagai alat politik luar negeri Indonesia menurut argumentasi saya adalah karena Indonesia tidak memiliki legitimasi kekuasaan (power) dan pengaruh (Influence) dalam dunia interasional, sehingga CONEFO tidak bisa berjalan efektif akibat lemahnya pengaruh kekuatan lembaga ini. Dalam penjelasan ini pada saat awal kemerdekaan era orde lama Indonesia belum memiliki kekuatan geopolitik berpengaruh di panggung politik internasional, akan tetapi Soekarno menciptakan kebijakan luar negeri Indonesia yang bersifat agresif tanpa memandang kapabilitas kemampuan Indonesia saat itu dan ini terkesan sangatlah nekat.
Visi Soekarno serta semangatnya dalam membawa Indonesia membentuk organisasi tandingan melawan PBB sangatlah berlandaskan pada semangat romantisme nasionalisme tanpa ada pemikiran jangka panjang bagaimana negara dengan kekuatan lemah secara politik, militer, dan ekonomi pasca kemerdekaan dapat menunjukkan kekuatan eksistensinya secara global. Untuk membantu memahami akan saya tambahkan sumber teori pandangan hubungan internasional demi membantu memperjelas.
Dalam teori hubungan internasional ilmuwan pakar terkenal bernama Hans Morgenthau mengemukakan prinsip tentang kekuasaan dalam tulisannya yang berjudul, enam prinsip teori politik realisme (six principles of Political Realism). Di dalam teori tersebut Morgenthau dengan jelas menggambarkan bahwa sebuah negara dapat menggunakan kekuasaan untuk memperluas pengaruhnya sebagai sebuah tujuan negara tersebut, kekuasaan dari sebuah negara dapat membuat lingkup kekuasaan kepada negara-negara yang berhubungan dengan dia maupun berada dekat dengannya untuk merasakan pengaruh tersebut.Â
Negara yang mendapatkan dampak dari lingkup kekuasaan tersebut akan menciptakan blok kekuasaan sebagai sebuah jalan dalam menyampaikan pengakuan atas kekuasaan negara utama pemegang kuasa terbesar, dalam hal ini kemudian memunculkan faktor legitimasi kekuasaan bagi negara lain pada negara utama.
Dalam penjelasan singkat tentang prinsip kekuasaan yang dikemukakan oleh Morgenthau dapat kita ambil sebuah poin penting terkait negara utama dan blok ke kuasaannya yaitu, sebuah negara jika ingin menunjukkan pengaruh legitimasinya maka penting sekali untuk memiliki kekuasaan besar yang diakui oleh negara-negara lain. Kasus Indonesia dan organisasi internasional CONEFO buatan Soekarno terbentuk tanpa ada struktur legitimasi kekuasaan yang cukup dari negara lain untuk menciptakan blok kekuatan pembanding untuk melawan PBB, secara garis besar Indonesia hanya unggul pada tingkat visi tapi gagal dalam misi implementasi.