Mohon tunggu...
Glen Oktavian Turambi
Glen Oktavian Turambi Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Graduate of International Relations degree.Studied History, Diplomacy, War Studies, and International Politics

Sangat tertarik dengan topik Hubungan Internasional dan strategi Geopolitik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Evaluasi Kebijakan Luar Negeri Warisan Soekarno terhadap Isu Kemerdekaan Palestina

6 April 2023   09:46 Diperbarui: 6 April 2023   09:50 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image chttps://wallpaperaccess.com/soekarnoaption

Dalam beberapa hari terakhir publik Indonesia di hebohkan dengan batalnya piala dunia U20 di Indonesia sebagai tuan rumah event sepak bola tersebut. Banyak media kemudian menyoroti kegagalan ini akibat penolakan dari dua tokoh politik Indonesia yaitu Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster, dengan alasan kedatangan Israel sebagai pemain pertandingan event besar tersebut merupakan langkah mengakui kedaulatan negara Israel.

Kedua gubernur tersebut sepakat dengan argumen yang sama bahwa harus terus memperjuangkan hak kemerdekaan Palestina karena hal tersebut adalah semangat ide perjuangan dari Presiden pertama Soekarno, oleh karena itu jika Indonesia menjamu Israel maka sama dengan mengakui kemerdekaan Israel. Tentu jika kita memandang alasan ini sekilas maka memang jelas kerangka pemikiran ini sesungguhnya ialah politik. Masyarakat kemudian dibuat terkejut dengan keputusan FIFA untuk membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U20, dalam menanggapi hasil keputusan tersebut reaksi masyarakat kemudian menyerang habis-habisan kedua tokoh politik yaitu Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster sampai mengancam salah satunya untuk tidak akan menang dalam pemilihan Presiden putaran 2024 nanti. 

Reaksi masyarakat Indonesia sangat beragam ada yang menolak dan ada yang mendukung, tetapi sisi mendukung Indonesia menjadi tuan rumah pertandingan piala dunia U20 jauh lebih banyak dan mayoritas tidak mempersoalkan Israel

Pada tulisan kali ini saya mencoba menuangkan isi pikiran saya menjadi tulisan setelah melihat ada beberapa kawan yang meminta saya menulis soal isu ini. Jujur sepak bola bukan bidang keahlian saya dan saya tidak akan menulis ini dari kacamata pengamat bola, akan tetapi saya menulis ini dari sisi pandangan analis politik luar negeri. Lagipula sudah banyak komentator dan penulis di kompasiana dan media lain yang saya baca sudah membahas topik ini dengan tajam dan akurat dari sisi nilai sepak bola, oleh karena itu tidak perlu jika saya menambahkan tulisan yang sama dari sisi yang sama apalagi dengan keterbatasan pengetahuan akan bidang sepak bola.

Pandangan pada tulisan saya kali ini akan menyoroti perihal landasan pemikiran kedua politisi Indonesia yang tadi yaitu Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster, mereka berdua menolak Israel bermain atas dasar kerangka pemikiran politik luar negeri Soekarno di masa lampau. Oleh karena itu saya menentukan rumusan masalah pada tulisan kali ini adalah, evaluasi kebijakan luar negeri warisan Soekarno terhadap isu kemerdekaan Palestina saat ini.

Jika dapat digambarkan secara singkat maka isu Palestina adalah harga mati dalam segala lapisan isu politik luar negeri Indonesia. Bagi Soekarno paling tidak ada dua poin utama mengapa Palestina bermakna bagi Indonesia, pertama Palestina menjadi salah satu negara pertama yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan yang kedua perjuangan kemerdekaan Palestina melawan Israel memiliki nilai anti kolonialisme seperti Indonesia. 

Pada sisi lain Soekarno secara pribadi tidak menyukai Israel karena merepresentasikan nilai penjajahan di masa lampau, paling tidak ini terlihat pada konsep pemikiran yang digelorakan oleh Soekarno saat ditanyai oleh seorang wartawan mengenai Palestina, beliau menyatakan dengan jelas dan tegas "... Dan untuk Israel, selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menentang penjajahan Israel". 

Dalam pernyataan itu terlihat dengan jelas Soekarno mendirikan fondasi politik luar negeri Indonesia akan tetap selamanya memperjuangkan isu Palestina untuk menjadi titik sentral dalam melawan nilai penjajahan, inilah yang kemudian menjadi latar belakang segenap lapisan masyarakat Indonesia mulai dari paling bawah sampai paling atas tetap membela Palestina. 

Kerangka kebijakan luar negeri ala Soekarno ini kemudian bercampur aduk dengan semangat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme yang di simbolkan oleh Soekarno kepada Israel saat menjajah tanah Palestina, ini kemudian membentuk politik luar negeri Indonesia menjadi sangat militan dan agresif dalam membahas isu ini. 

Dapat saya jadikan contoh kecil kasus batalnya piala dunia U20 di Indonesia barusan justru mendapat respon unik dari Palestina karena tidak merasa keberatan dengan adanya timnas Israel, Palestina melalui duta besarnya sudah menyampaikan bahwa Indonesia tetap terlihat konsisten dan teguh mendukung Palestina sehingga tidak mempermasalahkan kegiatan olah raga tersebut. Pada kasus ini sudah terlihat jelas efek dari pada politik luar negeri Indonesia terhadap mendukung Palestina menciptakan masyarakat Indonesia memiliki militansi tingkat tinggi kepada perjuangan Palestina, bahkan menjadi lebih fanatik melampaui semangat Palestina itu sendiri. 

Sekarang jika kita kembali pada rumusan masalah saya apakah kebijakan luar negeri seperti ini bisa relevan, paling tidak apa tolak ukur variabel membuktikan bahwa militansi dan semangat Indonesia seperti ini dalam membela Palestina dapat membawa perubahan bagi geopolitik Timur Tengah. Jawabannya adalah tidak signifikan. Indonesia dengan kebijakan luar negeri warisan Soekarno yang sangat militan dan total memperjuangkan Palestina tidak memiliki kerangka perencanaan strategi politik, sehingga pola politik luar negeri Indoensia tidak memiliki dampak secara berarti terhadap menolak kekuatan Israel di Palestina. 

Indonesia berani tetapi tidak memiliki langkah strategi yang realistis dalam memberikan negosiasi menekan balik Israel, data yang dimiliki oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia menunjukkan bahwa arah kebijakan Indonesia hanya terbagi dua yaitu dukungan di tingkat multilateral dan tingkat lebih tinggi menyelenggarakan konfrensi internasional yang mengangkat isu Palestina seperti KAA 2015, Conference on the Question of Jerusalem 2015, dan KTT luar biasa OKI ke 5 2015 ( paling tidak ini data yang saya dapatkan di web Kementerian Luar Negeri Indonesia saat saya akses tahun 2023).  

Dari data tersebut menunjukkan Indonesia hanya memainkan peran kemanusiaan dengan memberikan bantuan dan mengadakan pembahasan formal terhadap isu Palestina melalui forum internasional tanpa ada perubahan lebih berarti, beberapa negara perlahan ada yang mulai merubah pandangan mendukung Palestina tetapi berjalan sangatlah lambat dan belum sampai pada pengakuan resmi. Kasus data pembanding yang menarik dengan diplomasi yang berhasil justru datang dari kubu Isarel dengan bantuan negosiasi Amerika Serikat.

Data pembanding yang dapat diperhatikan lebih serius adalah pada tahun 2020 melalui kesepakatan Abraham Accords justru Amerika Serikat berhasil membalik dukungan empat negara Liga Arab untuk mengakui kedaulatan Isarel, empat negara itu adalah Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Perjanjian Abraham Accord merupakan kesepakatan negosiasi yang dibuat oleh Presiden Donald Trump yang berjalan staretegis cukup efektif, contohnya salah satunya adalah Sudan dimana secara resmi sebagai gantinya mengakui Israel dihapus dari daftar negara teroris oleh Amerika, dan Maroko sebagai gantinya mengakui Israel klaim atas wilayah barat Sahara diberikan pada Maroko. 

Dari kasus ini kita belajar bahwa kebijakan luar negeri yang efektif adalah kebijakan luar negeri yang memiliki strategi terukur jelas apa poin arah politiknya bagi sebuah negara, sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil yang jelas dan memiliki dampak signifikan. 

Israel mampu menjalin hubungan dekat dengan Amerika Serikat sehingga mendapat bantuan diplomasi yang memudahkan posisi geopolitik negara itu dalam menghadapai tekanan negara Liga Arab. Berbanding terbalik dengan Indonesia dan warisan semangat militansi kebijakan luar negeri Soekarno apakah sudah bisa membalikan beberapa negara pendukung Israel? Tentu sudah terlihat melalui data dan variabel kasus Sudan dan tiga negara Liga Arab lainnya yang berbalik mendukung Israel bahwa kebijakan luar negeri yang dilandasi perencanaan strategi dan bukan melalui semangat militansi agresif akan sudah pasti memberikan hasil. 

Bagi saya kekuatan Indonesia terletak di Asia Tenggara sebagai Regional Power bukan Global Power dengan pengaruh sampai di luar kawasan Asia Tenggara, saya cukup realistis dan optimis melihat kemenangan diplomasi Indonesia di kawasan Asia Tenggara karena faktor kekuatan yang dimainkan cukup lebih efektif dan bisa variasi bermanuver dengan berbagai isu, beberapa isu berhasil menurut saya salah satunya adalah pendamaian konflik Thailand dan Kamboja oleh negosiasi Indonesia tahun 2011. 

Berbanding terbalik untuk Palestina dan perjuangan kemerdekaan dari Isarel ini membutuhkan usaha yang tidak kecil disertai perlu adanya keterlibatan kekuatan lebih besar dan strategi geopolitik yang efektif jika ingin menghadapi isu ini.

Solusi terbaik menurut saya bagi Indonesia jika ingin berhasil memperjuangkan kemerdekaan Palestina terdiri dari dua opsi penting, pertama mengkaji kembali prinsip politik bebas aktif dan kedua melakukan negosiasi shuttle diplomacy (diplomasi ulang alik) kepada dua kekuatan regional Timur Tengah yaitu Arab Saudi dan Iran. Dalam poin pertama Indonesia harus sedikit realistis melihat bahwa idealisme politik bebas aktif tidak dapat memberikan langkah jauh karena Indonesia tidak memiliki kekuatan di kawasan Timur Tengah. 

Untuk masuk memberikan langkah yang berarti bagi kemerdekaan Palestina Indonesia harus merangkul kekuatan luar yang bisa menekan balik Amerika Serikat dan Israel, karena dengan adanya dukungan dari negara yang memiliki kekuatan besar seperti Repubik Rakyat Cina misalkan barulah diplomasi Indonesia memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi. Hal ini dipengaruhi seperti yang saya sebutkan sebelumnya Indonesia adalah negara Regional Power atau negara dengan luas pengaruh hanya sampai di kawasan tempat dia berada, dalam hal pengaruh politik Indonesia menguasai cukup baik wilayah Asia Tenggara. 

Akan tetapi kawasan Timur Tengah tidak mendapat pengaruh signifikan akan politik luar negeri Indonesia sehingga memunculkan masalah jika memaksakan diri masuk melakukan diplomasi tanpa memiliki kekuatan untuk negosiasi, lain hal dengan negara RRC dan Amerika Serikat mereka adalah Global Power dunia yang peran dan pengaruhnya dirasakan di seluruh negara di manapun. 

Konsekuensi dari langkah meninggalkan diplomasi politik bebas aktif dapat membuat Indonesia kehilangan jati diri politik luar negeri pertama Indonesia sehingga bisa menimbulkan penolakan dari kalangan masyarakat dan dari lembaga pengawas negara seperti DPR, akan tetapi dengan perkembangan zaman saat ini dan situasi geopolitik yang sudah jauh berubah dibanding era awal proklamasi maka saya rasa perlu dikaji kembali dalam hal implementasi prinsip kebijakan tersebut.  

Poin kedua adalah melakukan strategi shuttle diplomacy terhadap negara Iran dan Arab Saudi sebagai solusi menenangkan dua kekuatan utama dan mengundang keduanya untuk fokus terhadap isu Palestina. Mencoba menarik dukungan kedua negara ini merupakan strategi penting masuk di Timur Tengah karena baik Iran dan Arab Saudi adalah dua kekuatan Regional Power di kawasan tersebut. Selama bertahun-tahun kawasan Timur Tengah berada dalam istilah perang dingin karena menjadi arena perebutan kekuasaan antara kedua negara tersebut untuk menjalankan kepentingan luar negeri mereka masing-masing, dengan masuknya Indonesia kesana tentu membutuhkan bantuan dari kedua negara tersebut. 

Dalam prinsip Shuttle Diplomasi Indonesia harus mencoba menjadi penengah akan perbedaan pandangan terkait isu Palestina di antara Arab Saudi dan Iran, Indonesia harus mampu menyelesaikan perbedaan prinsip diantara kedua negara tersebut untuk secara bersama duduk merumuskan kerangka kebijakan luar negeri yang tepat bagi perjuangan kemerdekaan Palestina. Dengan bersatunya dua kekuatan utama Timur Tengah dalam bekerjasama membela Palestina dapat membantu secara signifikan dengan hasil diplomasi yang jelas, Indonesia juga dapat memiliki kekuatan negosiasi yang lebih kuat jika kedua negara tersebut secara bersama memperjuangkan isu Palestina dengan arah perencanaan yang jelas.

Kesimpulan dari tulisan saya ini adalah kebijakan luar negeri Soekarno dalam membela Palestina harus di evaluasi kembali, saya tidak mengatakan bahwa membela Palestina dihentikan tetapi harus ada perbaikan dalam cara pandang perencanaan politik luar negeri Indonesia. Jika kita hanya bergantung pada visi semangat militan Soekarno dan arah politik luar negeri Indonesia pada era Orde Lama maka kita bisa salah menempatkan pandangan dalam merumuskan solusi bagi Palestina, dan hasil kebijakan luar negeri yang dihasilkan tidak akan memberikan hasil yang berarti bagi perjuangan Palestina. 

Indonesia sadar betul jasa dan nilai perjuangan Palestina sangatlah sama dalam memperjuangkan anti kolonialisme dan perlawanan penjajahan, akan tetapi jika hanya berjuang lewat semangat visi tanpa menyadari perubahan geopolitik zaman sekarang maka perjuangan Palestina bisa sia-sia. Solusi bagi saya yang terbaik adalah Indonesia harus menggandeng negara lain yang memiliki Global Power untuk mencoba bersama menyelesaikan konflik tersebut, tetapi jika itu tidak berhasil bisa coba melakukan Shuttle Diplomasi dalam menengahi Iran dan Arab Saudi untuk menyelesaikan perbedaan mereka dalam menyelesaikan isu Palestina dan Israel. 

Dalam ide pandangan saya penting bagi Indonesia untuk mencoba sedikit menyesuaikan pandangan luar negerinya yaitu politik bebas aktif dengan isu internasional yang dihadapi, dalam kasus Palestina Indonesia secara realistis tidak mampu memberikan hasil yang cukup signifikan jika tidak bergabung dengan negara kekuatan penting lainnya. Indonesia tidak bisa berjalan sendiri dengan visi independen tidak mengikatkan diri dengan kekuatan dunia manapun dalam menyelesaikan persoalan Palestina karena Indonesia secara kekuatan hanyalah negara dengan pengaruh Regional Power bukan Global Power, kekuatan dari Indonesia terbukti beberapa kasus lebih berarti di dalam kawasan Asia Tenggara dalam menengahi isu internasional di sana. Tetapi untuk sampai pada kawasan Timur Tengah dampak dari politik luar negeri Indonesia terlalu kecil dan tidak signifikan berdampak pada geopolitik kawasan disana. Sekian dan terima kasih.

Sumber Refrensi:

https://www.antaranews.com/berita/2013891/lakukan-shuttle-diplomacy-menlu-ri-bahas-isu-myanmar-dengan-asean

https://kemlu.go.id/portal/id/read/23/halaman_list_lainnya/isu-palestina

https://foreignpolicy.com/2020/12/21/arab-ties-israel-diplomacy-normalization-middle-east/

https://travel.okezone.com/read/2022/04/19/408/2581533/4-negara-yang-berhasil-didamaikan-indonesia-apa-saja

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun