Sekarang jika kita kembali pada rumusan masalah saya apakah kebijakan luar negeri seperti ini bisa relevan, paling tidak apa tolak ukur variabel membuktikan bahwa militansi dan semangat Indonesia seperti ini dalam membela Palestina dapat membawa perubahan bagi geopolitik Timur Tengah. Jawabannya adalah tidak signifikan. Indonesia dengan kebijakan luar negeri warisan Soekarno yang sangat militan dan total memperjuangkan Palestina tidak memiliki kerangka perencanaan strategi politik, sehingga pola politik luar negeri Indoensia tidak memiliki dampak secara berarti terhadap menolak kekuatan Israel di Palestina.Â
Indonesia berani tetapi tidak memiliki langkah strategi yang realistis dalam memberikan negosiasi menekan balik Israel, data yang dimiliki oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia menunjukkan bahwa arah kebijakan Indonesia hanya terbagi dua yaitu dukungan di tingkat multilateral dan tingkat lebih tinggi menyelenggarakan konfrensi internasional yang mengangkat isu Palestina seperti KAA 2015, Conference on the Question of Jerusalem 2015, dan KTT luar biasa OKI ke 5 2015 ( paling tidak ini data yang saya dapatkan di web Kementerian Luar Negeri Indonesia saat saya akses tahun 2023). Â
Dari data tersebut menunjukkan Indonesia hanya memainkan peran kemanusiaan dengan memberikan bantuan dan mengadakan pembahasan formal terhadap isu Palestina melalui forum internasional tanpa ada perubahan lebih berarti, beberapa negara perlahan ada yang mulai merubah pandangan mendukung Palestina tetapi berjalan sangatlah lambat dan belum sampai pada pengakuan resmi. Kasus data pembanding yang menarik dengan diplomasi yang berhasil justru datang dari kubu Isarel dengan bantuan negosiasi Amerika Serikat.
Data pembanding yang dapat diperhatikan lebih serius adalah pada tahun 2020 melalui kesepakatan Abraham Accords justru Amerika Serikat berhasil membalik dukungan empat negara Liga Arab untuk mengakui kedaulatan Isarel, empat negara itu adalah Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Perjanjian Abraham Accord merupakan kesepakatan negosiasi yang dibuat oleh Presiden Donald Trump yang berjalan staretegis cukup efektif, contohnya salah satunya adalah Sudan dimana secara resmi sebagai gantinya mengakui Israel dihapus dari daftar negara teroris oleh Amerika, dan Maroko sebagai gantinya mengakui Israel klaim atas wilayah barat Sahara diberikan pada Maroko.Â
Dari kasus ini kita belajar bahwa kebijakan luar negeri yang efektif adalah kebijakan luar negeri yang memiliki strategi terukur jelas apa poin arah politiknya bagi sebuah negara, sehingga kebijakan tersebut dapat membawa hasil yang jelas dan memiliki dampak signifikan.Â
Israel mampu menjalin hubungan dekat dengan Amerika Serikat sehingga mendapat bantuan diplomasi yang memudahkan posisi geopolitik negara itu dalam menghadapai tekanan negara Liga Arab. Berbanding terbalik dengan Indonesia dan warisan semangat militansi kebijakan luar negeri Soekarno apakah sudah bisa membalikan beberapa negara pendukung Israel? Tentu sudah terlihat melalui data dan variabel kasus Sudan dan tiga negara Liga Arab lainnya yang berbalik mendukung Israel bahwa kebijakan luar negeri yang dilandasi perencanaan strategi dan bukan melalui semangat militansi agresif akan sudah pasti memberikan hasil.Â
Bagi saya kekuatan Indonesia terletak di Asia Tenggara sebagai Regional Power bukan Global Power dengan pengaruh sampai di luar kawasan Asia Tenggara, saya cukup realistis dan optimis melihat kemenangan diplomasi Indonesia di kawasan Asia Tenggara karena faktor kekuatan yang dimainkan cukup lebih efektif dan bisa variasi bermanuver dengan berbagai isu, beberapa isu berhasil menurut saya salah satunya adalah pendamaian konflik Thailand dan Kamboja oleh negosiasi Indonesia tahun 2011.Â
Berbanding terbalik untuk Palestina dan perjuangan kemerdekaan dari Isarel ini membutuhkan usaha yang tidak kecil disertai perlu adanya keterlibatan kekuatan lebih besar dan strategi geopolitik yang efektif jika ingin menghadapi isu ini.
Solusi terbaik menurut saya bagi Indonesia jika ingin berhasil memperjuangkan kemerdekaan Palestina terdiri dari dua opsi penting, pertama mengkaji kembali prinsip politik bebas aktif dan kedua melakukan negosiasi shuttle diplomacy (diplomasi ulang alik) kepada dua kekuatan regional Timur Tengah yaitu Arab Saudi dan Iran. Dalam poin pertama Indonesia harus sedikit realistis melihat bahwa idealisme politik bebas aktif tidak dapat memberikan langkah jauh karena Indonesia tidak memiliki kekuatan di kawasan Timur Tengah.Â
Untuk masuk memberikan langkah yang berarti bagi kemerdekaan Palestina Indonesia harus merangkul kekuatan luar yang bisa menekan balik Amerika Serikat dan Israel, karena dengan adanya dukungan dari negara yang memiliki kekuatan besar seperti Repubik Rakyat Cina misalkan barulah diplomasi Indonesia memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi. Hal ini dipengaruhi seperti yang saya sebutkan sebelumnya Indonesia adalah negara Regional Power atau negara dengan luas pengaruh hanya sampai di kawasan tempat dia berada, dalam hal pengaruh politik Indonesia menguasai cukup baik wilayah Asia Tenggara.Â
Akan tetapi kawasan Timur Tengah tidak mendapat pengaruh signifikan akan politik luar negeri Indonesia sehingga memunculkan masalah jika memaksakan diri masuk melakukan diplomasi tanpa memiliki kekuatan untuk negosiasi, lain hal dengan negara RRC dan Amerika Serikat mereka adalah Global Power dunia yang peran dan pengaruhnya dirasakan di seluruh negara di manapun.Â