"Lalu bagaimana denganmu?" Pertanyaan rancu, entah apa yang dia maksud. Dasar manusia aneh.
"Apa?"
"Kenapa kamu bisa ada disini?"
"Aku hanya iseng saja kemari" Sebisa mungkin aku menghindari tatapannya. Tatapan mengintimidasi seperti sedang mewawancarai pelaku pebunuhan berantai.
"Kau tidak pandai berbohong, Nona" ucapannya membuatku sedikit bergidik ngeri.
"Kamu tidak akan mungkin ada di ruangan ini jika tidak ada suatu hal yang membuatmu ada disini. Jiwamu pasti sudah mati juga kan? Luka mu mungkin lebih parah ketimbang luka ku."
"Sok tahu" tukasku begitu saja. Aku hanya bisa merasakan satu sayatan. Entahlah, rasanya sudah tidak lagi bisa untuk merasakan hal-hal yang membuatku seperti ini.
"Kamu tahu ini ruang apa?" Gelengan kepalaku kurasa sudah cukup untuk menjawab pertanyannya tanpa harus mengeluarkan kata-kata.
Dia berdiri, berjalan dengan sedikit tertatih. membawa lenteranya. Aku hanya memandangi setiap langkah yang mengarahkannya pada sudut ruangan. tertera dua kata yang tertulis menggunakan kapur putih di dinding.
Keningku berkerut, rasanya tak masuk akal. Tapi aku juga tak tahu siapa yang mengantarkanku kemari, pada ruang gelap yang berisi satu manusia dengan lukanya.
"Ruang kehampaan" lirihku yang mungkin masih bisa terdengar olehnya.