"Hei, kamu masih mau mendengarkan ceritaku?" Pintanya seketika membuyarkan lamunanku. "Tentu, kalau kamu mau dan tidak merasa keberatan"
Tiba-tiba saja ia mengenggam tanganku. Aku yang sedikit terkejut hanya bisa menatap matanya yang kali ini penuh harap. Aku tak tahu dia sedang mengharapkan apa, apakah dia berharap aku bisa membantu menyelesaikan semua masalahnya?
"Tatap mataku lebih dalam, maka kamu akan melihat semua luka ku. Luka yang tak pernah sanggup untuk ku ceritakan pada siapa pun."
Aku menatap matanya. Benar saja, aku melihat hatinya porak-poranda. Sudah hancur tak berbentuk. Banyak sekali luka yang menyayatnya, aku tak tahu seberapa sakit yang sedang ia tanggung saat ini. Kemudian, aku melihat sebuah kejadian di matanya. Melihatnya dengan seorang gadis yang mungkin juga seusianya. Gadis itu memeluk erat hati yang diberinya. Aku melihat, betapa besar rasa cinta yang sudah diberikan kepada gadisnya ini. Mungkin melebihi besarnya cintanya pada diri sendiri.
Aku melihat banyak kejadian di matanya, hingga pada akhirnya aku melihat gadis itu mengeluarkan sebilah pisau, menyayat hatinya berulang kali sebelum akhirnya dipotong menjadi beberapa bagian. Semua kejadian itu lenyap, hilang begitu saja.
Aku masih menatapnya, kali ini air matanya turun dari sudut mata.
"Dia siapa? kekasihmu?" tanyaku dengan penuh hati-hati. Aku khawatir jika nanti pertanyaanku hanya akan membuka luka di hatinya.
Tak ada kata yang terucap, dia hanya mengangguk lirih sebagai tanda jawaban dari pertanyaanku.
"Lalu, apa yang membuatmu dalam keadaan payah seperti ini?"
"Aku merawat luka ku sendiri. Selama itu pula aku terus mengaharapnya untuk kembali. Kembali disini, membantuku untuk memulihkan luka ku" ucapnya dibarengi dengan tetesan air mata.
"Haha, apa yang kamu harapkan dari seseorang yang bahkan sudah memporak-porandakan hatimu? Kamu pasti manusia yang berprinsip bahwasannya ada luka sekaligus obat. Bagaimana cara dia mengobatimu? dia saja yang menjadi penyebab luka terbesarmu. Yang ada lukamu akan semakin parah"