Minggu, 13 Maret 2022 pukul 10.00 WIB. Aku pergi ke salah satu gereja katolik yang terletak di Jalan Buring Kota Malang untuk melakukan wawancara. Gereja tersebut bernama "Gereja Katedral St. Perawan Maria dari Gunung Karmel". Ini kali pertama aku mengunjungi tempat peribadatan agama lain.Â
Awal mulanya, Aku berangkat dari kampusku menuju gereja dengan mengendarai GoCar. Dalam perjalanan dari kampusku menuju gereja, aku menikmati Kota Malang yang tergolong padat sembari mempersiapkan pertanyaan untuk wawancara nanti. Tak terasa aku sudah sampai di gereja, akupun keluar dari GoCar dengan perasaan bingung sembari bertanya-tanya dalam hati, bagaimana cara masuknya, bagaimana izinnya, dan bagaimana prosedur masuk gereja.Â
Ditengah kebingunganku, aku melihat ada seorang satpam disebuah Gedung pastoral di seberang gereja, akupun bergegas menghampiri satpam tersebut, kemudian bertanya bagaimana cara masuk dan melakukan wawancara oleh pihak gereja. Satpam itu pun kemudian mengarahkanku untuk langsung saja menuju gereja, kemudian bertanya kepada satpam gereja. Akupun menuruti perkataannya.
Aku menyeberang menuju gereja, sambal melihat-lihat bangunan gereja tersebut. Kemudian, seorang satpam menghampiriku dan mengucapkan salam kepadaku karena Ia tahu bahwa aku seorang Muslimah. Setelah mengucapkan salam padaku dan aku menjawabnya, Ia bertanya mengenai keperluaku ke gereja.Â
Akupun mengutarakan tujuanku, bahwa aku ingin melakukan wawancara dengan pihak gereja. Kemudian, satpam tersebut mengarahkanku untuk masuk gereja, dan Ia meminta izin terlebih dahulu kepada ketua pastoral paroki untuk ku wawancarai. Dan ternyata ketua pastoral paroki itu memberikan izin, dan bersedia untuk ku wawancarai. Kemudian, aku dan ketua pastoral paroki tersebut menuju sebuah ruangan untuk melakukan wawancara. Dan akupun segera melakukan wawancara tersebut.
Adrianus Gerry, merupakan ketua pastoral paroki Gereja Katedral Kota Malang. Ia menceritakan bahwa Gereja Katedral St. Perawan Maria dari Gunung Karmel dibangun pada tahun 1930-an, diresmikan pada tanggal 28 Oktober Tahun 1934. Dilatarbelakangi oleh kebutuhan umat yang memang memerlukan sebuah bangunan gereja yang mencukupi. Sebelum dibangun gereja, dahulunya tempat tersebut merupakan sebuah taman yang bernama Taman Buring.Â
Bapak Gerry juga bercerita bahwa dalam gereja pun, dalam agama Kristen pun mereka juga memiliki hierarki, diantaranya Paus, Kardinal, Uskup. Paus merupakan pimpinan tertinggi gereja Katolik seluruh dunia. Kemudian dibawah Paus terdapat Kardinal dan dibawah Kardinal terdapat Uskup, Uskup merupakan seorang pastur yang memimpin sebuah wilayah sedangkan pastor merupakan pemimpin agama yang melayani umat dalam perayaan misa/ekaristi disebuah gereja.
Selain itu juga terdapat biarawati, yaitu seorang wanita yang meninggalkan kehidupan duniawi untuk mengabdi pada agama dan Tuhannya, serta tinggal di biara atau tempat ibadah. Biarawati juga memiliki tarekat yang bermacam-macam, seperti contohnya  Bidang pertapa, kesehariaannya hanya berdoa saja untuk mendoakan dunia; Bidang pendidikan, seperti di sekolah-sekolah untuk mengajar; Bidang Kesehatan, yaitu biarawati yang terdapat di rumah sakit.Â
Bapak Gerry juga berkata bahwa Biarawati boleh menikah, tetapi ketika mereka memilih menikah, tentunya mereka keluar dari Biarawati, begitu juga dengan pastur, paus dan sebagainya. Tetapi ketika seorang Biarawati ingin keluar, Ia akan diasingkan terlebih dahulu dalam waktu yang cukup lama untuk kembali merenungkan segalanya, jika keputusannya tetap ingin keluar, maka diperbolehkan keluar dari Biarawati.
Dalam agama Kristen pun ketika hendak masuk ke dalam agama tersebut, juga mengucapkan syahadat. Ternyata tak hanya agama Islam saja yang memiliki Syahadat, agama Kristen pun juga memilikinya. Di dalam agama Kristen syahadat disebut juga dengan "Aku Percaya". Umat Kristiani memiliki 2 syahadat, yaitu syahadat yang pendek, dan syahadat yang Panjang. Menurut Bapak Gerry sebenarnya antara syahadat pendek dan syahadat Panjang itu bacaannya sama, hanya saja jika syahadat pendek, terdapat bacaan dari syahadat yang dikurangi.
Menyikapi adanya isu yang saat ini sedang marak, yaitu Adzan yang dikumandangkan secara bersamaan dianggap menganggu masyarakat, disini Bapak Gerry berpendapat bahwa hal tersebut tidak mengganggu, beliau juga berkata bahwa kita memang hidup dilingkungan yang dimana tidak hanya orang Kristen saja yang tinggal, ada orang Islam, Budha, Hindu dan lain sebagainya. Maka dari itu, kita harus memiliki rasa toleransi yang tinggi. Selain permasalahan adzan, belakangan ini terdapat juga pernikahan beda agama yang dilaksanakan di gerejz, sedangkan mempelai wanita mengenakan hijab.Â
Menurut Bapak Gerry, dalam agama Kristen hal tersebut diperbolehkan, dengan syarat mempelai pria dan mempelai wanita sama sama bersedia dan bersepakat, dan melakukan pemberkatan di gereja. Beliau juga mengatakan bahwa pernikahan anatar katolik dan katolik berlaku sebuah upacara yang bernama sakramen, sedangkan untuk pernikahan katolik dan non katolik hanya berlaku pemberkatan saja, tetapi tidak mengurangi ke-sakralan perkawinan itu sendiri.
Membahas mengenai agama Kristen tentu kita tahu bahwa terdapat Kristen Katolik dan Kristen Protestan. Sebagian dari kita bertanya-tanya, sebenarnya apa sih perbedaan antara Kristen Katolik dan Kriten Protestan? Menurut Bapak Gerry aspek perbedaan yang pertama yaitu mengenai Alkitab, dalam katolik terdapat kitab tambahan yang beranama Deuterokanonika.Â
Sedangkan Protestan percaya bahwa Alkitab merupakan satu-satunya bukan Tuhan. Kedua, Katolik menganggap seorang Paus merupakan penerus dari Rasul Petrus, sedangkan Protestan tidak terbuka untuk keutamaan kepausan. Ketiga, yaitu sakramen, katolik melaksanakan 7 ritus khusyuk yang disebut sakramen. Sedangkan Protestan hanya melaksanakan 2 dari 7 sakramen.
Nah, diatas merupakan hasil wawancara ku dengan Bapak Ketua Pator Paroki Gereja Katedral Kota Malang. Wawancara diatas juga merupakan sebuah bukti, bahwa umat Islam dan Umat Kristiani bisa saling bertoleransi dan saling menghargai tanpa harus menjatuhkan salah satu sisi.Â
Dengan demikian, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kita hidup berdampingan dengan berbagai manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda. Untuk itu kita harus menjunjung tinggi rasa toleransi antar umat beragama, antar suku, antar ras dan antar daerah agar tidak terjadi diskriminasi pada golongan tertentu Karena kita adalah satu, Kita Indonesia.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H