PENDAHULUAN
Epistimologi berasal dari bahasa Yunani Epitisme ( pengetahuan sejati , pengetahuan ilmiyah, atau pengetahuan sistematik) dan logos yang berarti (kajian) yang secara etimilogis berarti kajian tentang pengetahuan sejati. Adapun secara terminologi, epistimologi adalah teori pengetahuan atau kajian tentang asal usul, anggapan dasar,tabiat,rentang,kecermatan dan kebenaran ilmu pengetahuan. Epistimologi adalah cabang ilmu filsafat yang menyelediki asal mula, sumber,metode -- metode dan sahnya ilmu pengetahuan[1].Â
Â
Jika tugas filsafat diarahkan untuk upaya mencari sebab mu-sabab dalam ilmu pengetahuan, maka epistimologi menyoroti gejala pengetahuan manusia berdasarkan sudut sebab mu-sabab.pembahasan masalah epistimologi ini telah dimulai sejak zaman Yunani kuno ole Plato dan Aristoteles yang kontradiktif. Upaya tersebut berfungsi sebagai langkah langkah menuju pandangan Islam mengenai landasan ontologis tertinggi dari semua pengetahuan.Epistimologi telah dikaitkan sedimikian rupa dengan realitas tertinggi sebagai sumber kebenaran. Maka epistimologi itu telah bersifat transendental. [2]
[1] Musa Asy'arie, Filsafat Islam sunnah Nabi dalam berpikir (Yogyakarta: Lesfi, 2002), 82.
[1] Ibid., 72.
Pernyataan al -- Ghazali di atas senada dengan pernyataan Al-Quraan tentang keluasan ilmu pengetahuan Allah dibanding pengetahuan manusia. Di dalam Jawahir Al Quraan lebih lanjut ia mengatakan bahwa berdasarkan pengelihatan mata batinnya yang tak terbantah, Ia melihat bahwa dalam realitas kebanaran itu ada sejumlah pengetahuan yang tidak mungkin dapat diekspresikan dari wujudnya dalam bentuk teori, meskipun daya dan  potensi manusia dimukingkan untuk mencapainya. Pada sisi lain  ada sebagaian ilmu pengetahuan yang bisa dikeluarkan dari wujudnya sehingga dapat dipelajari. Disamping itu ada kawasan ilmu pengetahuan yang menjadi bagian bagi para malaikat yang dekat dengan Allah.[1]
Â
Jadi dalam pandangan al Ghozali keberadaan pengetahuan manusia adalah terbatas seperti juga malaikat dan hanya Allah semata yang hak pengetahuan-Nya terbatas. Pengetahuan manusia dipandang sepetak dari seluruh kawasan pengetahuan Allah.Maka tiga batasan awal yang bisa diangkat disini adalah  bahwa pengetahuan manusia terbatas, ada yang bisa di teorikan dan ada yang tidak mungkin dapat di ekspresikan dalam wujud teori.
Â
Setiap obyek kajian ilmu penegetahuan , menuntut suatu metode yang sesuai debgan objek kajiannya itu, sehingga metode kajian selalu menyusaikan dengan obyeknya. Metode kajian adalah cara yang di tempuh untuk menemukan prinsip prinsip  kebenaran.
Secara ontologis, ilmu pada dasarnya adalah manusia, ia lahir dari manusia dan untuk manusia, ilmu merupakan proses manusia menjawab ketidaktahuannya mengenai ber- bagai hal dalam hidupnya. Sebagai jawaban manusia, ilmu adalah dan  bagaimana. Oleh karena itu, tujuan ilmu pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dengan realitas dan tan- tangan yang dihadapi manusia itu sendiri.
Dalam kehidupan ini, keadaan dan situasi hidup manu- sia selalu berubah, ketika ia belum tahu hukum-hukum alam atau pun hukum-hukum obyek kajiannya yang lain, barang- kali ia memandangnya dengan berbagai perasaan, baik pe- rasaan takut, mengagumi dan bahkan mendapatkan tan- tangan yang mengasyikkan. Akan tetapi, setelah semua pe- rasaan itu dilaluinya dan ia menemukan hukum-hukum dan jawaban yang dicarinya, bisa saja keadaan menjadi berubah, karena dengan hukum-hukum dan jawaban yang diketahui dan dikuasainya itu, terbentang sejumlah kemungkinan di depan matanya, yang dapat dimanfaatkan, untuk mengubah keadaan hidupnya.
Dalam perkembangganya, ilmu telah menjadi suatu,sistem yang kompleks, dan manusia terperangkap didalamnya, sulit dibayangkan manusia hidup layak tanpa ilmu . dalam konsep filsafat islam, ilmu pada hakikatnya merupakan perpanjangan pengembangan ayat ayat Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H