Oleh; Roswitha Ndraha -
Hgghh........... saya menarik nafas panjang ketika mengikuti percakapan sobat saya Andy Noya dengan Esther Yusuf ( teman suami saya) di acara Kick Andy. Saya senang acara itu, dan juga acara Kick Andy lainnya, karena sungguh berguna. Acara itu Mengajar kita menghargai sejarah.
Disisi lain acara itu juga membuat ingatan saya mengingat kembali saat-saat peristiwa itu terjadi.
Minggu lalu suami saya sempat menulis tentang memorinya tentang Mei 98 disini:
Kenangan Traumatik Peristiwa Mei 98
Saat pecah kerusuhan Mei 1998 itu anak bungsu kami belum berusia setahun. Sejak sehari sebelumnya saya dan adik-adik saya sudah sibuk berteleponan. Adik saya ada yang bekerja di Sudirman dan Panglima Polim. Yang dokter praktek dokter di RS Tebet. Ayah saya di komplek IIP (Sekarang IPDN) di Cilandak, kami se keluarga di Cinere.
Tahun itu cucu ayah saya baru dua, dari pernikahan saya dan Julianto Simanjuntak. Sulung nyaris 5 thn dan si bungsu baru 10 bulan. Sehingga terpicu oleh kemungkinan kehabisan bahan makanan, adik-adik saya mencoba berbelanja di beberapa Supermarket. Tetapi Bahan makanan bayi, terutama susu dan bubur bayi, bisa dibilang kosong. Mie instan apalagi, sulit dicari. Saat itu rasanya saya mengalami ketakutan yang luar biasa mencekam.
Selain info bahan makanan yang habis, saya dan adik-adik juga bertukar info mengenai lokasi kerusuhan. Saya lupa daerah mana yang duluan kena jarah.
Kami terus memonitor Televisi. Setiap kali TV memberitakan, kerusuhan sudah sampai di daerah X, massa bergerak ke Y. Saya hanya berharap, jangan sampai kerusuhan itu terjadi di Cinere (rumah kami saat itu).
14 Mei saya mendengar Jakarta nampaknya berangsur tenang (kata suami saya). Suami saya bermaksud jalan-jalan dengan motornya ke jalan utama. Pamitnya hanya "ke depan", melihat kondisi lalu-lintas (kompleks rumah kami sekitar 600 meter dari Jalan Cinere Raya). Saya tidak keberatan asal hanya di depan kompleka saja.
Tetapi waktu makan siang berlalu saya mulai menyadari bahwa suami saya tidak kunjung pulang. Tetangga mulai berlarian di dekat rumah dan terdengar desas-desus bahwa penjarahan dan pembakaran menuju Cinere. Tentu Saya takut sekali.
Saya mendengar orang-orang di luar mengatakan bioskop di Cinere Raya terbakar, lantas dua tiga ruko di sepanjang Cinere Raya dijarah dan dibakar. Saya tidak berani di rumah hanya dengan dua anak balita. Saya mengunci rumah, sambil melihat dari Jendela dan mendengar berita TV.
Ketegangan itu berlangsung beberapa jam. Saya bersyukur massa tidak masuk ke daerah perumahan kami. Mereka beraksi di sepanjang jalan protokol.
Mendadak suami saya telpon dari rumah Abangnya di asrama Perwira Polisi pengadegan, Jakarta Selatan.
Saya marah dan mendesak suami saya pulang: "Ayo, papa sekarang harus pulang, ada penjarahan dan pembakaran ruko dekat kompleks kita...sekarang!"
Hampir dua jam kemudian suami saya pulang. (rupanya sempat tertahan menjelang masuk cinere raya). Meski sempat jengkel, saya merasa lega melihat dia pulang dengan selamat.
"Ma....aku tadi lihat-lihat kondisi di kota..." cerita Julianto bersemangat, "jalanan sepi, bekas kebakaran ada di mana-mana. Mobil berserakan. Aku juga ke daerah harmoni, lalu sempat ke rumah Abang di Pancoran, hingga melihat kondisi sekitar jalan raya pasar minggu"
"Kamu sudah makan?" potong saya.
"Aku makan di rumah abang. Tadi sempat stres juga lihat kondisi Jakarta, Jadi aku mampir ke Rumah Bang Joni", suami saya menjelaskan.
Peristiwa itu sungguh mengerikan, sangat menakutkan. Ahh,  semoga tidak terjadi lagi di Negara kita. Sungguh jangan pernah terulang lagi. Tak terbayangkan derita para korban yang langsung maupun tidak langsung. Bagi sebagian saudara periswtiwa itu sangat traumatik dan berbekas.
Roswitha Ndraha
Penulis "Mencinta Hingga Terluka" - Gramedia
(Bersama suami saya, Julianto Simanjuntak. Pengantar: Prof. Irwanto, Ph.D & Endorsemen: Agung Adiprasetyo, CEO KOMPAS GRAMEDIA)
Note:
Ijinkan saya menyapa (jika ada Kompasianer) mantan para mahasiswa Ayah saya, Prof. T. Ndraha, yang pernah kuliah di IIP (IPDN) dan pernah mampir ke rumah Ayah kami di Ampera Cilandak. Saya beberapa kali bertemu dengan alumni IIP di beberapa kota.
Saya hanya sesekali aktif disini.
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H