Mohon tunggu...
Roswita Amelinda
Roswita Amelinda Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Magister Profesi Psikologi Unpad, Pelatih Angklung, yang memiliki impian memajukan musik angklung & Psikologi Musik di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lika Liku Kehidupan Seorang Anak Tunggal

25 Desember 2012   04:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:05 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu agenda pada liburan akhir tahun ini adalah menambah wawasan tentang teori kepribadian dalam rangka menyiapkan amunisi menghadapi mata kuliah Kasuistika di Magister Profesi Psikologi Unpad. Teori kepribadian yang kemarin dan hari ini kuselesaikan adalah Individual Psychology dari Alfred Adler. Semua orang yang pernah mengecap pendidikan ilmu Psikologi sudah tidak asing dengan nama ini. Buah pemikirannya juga mudah diakses di mesin pencari Google. Salah satu ciri teori kepribadiannya adalah tentang Birth Order. Adler meyakini bahwa urutan kelahiran seseorang menentukan tumbuh kembang kepribadiannya.

Meskipun secara biologis saya adalah anak ke-3 dari 4 bersaudara, namun saya besar sebagai anak tunggal yang dibesarkan oleh paman dan bibi saya. Untuk itu, saya sangat terpanggil untuk membaca tentang bagaimana karakter seorang anak tunggal. Entah karena pembahasaan buku Hjelle & Ziegler, atau memang karena begitu adanya, Adler seperti mengkonotasikan anak tunggal dengan kualitas-kualitas yang negatif seperti dependency dan self centredness, serta kesulitan untuk membangun interaksi dengan teman sebaya. Hal tersebut terjadi karena anak tidak terbiasa untuk berbagi dengan orang lain, seluruh perhatian diarahkan padanya, hingga ia cenderung menuntut lingkungan untuk memberikan perhatian padanya.

Sebagai penyeimbang, saya akan berbagi bagaimana saya dibesarkan sebagai anak tunggal. Adler betul dengan mengatakan bahwa perhatian orang tua saya memang sepenuhnya tertuju pada saya. Ia pun betul bahwa saya menjadi tidak terbiasa berbagi dengan orang lain. Namun ada kualitas pola asuh orang tua saya yang menurut saya patut dicontoh oleh orang tua lain yang memiliki anak tunggal. Orang tua yang saya maksud disini adalah paman dan bibi saya, yang saya panggil dengan Papa dan Mama.

Saya dibesarkan oleh ibu rumah tangga yang sangat telaten. Ibu rumah tangga menjadi eksistensi hidupnya dan oleh karena itu, ia menjadi penjaga keluarga yang sangat handal. Papa saya adalah ayah yang meyakini bahwa tanggung jawab utamanya adalah mencari nafkah bagi keluarga, menjamin kesejahteraan penuh bagi anak dan isterinya. Ia menjadi sangat tidak ingin diganggu dengan hal-hal remeh terkait urusan rumah. Ia serahkan betul kepada mama. Dan oleh karena itu, mama menjadi ibu rumah tangga yang mandiri. Fasilitas yang diberikan Papa ia gunakan sedemikian rupa untuk mengelola rumah tangga agar nyaman bagi aku dan Papa. Kondisi finansial keluarga kami saat aku kecil dapat dikatakan berkecukupan, bahkan bisa dibilang rata-rata atas.

Sudah terbayangkan kah? Betapa indahnya hidupku. Fasilitas lengkap, ibu yang selalu memperhatikan. Rasanya tak perlu memikirkan tentang kesulitan hidup, nikmati saja semua. Apa-apa sudah tersedia, tak perlu berbagi. Kenyataannya? Tidak!

Meskipun fasilitas hidupku lebih dari cukup, pada kenyataannya, aku tetap harus berjuang mendapatkan apa yang aku inginkan. Papa Mama sangat concern dengan pendidikanku, dan oleh karena itu, pencapaian prestasi pendidikan adalah media bagiku mendapatkan barang atau hal apapun yang kuinginkan. Itupun tidak selalu berjalan mulus, karena apa yang kuinginkan tetap harus dipertimbangkan kegunaannya. Ketika aku sudah mendapatkannya, Mama tidak akan membiarkanku tidak merawat barang-barangku. Untuk urusan perawatan, ia sangat cerewet. Ia selalu mengingatkan barang ini tidak aku dapat dengan mudah, Papa Mama juga mengeluarkan uang untuk itu, jadi aku harus merawatnya betul-betul. Hal ini ia tambah dengan menjadi role model bagiku. Semua barang Mama terawat rapi, bahkan masih tetap bagus meskipun sudah bertahun-tahun.

Untuk urusan keterampilan sosial, aku harus mengangkat topi pada Papa dan Mama. Mereka menjadi role model yang sangat baik bagi anaknya yang tidak tahu cara berbagi saat itu. Papa selalu mengajak kami masuk ke dalam dunia pekerjaannya, membuatku dekat dengan teman-temannya. Dari interaksi dengan teman-temannya itulah aku belajar bagaimana membangun persahabatan. Papa bukanlah orang yang friendly, namun ia selalu memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Kalau bicara solidaritas pertemanan, sembah sujud syukurku karena memiliki ayah yang selalu memikirkan sahabat dan saudara-saudaranya. Tidak jarang ia berantem dengan Mama karena ia ingin memberi uang, pinjaman, atau barang kepada sahabat atau saudara-saudaranya.

Mama mengajarkanku tentang berbagi dari interaksi dengan para tetangga di sekitar rumah kami. Papa dan Mama juga mendukungku untuk aktif di kegiatan ekstrakurikuler. Mama selalu bersedia menjemputku sore-sore ketika aku giat latihan pramuka dan paskibra. Papa Mama juga sangat concern dengan teman-temanku. Mereka selalu bertanya siapa saja teman-temanku. Papa yang begitu sibuk dengan pekerjaannya tetap dapat menyebutkan nama teman-temanku satu per satu. Bahkan ia lakukan itu hingga sekarang. Tak hanya bertanya nama, cukup sering ia bertanya bagaimana prestasi sekolah temanku, dia les dimana, ayah ibunya kerja apa, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaannya menumbuhkan kepedulianku terhadap teman, karena takut ga bisa jawab kalau ditanya. Hahaha..

Mama juga sangat dekat dengan sahabat-sahabatku. Rumah kami di Medan dulu menjadi salah satu basecamp tempat kami berkumpul. Salah satunya karena jika berkumpul di rumah, Mama pasti masak masakan-masakan yang enak. Sampai sekarang sahabat-sahabatku di Medan sangat ingat dengan Mamaku dan merindukan masakannya.

Satu kebiasaan yang juga rutin kami lakukan adalah, mengunjungi panti asuhan. Untuk urusan berdarma, Papa dan Mama ga pernah itung-itungan. Mereka secara reguler menjadwalkan untuk menyumbang ke panti asuhan dan kami datang langsung ke tempatnya. Hal ini tentu membekas dalam diriku dan membuatku mengobservasi kehidupan sosial mereka-mereka yang tidak seberuntung aku.

Dan yang terpenting adalah komunikasi. Melalui komunikasi yang intens, Papa dan Mama sering mengajakku berdiskusi tentang orang lain, menanamkan nilai-nilai berbagi dalam diriku.

Aku akui hari ini aku bukanlah orang yang berfokus pada orang lain. Aku memang tidak secara intens dan aktif berbagi selama aku kecil, dan itu mempengaruhiku sekarang. Meskipun begitu, aku tetap memiliki kepedulian terhadap orang-orang di sekitarku. Aku memang tidak selalu langsung memberi, tapi setidaknya aku memperhatikan meskipun itu seringnya tidak disadari.

Dan yang paling kentara adalah sosokku yang mandiri. Aku selalu membutuhkan "me-time" dan "me-space". Bertolak belakang dengan asumsi Adler bahwa anak tunggal cenderung dependen atau ketergantungan. Didikan Papa Mama padaku cukup keras sehingga aku tak mungkin bisa terlalu bermanja-manja. Concern mereka adalah menyiapkanku untuk bisa hidup di atas kakiku sendiri.

Sisi manjaku memang ada. Aku masih kadang minta disuapin makan. Kalau ada mama, ia mengambilkan aku makanan, membuatkan aku minuman. Mama juga memperhatikan tiap detail pakaianku, mukaku, dll. Tapi alhamdulilah, itu hanya untuk menjaga sisi kanak-kanakku. Hihi. Di luar konteks itu, aku akan berdiri secara mandiri kembali.

Melalui tulisan ini, aku ingin memberi semangat kepada para orang tua yang memiliki anak tunggal atau sedang menanti hadirnya anak kedua. Aku hanya ingin mengatakan meskipun mendidik anak tunggal itu punya tantangan tersendiri, tapi bukan berarti akan gagal dalam menjawab tantangan itu. Memiliki anak tunggal justru membawa seni tersendiri yang justru bisa membawa banyak pelajaran bagi orang tua. Jika diniatkan untuk mendidik anak sebaik-baiknya, pasti akan ada cara untuk melakukannya mau berapa pun anak yang dimiliki. Semua tergantung niat dan keteguhan hati dalam menjalankannya.

Sampailah aku pada ingatan tentang percakapanku dengan Papa tahun lalu. Berikut kalimat beliau,

"Sejak Papa diberi kesempatan untuk mengasuh kamu, Papa tahu betul mendidik anak tunggal itu susah. Kamu ga kan pernah benar-benar belajar gimana berbagi dengan orang lain. Dan bagi Papa, kamu cuma satu-satunya kesempatan untuk berhasil sebagai orang tua. Papa akan menjadi 100% berhasil, atau 100% gagal menjadi orang tua. Cuma itu pilihannya."

Semoga aku bisa menjadi anak yang membuatmu berhasil sebagai orang tua ya Pa...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun