Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Pembaca sastra (novel; cerpen; esai), pendengar kajian filsafat dan musik, penonton kearifan lokal; sepak bola timnas Indonesia; kartun, pemain game Mobile Legends. Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Diary

Mungkinkah Menulis Liyan dalam Cerpen?

8 Oktober 2024   10:27 Diperbarui: 8 Oktober 2024   10:50 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mengamati tak sedikit penulis cerpen yang menulis lokalitas dan kondisi sosial masyarakatnya sendiri. Muna Masyari selaku orang Madura, menulis lokalitas dan orang-orang Madura dalam cerpen-cerpennya. Silvester Petara Hurit menulis dalam cerpen-cerpennya tentang orang-orang Timor. Dan banyak contoh lainnya yang tak bisa saya sebutkan satu persatu di sini. 

Pertanyaan besar saya dalam catatan ini adalah: mungkinkah penulis Madura menulis tentang Papua? Mungkinkah penulis Sumatera menulis tentang Jawa? Mungkinkah menulis liyan dalam cerpen? 

Sejujurnya catatan ini hendak saya tulis dari beberapa minggu yang lalu, seusai membaca esai Mahfud Ikhwan yang pernah terbit di kolom Halte Jawapos (Minggu, 26 November 2023), berjudul "Tentang Menulis Liyan." Tetapi, karena saya percaya bahwa menulis adalah panggilan takdir, maka saya menunggu kapan panggilan takdir itu menjemput saya. Ternyata terealisasi beberapa minggu ke depan, yaitu sekarang. 

Berikut linknya: https://www.jawapos.com/halte/013325567/tentang-menulis-liyan

Dalam esai itu Mahfud Ikhwan menyampaikan suatu inti persoalan dalam penggalan paragraf: "Saya sering menyebut, saya menulis hal-hal yang lebih dekat karena saya malas untuk melakukan riset. Namun, barangkali, ketakutan yang lebih besar adalah karena menulis apa-apa yang di luar diri kita adalah tindakan yang sangat berisiko."

Dalam paragraf sebelumnya ada penggalan begini: "Saya mengidealkan kisah tentang seseorang/kelompok/bangsa seharusnya ditulis oleh mereka sendiri. Dengan idealisasi semacam itulah saya menciptakan karakter semacam Ulid, Mat Dawuk, hingga Anwar Tohari." Dan, tentu saja pada paragraf-paragraf sebelumnya Mahfud Ikhwan membeberkan banyak contoh yang memperkuat argumentasinya. 

Kemudian, saya ingin menyajikan beberapa contoh lain dari yang dituliskan Mahfud Ikhwan:

Saya pernah membaca suatu kritik sastra (saya lupa pernah membacanya di media mana tetapi saya mengingatnya) atas novelnya Faisal Oddang yang menceritakan tradisi masyarakat Toraja, berjudul "Puya ke Puya." Esais itu menyatakan bahwa novel itu tidak mewakili orang-orang Toraja yang sesungguhnya karena penulisnya bukan orang Toraja. 

Pada saat yang sama, saya teringat novel "Lengking Burung Kasuari" karya Nunuk Y. Kusmiana, yang menceritakan soal perantau Jawa yang tinggal di Papua. Dalam novel itu, Nunuk tidak mewakili masyarakat Papua meski berlatar Papua, tetapi menyajikan Papua melalui sudut pandang orang Jawa yang merantau di Papua. Hanya meminjam latar. 

Sebagaimana argumen Mahfud Ikhwan, saya akan menyampaikan contoh di luar sastra dan lebih personal. Banyak media memberitakan ketika orang Madura yang saling bunuh-bunuhan dengan celurit disebut carok, padahal carok sesuai tradisi yang pasti, sudah hampir bahkan punah di era ini. Tetapi, mereka yang bukan orang Madura, yang barangkali karena tuntutan keperluan media untuk menulis berita yang heboh, sekonyong-konyong menuliskan serampangan masyarakat Madura, dan sialnya justru berita itulah yang menyebar.

Dan, stereotipe soal orang Madura yang dinyatakan kasar dan bengis serta bersuara nyaring ketika berbicara, padahal ini hanya sifat sekelumit orang Madura saja seperti suku lainnya, dituliskan oleh orang di luar Madura yang tak mengerti Madura sama sekali. 

Kembali ke pertanyaan dasar, mungkinkah menulis liyan dalam cerpen? Padahal yang saya contohkan dari tadi adalah novel dan karya di luar sastra, bukan spesifik pada cerpen yang notabenenya karya lebih pendek! 

Begini saya sampaikan: Pramoedya Ananta Toer mempunyai kumcer berjudul "Cerita dari Jakarta." Dalam kumcer itu Pram menulis soal orang Arab, Belanda, dan Jepang yang tinggal di Jakarta. Tetapi, Pram tidak mewakili orang-orang itu. Pram hanya menuliskan mereka dari sudut pandang pengamat. Ibarat perantau Madura menulis dari kacamatanya sendiri soal orang Batak yang menjadi tetangganya di tanah rantau. Pram menciptakan jarak dari mewakili mereka. 

Kemudian, ada yang menarik dari cerpen berjudul "Nio" karya Putu Wijaya yang pernah terbit di Kompas tahun 2017. Putu Wijaya, menceritakan seorang yang menulis cerita tentang Nio, kisah hidup seorang keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia, dari lika-liku kehidupan di kampung halamannya sampai Nio tinggal di Jakarta lalu ujungnya sejarah kelam masyarakat Tionghoa dalam kerusuhan di Jakarta sampai Nio terbaring sakit. 

Begini empat paragraf terakhir cerpen Nio: 

Aku sudah menuliskannya semalam suntuk setelah mendengar pengakuan Nio. Dengan perasaan penuh simpati, kubawa tulisan itu ke rumahnya. Ia sedang berbaring sakit. Lalu kubacakan semuanya dengan suara yang penuh haru.        

Begitu selesai, aku memandang matanya. Berharap ia akan memberikan aku pujian, karena aku sudah mewakili dirinya. 

Tetapi Nio menggeleng. 

"Itu bukan aku. Kamu tidak mengerti ...," kata Nio lirih. 

Oleh karenanya, saya sepakat dengan Mahfud Ikhwan: idealnya seorang penulis mewakili lokalitas dan kondisi sosial masyarakatnya sendiri. Seunik apapun lokalitas dan kondisi sosial masyarakat lain. Apalagi berusaha menuliskan orang-orang dari masyarakat lain sedangkan penulis tak pernah pergi ke tempat tersebut. Ujungnya, tempat itu sekadar menjadi latar sahaja yang ditulis dari sudut pandang masyarakat penulis sendiri. Orhan Pamuk, tetap menulis tentang Istanbul ulang-alik tetapi dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Penulis bisa mewakili lokalitas dan kondisi sosial masyarakatnya dengan menyajikan sudut pandang bermacam-macam tanpa perlu berusaha mewakili masyarakat lain yang kadang mustahil dicapai walau dengan bejibun riset pada karya apapun termasuk yang pendek seperti cerpen.   

Surabaya, 07 September 2024      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun