Dan, stereotipe soal orang Madura yang dinyatakan kasar dan bengis serta bersuara nyaring ketika berbicara, padahal ini hanya sifat sekelumit orang Madura saja seperti suku lainnya, dituliskan oleh orang di luar Madura yang tak mengerti Madura sama sekali.Â
Kembali ke pertanyaan dasar, mungkinkah menulis liyan dalam cerpen? Padahal yang saya contohkan dari tadi adalah novel dan karya di luar sastra, bukan spesifik pada cerpen yang notabenenya karya lebih pendek!Â
Begini saya sampaikan: Pramoedya Ananta Toer mempunyai kumcer berjudul "Cerita dari Jakarta." Dalam kumcer itu Pram menulis soal orang Arab, Belanda, dan Jepang yang tinggal di Jakarta. Tetapi, Pram tidak mewakili orang-orang itu. Pram hanya menuliskan mereka dari sudut pandang pengamat. Ibarat perantau Madura menulis dari kacamatanya sendiri soal orang Batak yang menjadi tetangganya di tanah rantau. Pram menciptakan jarak dari mewakili mereka.Â
Kemudian, ada yang menarik dari cerpen berjudul "Nio" karya Putu Wijaya yang pernah terbit di Kompas tahun 2017. Putu Wijaya, menceritakan seorang yang menulis cerita tentang Nio, kisah hidup seorang keturunan Tionghoa yang tinggal di Indonesia, dari lika-liku kehidupan di kampung halamannya sampai Nio tinggal di Jakarta lalu ujungnya sejarah kelam masyarakat Tionghoa dalam kerusuhan di Jakarta sampai Nio terbaring sakit.Â
Begini empat paragraf terakhir cerpen Nio:Â
Aku sudah menuliskannya semalam suntuk setelah mendengar pengakuan Nio. Dengan perasaan penuh simpati, kubawa tulisan itu ke rumahnya. Ia sedang berbaring sakit. Lalu kubacakan semuanya dengan suara yang penuh haru. Â Â Â Â
Begitu selesai, aku memandang matanya. Berharap ia akan memberikan aku pujian, karena aku sudah mewakili dirinya.Â
Tetapi Nio menggeleng.Â
"Itu bukan aku. Kamu tidak mengerti ...," kata Nio lirih.Â
Oleh karenanya, saya sepakat dengan Mahfud Ikhwan: idealnya seorang penulis mewakili lokalitas dan kondisi sosial masyarakatnya sendiri. Seunik apapun lokalitas dan kondisi sosial masyarakat lain. Apalagi berusaha menuliskan orang-orang dari masyarakat lain sedangkan penulis tak pernah pergi ke tempat tersebut. Ujungnya, tempat itu sekadar menjadi latar sahaja yang ditulis dari sudut pandang masyarakat penulis sendiri. Orhan Pamuk, tetap menulis tentang Istanbul ulang-alik tetapi dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Penulis bisa mewakili lokalitas dan kondisi sosial masyarakatnya dengan menyajikan sudut pandang bermacam-macam tanpa perlu berusaha mewakili masyarakat lain yang kadang mustahil dicapai walau dengan bejibun riset pada karya apapun termasuk yang pendek seperti cerpen. Â Â
Surabaya, 07 September 2024 Â Â Â Â