Tercermin wajah perempuan yang tertidur di samping Jaya dalam kaca yang merentangkan senja terapung di sisi gunung. Sapuan senja menyepuh rumah-rumah kayu di kaki gunung, juga kaca kereta. Pada saat bersamaan, lanskap di luar yang masih tampak saat lembayung belum lebur bertumpang tindih dengan wajah perempuan itu, tetapi yang dilihat Jaya bukan wajah itu! Bukan! Sekali lagi, bukan! Tetapi wajah yang suatu masa pernah persis di posisi perempuan itu.
Waktu itu Jaya mencuri-curi memandang wajah perempuan yang matanya terpejam, yang tenggelam dalam kesyahduan musik dari headset. Dia tak tidur, kepalanya manggut-manggut, menikmati alunan musik yang tak bisa Jaya dengar.
Tepat ketika senja bersemburat hingga seolah-olah cahaya yang menimpa wajah Jaya itu menimbulkan percikan api yang kemudian berkobar menjilat-jilat, mata perempuan itu terkuak, tumpang tindih; terapung-apung antara senja dan wajah perempuan itu dalam kaca kereta, maka terjadilah! Terjadilah! Berserobok kedua mata yang meski tak saling menatap secara langsung, tetap mendedahkan momen yang sangat pas sekali, suatu keindahan yang tiada tara bagi keduanya.Â
Sejatinya keduanya ingin waktu berhenti merangkak detik itu. Tetapi ini bukan dunia fantasi dua manusia yang terbius dalam cinta pandangan pertama, hingga sayup-sayup lembayung lesap ke balik cakrawala dan gunung di sana. Gelap perlahan-lahan menapaki bumi dan kaca kereta.Â
Beruntung tak ada dua pantat yang menduduki bangku---yang berhadap-hadapan---di depan bangku keduanya. Tak ada seorang pun yang akan menyaksikan kemesraan cinta pertama itu.
Roda-roda kereta melalui rel yang berbelok ke sisi gunung yang lain. Lanskap di kaca kereta berubah hutan gelap di kaki gunung, bukan lagi rumah-rumah kayu berderet. Kondektur menyalakan lampu yang temaram.
Di tengah keredupan pandang itu, keduanya saling menoleh. Mempertemukan dua mata dalam kesamaran temaram yang memekarkan kemilau di masing-masing hati keduanya. Sekubus keheningan fana ketika si perempuan berani membuka obrolan.
"Perkenalkan. Namaku Jihan," seraya mengajukan tangan kanannya minta disalami Jaya.Â
Jihan dapat merasakan kulit meremang Jaya yang menerima uluran tangannya, "baik. Nama saya Jaya."Â
"Berapa umurmu, Jay?" Seakan-akan pertanyaan itu timbul dari orang yang sudah lama akrab.Â
"Saya, hhmm, dua puluh, hhmm maksudnya dua puluh empat."Â Â Â
Selanjutnya keduanya menyatu dalam obrolan menyenangkan. Meski Jaya tetaplah selalu kikuk. Keduanya membeberkan banyak hal personal kala itu termasuk umur Jihan yang lebih tua darinya yang genap tiga puluh tahun, kecuali! Kecuali suatu rahasia besar yang dipendam Jihan tak diungkapkannya. Sampai malam kian larut dan kondektur mematikan lampu kereta. Keduanya melepas diri untuk tidur. Tetapi mata keduanya tak kunjung terpejam seperti bibir keduanya yang tak kunjung berhenti tersenyum. Sunyi mengambang.
Sekonyong-konyong hujan berjatuhan. Kristal-kristal dan tetes demi tetes air menempel di kaca kereta. Hawa dingin menyeruak sampai ke dalam kereta, menembus dinding kereta, menjalar-jalar ke tubuh manusia-manusia yang dibalut pakaian.Â
Jihan meraih jaket di tasnya. Di sanalah Jaya mengetahui bahwa Jihan belum sama sekali tidur. Tubuhnya terbungkus jaket dan tangannya terlipat di bawah payudara. Tetap saja Jihan masih kedinginan. Dia menggeliat-geliat. Lalu menyandarkan kepalanya di pundak jaya. Jaya merinding! Lalu dia menumpuk dua tangannya yang tak tertutup jaket tipis itu di bawah tangan kiri Jaya di atas paha Jaya.
Jaya menangkap suatu isyarat. Entah datang dari mana! Barangkali datang dari hasrat atau perasaan tulus cintanya. Dan kemudian Jaya memeluk tubuh Jihan begitu erat. Jihan terperanjat. Kini dia yang justru bergeletar demikian dahsyat. Dia lantas membalas peluk hangat itu. Setelah beberapa menit, keduanya mengendurkan pelukan lalu menggigil dalam kebekuan gelegak asmara.
Beginilah: keduanya bersitatap dalam gelap. Keduanya sudah hafal petak-petak wajah masing-masing dalam tatapan di kaca kereta saat sore, dan saat menyatu dalam obrolan di tengah temaram. Ketika itu dua perut telapak tangan Jaya merekat di dua pipi Jihan. Andaikan lampu kereta paling benderang menyala kala itu, niscaya akan tampak pipi Jihan semerah tomat. Keduanya menggigil sekaligus hangat, takut sekaligus gembira, gugup sekaligus semangat.
Sepersekian detik kemudian, bibir Jaya memagut bibir Jihan. Dua bibir itu bagai dua pasang kekasih yang berdansa-dansa dalam balutan pesta paling menyenangkan. Dua bibir itu bagai pengantin baru di malam pertama yang menggairahkan.Â
Kala itulah Jaya merasakan bibir Jihan, seperti rasa stroberi, mangga, apel, jeruk, pisang, manggis, jambu, kiwi, semangka, melon, coklat, madu, dan buah lainnya seolah seluruh rasa buah tertanam di bibir Jihan. Sementara Jihan baru merasakan ciuman termanis dari cinta pertama. Keduanya menikmati ciuman itu sampai suatu di balik celana Jaya mengeras lalu mengucur air lengket dan suatu di balik celana Jihan sangat becek. Bukankah ciuman paling indah adalah yang berasal dari keinginan membara dua insan?
Ah, sial! Semua sudah menjadi kenangan! Tepat ketika tengah malam hujan berjatuhan dari langit. Jihan, istri Jaya yang dinikahi hanya karena nama Jihan seperti nama cinta pertamanya. Sedari tadi sore ketika senja masih lembayung di langit, sampai malam saat kondektur menyalakan lampu temaram, sampai tengah malam berhujan, Jihan tertidur pulas. Jihan tak tahu, suaminya, Jaya mengenang Jihan lain yang pernah duduk di sebelahnya lima tahun yang lalu.Â
Jaya ingat pada suatu waktu, di hari ketiga sekaligus hari terakhir pertemuan Jihan dan Jaya, Jihan membeberkan rahasia besarnya yang membuat hati Jaya terkoyak-koyak; tersayat-sayat; terserak-serak.
"Mengapa kamu tak mengunjungi banyak tempat di sini?" tanya Jihan.Â
"Ya. Awalnya tujuan saya pergi ke daerah ini selama tiga hari, dan menginap di rumah kawan, untuk pergi ke tempat-tempat wisata. Tapi, saya batalkan semuanya demi bertemu kau."
"Maaf, Jay," Jihan menggenggam erat dua telapak tangan Jaya, "karenaku, keperjakaanmu hilang."Â
"Tak apa, Jihan. Kaupernah tidur dengan siapa sebelumku?" wajah Jaya tak menoleh pada Jihan, melainkan memandang hampa ke depan.
Jihan tak bisa menahan tumpahan air matanya, "maaf, Jay." Dia terisak.Â
Jihan berdiri dari bangku taman kala itu, "hapus nomorku, Jay."Â
"Apa maksud kau, Jihan?" Jaya berdiri. Menghadapkan badannya pada Jihan.Â
"Maafkan aku, Jay. Maaf. Aku sudah bersuami. Aku tak pernah memakai cincin kawin saat bertemu denganmu selama tiga hari ini, Jay. Sampai di sini saja hubungan kita. Kamu orang baik, Jay. Aku yakin kamu tak ingin menjadi selingkuhan. Bukankah besok kamu akan pulang, Jay. Berusahalah lupakan aku, Jay. Aku pun akan berusaha melupakanmu."
Kenangan bersetubuh pertama kali dengan Jihan di dekat pohon pisang di kebun pada hari terakhir pertemuan keduanya sebelum berpisah di taman kala itu, memang berloncatan di benak Jaya, tetapi ada hal yang lebih meronta-ronta dalam benaknya. Suatu kenangan di balik kaca kereta. Kenangan tentang: berserobok dua tatapan dalam kaca kereta yang diapung-apungkan bertumpang tindih dengan lembayung senja, kenangan mengobrol di tengah temaram mesra, dan kenangan berciuman paling spesial dalam dekapan suasana hujan yang dingin menggairahkan. Kenangan yang tak akan pernah diketahui Jihan, istri Jaya yang sedari tadi tidur di sebelahnya. Â Â Â
Surabaya, 11 September 2024
Â
  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H