Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Cerpen pertamanya: Bentuk Sebuah Barokah memenangkan lomba cerpen se-kabupaten tingkat santri. Cerpennya: Putri Kuning memenangkan lomba cerpen nasional tingkat mahasiswa. Cerpennya: Mengapa Perempuan Itu Melajang terbit di media nasional Kompas.id (Rabu, 16 Oktober 2024). Cerpennya: Hutan Larangan Cak Badrun terbit di Instagram Cerpen Sastra. Tiga kali juara sayembara cerpen di Kompasiana yang diadakan Pulpen. Penikmat sastra (novel; cerpen; esai). Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kaca Kereta

11 September 2024   22:36 Diperbarui: 11 September 2024   23:07 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya, hhmm, dua puluh, hhmm maksudnya dua puluh empat."     

Selanjutnya keduanya menyatu dalam obrolan menyenangkan. Meski Jaya tetaplah selalu kikuk. Keduanya membeberkan banyak hal personal kala itu termasuk umur Jihan yang lebih tua darinya yang genap tiga puluh tahun, kecuali! Kecuali suatu rahasia besar yang dipendam Jihan tak diungkapkannya. Sampai malam kian larut dan kondektur mematikan lampu kereta. Keduanya melepas diri untuk tidur. Tetapi mata keduanya tak kunjung terpejam seperti bibir keduanya yang tak kunjung berhenti tersenyum. Sunyi mengambang.

Sekonyong-konyong hujan berjatuhan. Kristal-kristal dan tetes demi tetes air menempel di kaca kereta. Hawa dingin menyeruak sampai ke dalam kereta, menembus dinding kereta, menjalar-jalar ke tubuh manusia-manusia yang dibalut pakaian. 

Jihan meraih jaket di tasnya. Di sanalah Jaya mengetahui bahwa Jihan belum sama sekali tidur. Tubuhnya terbungkus jaket dan tangannya terlipat di bawah payudara. Tetap saja Jihan masih kedinginan. Dia menggeliat-geliat. Lalu menyandarkan kepalanya di pundak jaya. Jaya merinding! Lalu dia menumpuk dua tangannya yang tak tertutup jaket tipis itu di bawah tangan kiri Jaya di atas paha Jaya.

Jaya menangkap suatu isyarat. Entah datang dari mana! Barangkali datang dari hasrat atau perasaan tulus cintanya. Dan kemudian Jaya memeluk tubuh Jihan begitu erat. Jihan terperanjat. Kini dia yang justru bergeletar demikian dahsyat. Dia lantas membalas peluk hangat itu. Setelah beberapa menit, keduanya mengendurkan pelukan lalu menggigil dalam kebekuan gelegak asmara.

Beginilah: keduanya bersitatap dalam gelap. Keduanya sudah hafal petak-petak wajah masing-masing dalam tatapan di kaca kereta saat sore, dan saat menyatu dalam obrolan di tengah temaram. Ketika itu dua perut telapak tangan Jaya merekat di dua pipi Jihan. Andaikan lampu kereta paling benderang menyala kala itu, niscaya akan tampak pipi Jihan semerah tomat. Keduanya menggigil sekaligus hangat, takut sekaligus gembira, gugup sekaligus semangat.

Sepersekian detik kemudian, bibir Jaya memagut bibir Jihan. Dua bibir itu bagai dua pasang kekasih yang berdansa-dansa dalam balutan pesta paling menyenangkan. Dua bibir itu bagai pengantin baru di malam pertama yang menggairahkan. 

Kala itulah Jaya merasakan bibir Jihan, seperti rasa stroberi, mangga, apel, jeruk, pisang, manggis, jambu, kiwi, semangka, melon, coklat, madu, dan buah lainnya seolah seluruh rasa buah tertanam di bibir Jihan. Sementara Jihan baru merasakan ciuman termanis dari cinta pertama. Keduanya menikmati ciuman itu sampai suatu di balik celana Jaya mengeras lalu mengucur air lengket dan suatu di balik celana Jihan sangat becek. Bukankah ciuman paling indah adalah yang berasal dari keinginan membara dua insan?

Ah, sial! Semua sudah menjadi kenangan! Tepat ketika tengah malam hujan berjatuhan dari langit. Jihan, istri Jaya yang dinikahi hanya karena nama Jihan seperti nama cinta pertamanya. Sedari tadi sore ketika senja masih lembayung di langit, sampai malam saat kondektur menyalakan lampu temaram, sampai tengah malam berhujan, Jihan tertidur pulas. Jihan tak tahu, suaminya, Jaya mengenang Jihan lain yang pernah duduk di sebelahnya lima tahun yang lalu. 

Jaya ingat pada suatu waktu, di hari ketiga sekaligus hari terakhir pertemuan Jihan dan Jaya, Jihan membeberkan rahasia besarnya yang membuat hati Jaya terkoyak-koyak; tersayat-sayat; terserak-serak.

"Mengapa kamu tak mengunjungi banyak tempat di sini?" tanya Jihan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun