"Ya. Awalnya tujuan saya pergi ke daerah ini selama tiga hari, dan menginap di rumah kawan, untuk pergi ke tempat-tempat wisata. Tapi, saya batalkan semuanya demi bertemu kau."
"Maaf, Jay," Jihan menggenggam erat dua telapak tangan Jaya, "karenaku, keperjakaanmu hilang."Â
"Tak apa, Jihan. Kaupernah tidur dengan siapa sebelumku?" wajah Jaya tak menoleh pada Jihan, melainkan memandang hampa ke depan.
Jihan tak bisa menahan tumpahan air matanya, "maaf, Jay." Dia terisak.Â
Jihan berdiri dari bangku taman kala itu, "hapus nomorku, Jay."Â
"Apa maksud kau, Jihan?" Jaya berdiri. Menghadapkan badannya pada Jihan.Â
"Maafkan aku, Jay. Maaf. Aku sudah bersuami. Aku tak pernah memakai cincin kawin saat bertemu denganmu selama tiga hari ini, Jay. Sampai di sini saja hubungan kita. Kamu orang baik, Jay. Aku yakin kamu tak ingin menjadi selingkuhan. Bukankah besok kamu akan pulang, Jay. Berusahalah lupakan aku, Jay. Aku pun akan berusaha melupakanmu."
Kenangan bersetubuh pertama kali dengan Jihan di dekat pohon pisang di kebun pada hari terakhir pertemuan keduanya sebelum berpisah di taman kala itu, memang berloncatan di benak Jaya, tetapi ada hal yang lebih meronta-ronta dalam benaknya. Suatu kenangan di balik kaca kereta. Kenangan tentang: berserobok dua tatapan dalam kaca kereta yang diapung-apungkan bertumpang tindih dengan lembayung senja, kenangan mengobrol di tengah temaram mesra, dan kenangan berciuman paling spesial dalam dekapan suasana hujan yang dingin menggairahkan. Kenangan yang tak akan pernah diketahui Jihan, istri Jaya yang sedari tadi tidur di sebelahnya. Â Â Â
Surabaya, 11 September 2024
Â
  Â