Sayup-sayup kelopak mataku menguak. Tatkala sempurna terbuka, bola mataku menatap Sekar Dara, Istriku, yang berdiri di samping pintu kamar. Sekonyong-konyong aku teringat perempuan bermuka manis; rambut dikuncir kuda; kulitnya kuning langsat, semalam, dalam mimpiku. Pada saat bersamaan, perutku terasa bergejolak, terwujud sesuatu yang saling berperang.
 Aku tak mampu menahan kecamuk itu.Â
 Syahdan, aku muntah-muntah di atas kasur.Â
"Kalau tak enak badan, istirahat saja, Kak. Tak usah pergi ke kampus. Biar aku yang mengantar Mirna berangkat sekolah." Kata Sekar Dara.Â
"Tidak. Tidak. Badanku baik-baik saja."Â
Tanpa memandang Sekar Dara lagi, aku mengayunkan kaki menuju kamar mandi.Â
Tatkala air yang aku tadah---beberapa kali---dalam gayung mengguyur tubuhku, ingatanku berserobok pada mimpi semalam. Betapa indahnya perempuan itu. Berkali lipat lebih cantik dari Sekar Dara. Sekilas, rupanya mirip Dewi Sri, tapi, kecantikannya juga berkali lipat melebihi Dewi Sri.Â
Aku mengambil sabun pada tempat sabun yang melekat di dinding. Busa-busa sabun memenuhi telapak tanganku. Aku pegang kemaluanku yang sudah mengeras. Serta-merta, aku ingat kalau ini perbuatan negatif dan aku bisa melampiaskan hasrat pada Sekar Dara. Serta-merta, perempuan dalam mimpi semalam hadir di anganku dalam keadaan telanjang.Â
***
Lapar menghantam perutku. Maka, aku memutuskan mencari rumah makan. Tak lama, setelah menemukannya, aku menepikan motor Supra X yang aku tunggangi, pada tempat parkir rumah makan, di pinggir sungai susu. Separuh rumah makan berdinding kayu yang luas ini di pinggir sungai susu, dan separuhnya lagi menjorok ke sungai susu.Â