Kemudian tubuh seksinya dilahap cahaya kebiruan. Moksa; kembali menjelma kupu-kupu. Mengepakkan sayap; menjauhi rumah makan ini. Meski keindahan perempuan itu sudah menjauh dari bola mataku, tapi bayangnya tetap tertinggal di ingatanku---tak kunjung sirna. Menumbuhkan perasaan, yang sama, yang sama, sebagaimana pada Dewi Sri dahulu kala.Â
Ah, sial! Aku tak mampu menangkap kedua pencuri hatiku itu.
Ketika aku menyapukan pandangan ke sekeliling, serta-merta aku terperanjat dan kebingungan. Para pelanggan perempuan, pelayan perempuan, serta kasir perempuan, warna kulit mereka berubah hitam serupa jelaga, keseksian tubuh mereka (pada payudara dan bokong dan bodi) mengempis, wajah mereka kosong: tanpa mata tanpa hidung tanpa bibir, rambut mereka memutih dan awut-awutan.Â
Syahdan, aku tak mampu menatap rupa buruk mereka berlarut-larut.Â
Sekonyong-konyong, aku bangun dari tidur lalu muntah-muntah tatkala memandang Sekar Dara.
Sepanjang perjalanan ke sekolah dasar Mirna (anak keduaku dan Sekar Dara yang berumur delapan tahun) mimpi semalam dan kejadian muntah-muntah tadi pagi terus terngiang-ngiang. Dua kali, pagi ini aku muntah-muntah. Bukan karena aku merasa tak enak badan. Aku merasa badanku sehat. Muntah-muntah yang pertama ketika bangun tidur---di atas kasur, dan muntah-muntah yang kedua---di depan pintu rumah---ketika berpamitan: hendak berangkat mengantar Mirna lalu ke kampus; seusai mencium kening Sekar Dara.
***
"Setelah wisuda nanti, aku akan segera menikahimu, Sri."
"Ya, aku menunggu momen bahagia itu, Damsi."Â
Janjiku yang ulang-alik aku ucapkan pada Dewi Sri, tak pernah tergapai. Kisah cinta kami hanyalah semburat kenangan. Kami tak bisa hidup bersama karena keluargaku tak sepakat aku menikah dengan orang yang bukan serumpun.Â
Merepotkan menyatukan dua adat dalam perhelatan pernikahan nanti dan menghabiskan banyak biaya, dalih keluargaku.Â