Kalau saya ditanya cerpen seperti apa yang bagus? Maka saya akan bingung menjawabnya, karena dari banyak cerpen yang saya baca di banyak media: taruhlah seperti Kompasiana, Kompas, Jawapos, Tempo, atau bahkan cerpen Facebook dan Wattpad, dengan penilaian personal saya yang pas-pasan soal sastra, saya dapat menilai cerpen A sangat bagus, cerpen B biasa saja, dan cerpen C lumayan, sementara cerpen D bagus.
Kemudian apakah cerpen yang bagus itu harus mempunyai setting yang semisal di Paris, atau New York, atau Amsterdam, atau Tokyo, dan semacamnya pada kota-kota indah yang sulit kita jangkau, tapi dilabeli indah oleh banyak kalangan sehingga kita memaksakan membuat cerpen yang berlatar sebagian tempat yang saya sebutkan itu?Â
Oh, tentu saja tidak! Buktinya Orhan Pamuk, sastrawan Turki yang mendapuk hadiah Nobel Sastra 2006, selalu menuliskan tentang satu kota (kelahirannya dan dia dibesarkan), yaitu Istanbul dalam setiap karyanya. Satu setting yang dituliskan berulang-ulang dengan pandangan berbeda-beda soal kondisi sosial, budaya, politik, atau sejarah, dalam setiap karya sastra yang diciptakan Orhan Pamuk juga menyajikan karya yang bagus.
Oke, kita beri contoh sastrawan lokal, misalnya Pramoedya Ananta Toer menuliskan kumpulan cerpen tentang Blora (kota kelahirannya) tetap menelurkan karya yang bagus. Atau Andrea Hirata yang menuliskan tentang Belitong dalam berbagai karyanya, tetap menciptakan karya-karya yang bagus. Dan masih banyak contoh lainnya, sampai sini disimpulkan bahwa bukan setting dengan kota-kota indah tolak ukur kebagusan karya sastra.Â
Lantas apa? Apakah dengan model penceritaan yang rumit, alur yang dibelok-belokkan agar sulit dimengerti menjadi ukuran cerpen yang bagus? Tentu saja pandangan ini lebih buruk lagi! Lihatlah cerpen "Sumur" Eka Kurniawan tetap bagus dan mudah dimengerti. Atau "Sepotong Senja Untuk Pacarku" Seno Gumira Ajidarma, adalah cerita yang mudah dipahami dan tentu saja bagus.Â
Atau apakah cerpen yang bagus harus mengandung tema kritik sosial, politik, budaya, atau menyajikan sejarah? Atau tema lainnya yang berat-berat? Hey, lagi-lagi itu bukan ukuran! Buktinya cerpen-cerpen Ahmad Tohari banyak yang mengandung tema sederhana bahkan terlalu sederhana sekalipun, tentang kedesaan dan orang-orang terpinggirkan. Lihatlah cerpen sederhana "Anak Ini Mau Mengencingi Jakarta" dan "Mereka Mengeja Larangan Mengemis" cerpen yang bertema sederhana tapi mengandung banyak makna itu menjadi cerpen pilihan Kompas.Â
Barangkali cerpen bagus seperti yang dituliskan sastrawan dunia, seperti Ernest Hemingway, Etgar Keret, Yasunari Kawabata, Haruki Murakami, Leo Tolstoy, Gabriel Garcia Marquez, dan sebagainya. Tidak juga! Kadang kali ada karya sastrawan lokal yang dapat menandingi karya (yang orang-orang sebut) sastrawan dunia. Â
Atau cerpenis senior yang sudah diakui secara nasional misalnya Putu Wijaya, Budi Darma, atau Seno Gumira Ajidarma. Dan tentu saja ini juga tak bisa dijadikan ukuran. Buktinya Seno Gumira Ajidarma pernah menjadi juri lomba cerpen yang pesertanya generasi muda dan dia memuji betul-betul cerpen-cerpen yang dilombakan, dengan kebagusan unsur estetiknya, kedalam penokohan, kedalaman tema, gaya bahasa, dan semacamnya.Â
Lantas bagaimana cerpen bagus yang semestinya kita tuliskan? Seperti ini saya memberi jawaban dari berbagai pertimbangan di atas!
Cerpen yang Bagus Lahir dari Penulis yang Sudah Membaca Beragam Cerpen Karya Sastrawan, Baik Sastrawan Lokal atau Sastrawan Dunia, Baik Sastrawan Senior atau Generasi Muda