Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Cerpen pertamanya "Bentuk Sebuah Barokah" memenangkan lomba cerpen se-kabupaten tingkat santri. Cerpennya "Putri Kuning" memenangkan lomba cerpen nasional tingkat mahasiswa. Cerpennya "Mengapa Perempuan Itu Melajang" terbit di media nasional Kompas.id (Rabu, 16 Oktober 2024). Cerpennya "Hutan Larangan Cak Badrun" terbit di Instagram Cerpen Sastra. Tiga kali juara sayembara cerpen di Kompasiana yang diadakan Pulpen. Penikmat sastra (novel; cerpen; esai). Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Upacara Bendera

9 Juli 2024   22:51 Diperbarui: 14 Juli 2024   21:33 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Upacara Peringatan Kemerdekaan Indonesia. (Sumber: YouTube Setpres via kompas.com) 

"Lihat surat ini." Selebaran itu sudah berpindah tangan. Sutarji tak bisa membaca, maka aku yang membacakan. Maklum zaman ini, tak akan ada yang memikirkan sekolah, tapi yang mencuat-cuat di pikiran semua orang sebatas sebenar-benarnya kebebasan dari penjajahan.

Sutarji berkisah kalau suara yang memekikkan telinga datang dari pesawat Inggris yang membelah langit. Pesawat itu tidak menjatuhkan bom-bom, tapi surat-surat dalam jumlah banyak. Semua orang terperanjat. Ketakutan mendera seperti rasa lapar mereka. Khawatir pesawat itu menjatuhkan bom di atap rumah mereka.

Kemudian semua orang berduyun-duyun ke rumah Pak Hadiman. Beliau orang paling berpunya di kampung ini. Di sana, orang-orang mengerubungi balai-balai yang diletakkan di depan rumah beliau. 

Radio teronggok di tengah balai-balai. Menguarkan suara agak krunyek-krunyek dari pidato Bung Tomo yang menggeletarkan Indonesia. Suara Bung Tomo mengobarkan jiwa kami (masa bodo dengan suara agak krunyek-krunyek). Persis sejarah! Apakah aku menjadi bagian dari sejarah?

***

Aku mengayunkan kaki ke kamar mandi pesantren. Di sana dua puluh kamar mandi berderet. Aku pergi ke yang paling ujung karena di langit-langitnya berlubang. 

Ketiakku mengapit novel Pramoedya Ananta Toer dan tangan menggenggam senter. Aku ingat nama kakek dari kakekku adalah Sutarno (serupa dengan namaku). Beliau bagian dari pahlawan.

Sebelumnya aku sudah meletakkan tangga di bawah lubang itu. Aku menaiki satu demi satu anak tangga hingga puncak. Lantas tangga itu aku tarik ke atas, aku letakkan di sisi kanan pada tempat persembunyianku ini. 

Sekarang sudah jam satu malam. Aku malas ikut upacara bendera esok hari, karenanya bersembunyi di atas langit-langit kamar mandi ini. Aku membaca novel dicahayai senter. Waktu terus berguguran. Tak terasa sudah hampir subuh.

Sekonyong-konyong arwah Kek Sutarno datang. Aku terlonjak. Bulu kudukku merinding. Tubuhku terpacak tak bisa bergerak. Aku bergeletar ketakutan.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun