"Lihat surat ini." Selebaran itu sudah berpindah tangan. Sutarji tak bisa membaca, maka aku yang membacakan. Maklum zaman ini, tak akan ada yang memikirkan sekolah, tapi yang mencuat-cuat di pikiran semua orang sebatas sebenar-benarnya kebebasan dari penjajahan.
Sutarji berkisah kalau suara yang memekikkan telinga datang dari pesawat Inggris yang membelah langit. Pesawat itu tidak menjatuhkan bom-bom, tapi surat-surat dalam jumlah banyak. Semua orang terperanjat. Ketakutan mendera seperti rasa lapar mereka. Khawatir pesawat itu menjatuhkan bom di atap rumah mereka.
Kemudian semua orang berduyun-duyun ke rumah Pak Hadiman. Beliau orang paling berpunya di kampung ini. Di sana, orang-orang mengerubungi balai-balai yang diletakkan di depan rumah beliau.Â
Radio teronggok di tengah balai-balai. Menguarkan suara agak krunyek-krunyek dari pidato Bung Tomo yang menggeletarkan Indonesia. Suara Bung Tomo mengobarkan jiwa kami (masa bodo dengan suara agak krunyek-krunyek). Persis sejarah! Apakah aku menjadi bagian dari sejarah?
***
Aku mengayunkan kaki ke kamar mandi pesantren. Di sana dua puluh kamar mandi berderet. Aku pergi ke yang paling ujung karena di langit-langitnya berlubang.Â
Ketiakku mengapit novel Pramoedya Ananta Toer dan tangan menggenggam senter. Aku ingat nama kakek dari kakekku adalah Sutarno (serupa dengan namaku). Beliau bagian dari pahlawan.
Sebelumnya aku sudah meletakkan tangga di bawah lubang itu. Aku menaiki satu demi satu anak tangga hingga puncak. Lantas tangga itu aku tarik ke atas, aku letakkan di sisi kanan pada tempat persembunyianku ini.Â
Sekarang sudah jam satu malam. Aku malas ikut upacara bendera esok hari, karenanya bersembunyi di atas langit-langit kamar mandi ini. Aku membaca novel dicahayai senter. Waktu terus berguguran. Tak terasa sudah hampir subuh.
Sekonyong-konyong arwah Kek Sutarno datang. Aku terlonjak. Bulu kudukku merinding. Tubuhku terpacak tak bisa bergerak. Aku bergeletar ketakutan.
***
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!