Candra. Yang membawa dua botol bir itu. Nominasi paling nakal di antara kami itulah dia. Katanya, selagi masih muda hidup mesti dinikmati. Dia suka nongkrong di mana-mana, balap liar, berantam, ke diskotik, tidur dengan wanita malam. Maklum, dia anak orang kaya. Bapaknya punya pabrik mobil. Kelak dialah pewaris ayahnya. Lesti adalah pacarnya. Rokoknya rokok elektrik.
Syahdan, bagaimana dengan hidup gue? Mungkin berbicara kehilangan cinta, di antara mereka gue yang paling mendominasi. Ya, semua cinta itu hangus sudah. Hanya satu tersisa. Gue bersyukur masih memilikinya.
Batuk-batuk menyalak yang dulu waktu kelas 3 SMP saban hari gue dengar, berhenti sebab dijemput paksa kematian! Kak Nabila yang terjangkit TBC di umur gue ke-17 tahun meninggalkan gue selamanya di usianya ke-20 tahun. Kakak yang baik dan cantik mirip emak. Selamanya enggak bisa gue rasain celoteh kasih sayang dari lisannya. Sudah enggak ada pertengkaran adik-kakak lagi yang membuat emak-bapak kalang kabut melerai.
Motor Jupiter Z merah enggak berbentuk. Hancur terlindas ban kontainer beroda enam. Mesin yang gepeng terbelah-belah itu juga menggilas habis tubuh bapak di atasnya sehingga turut gepeng dan isi tubuhnya terburai berceceran di jalan raya. Kejadian nahas itu pas waktu gue kelas 3 SMA. Setelahnya nasihat-nasihat bapak yang humor dan kadang galak enggak pernah bisa gue serap lagi.
Lambat laun emak yang terus depresi memikirkan bapak darahnya semakin naik. Kondisi badannya semakin hari semakin lemas saja. Sudah enggak pernah terdeteksi lagi kebahagiaan terukir di wajah emak. Sampai darah tinggi benar-benar merenggut nyawanya. Pada akhirnya gue tinggal sendirian.
Tanpa Kak Nabila. Tanpa bapak. Tanpa emak. Gue hanya sendiri di rumah. Beruntung Kamelia, dengan keistimewaannya enggak pernah membuat gue merasa sendiri. Kamelia enggak pernah berubah dari sejak gue pacaran sama dia di kelas 2 SMP, senantiasa hadir. Mengisi segenap kekosongan.
Paman dan bibi sempat mentitah gue untuk tinggal bersama mereka di Jakarta. Tapi, gue menolak. Dengan bantuan dari mereka, sudah sangat cukup, gue jadi bisa menamatkan SMA. Seusai itu gue bisa kerja dan ngekos sendiri di kota Bekasi ini. Gue enggak ingin jauh dari Kamelia. Lebih baik tinggal sendiri daripada berpisah jarak dengannya.
Kamelia yang mencegah gue jangan larut memikirkan kehilangan. Toh, masih ada dirinya. Gue diperintah bangkit dari keterpurukan dan lautan kesedihan. Gue dilarang melakukan perkara-perkara tolol yang menyakiti diri sendiri: mengkonsumsi alkohol, ganja, narkoba, menggoreskan pisau pada kulit. Katanya, dia enggak mau gue kenapa-kenapa.
Oh, betapa indahnya dicintai masih kuperoleh dari Kamelia. Lalu datang kabar enggak sedap. Beritanya orang tua Kamelia enggak setuju dengan hubungan gue dan dirinya. Kalau dia hidup sama gue, kata emak-bapaknya, enggak akan bahagia. Pasti susah melulu.
Padahal suatu hari gue yang akan menikahinya, membahagiakan Kamelia dunia akhirat. Tapi, orang tuanya membangun tembok yang tinggi dan cinta gue pada Kamelia selalu digusur. Gue mulai merutuki nasib gue sendiri. Apakah gue akan kehilangan cinta terakhir gue? Satu-satunya cinta yang bisa menghidupkan gue di kota ini?
Enggak-enggak. Gue masih punya kalian. Ya, kalian kawan-kawan terbaik gue. Yang mendukung penuh gue. Gue masih dicintai kalian. Oh, betapa indahnya dicintai kalian. Ah, tapi tetap saja, rasanya lain dengan Kamelia.