Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Cerpen pertamanya: Bentuk Sebuah Barokah memenangkan lomba cerpen se-kabupaten tingkat santri. Cerpennya: Putri Kuning memenangkan lomba cerpen nasional tingkat mahasiswa. Cerpennya: Mengapa Perempuan Itu Melajang terbit di media nasional Kompas.id (Rabu, 16 Oktober 2024). Cerpennya: Hutan Larangan Cak Badrun terbit di Instagram Cerpen Sastra. Tiga kali juara sayembara cerpen di Kompasiana yang diadakan Pulpen. Penikmat sastra (novel; cerpen; esai). Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bintang Kehidupan

10 Mei 2023   18:19 Diperbarui: 7 November 2024   07:05 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang gadis masuk salon. Mata lebar di bawah kerudung birunya mirip mata indah Lastri. Dia berhajat memendekkan rambutnya. Dia melepas kerudung lalu duduk di kursi. Bapak terperanjat! Melihat dia yang membuka masker di cermin. Ya, ampun! Itu benar kau! 

Tidak salah lagi! Ternyata kau lebih cantik dari foto yang dikirim bibimu dan lebih cantik dari emakmu. Kau mirip sekali dengan emakmu. Bermata lebar, bermuka bulat, berkulit putih. 

Bapak sangat kagum padamu, Nak. Terutama pada konten membaca kitab kuning yang kau upload di Tik Tok sebulan yang lalu. Bapak merasa sukses. Kerja keras bapak tak sia-sia memondokkanmu. Sekarang, tertakjub oleh paras indahmu. 

Entah bapak sebut kesalahan atau bukan. Dulu, saat kau genap dua tahun, bapak merantau, jauh meninggalkanmu. Jauh sekali. Itu demi masa depan cerahmu, Nak. Seusai lulus pesantren nanti, bapak akan menguliahkanmu di UTM, Bangkalan. Ya, kau santriwati dan akan menjadi sarjana! 

Kau harus sekolah tinggi. Tak boleh seperti bapak yang hanya lulusan SMP. Jangan menikah terlebih dulu di usia muda. Ya, meski banyak teman-temanmu pada usia di bawah 20 tahun telah menikah. Kau mesti berjuang menggapai cita-citamu, Nak. Menikmati masa muda. Kata bibimu, kau hendak menjadi dosen bukan? Bagus! Agar hidupmu bermanfaat untuk peradaban bangsa. Jangan seperti bapak. 

Bapak menjual kapal. Kapal yang dipakai kakekmu melaut. Menjadi nelayan hanya akan cukup membiayai hidup. Bukan sekolahmu kelak. Kapal itu bapak jual, seusai berunding dan sedikit cekcok dengan nenekmu. Betul, bapak paham sekali kapal itu sangkolan (warisan) dari almarhum kakekmu. Tapi, nelayan bukan pekerjaan yang harus dipertahankan. Upahnya sedikit sekali. 

"Jangan kau jual. Nanti kau tertimpa tulah. Cari modal yang lain saja!" Peringatan dari nenekmu. Tapi bapak bersikukuh. Tetap menjualnya. Demi hidup yang lebih cemerlang. Terang. 

Uang menjual kapal, bapak pakai buat merantau ke Jakarta. Syukurlah, nenekmu merestui juga. Bapak pergi ke Jakarta. Syahdan, bekerja di metropolitan tidak semudah dugaan bapak, Nak. Bapak pernah berjualan nasi bebek tapi tak laku. Bapak tidak bakat memasak. Tak seperti emakmu, Lastri dan nenekmu. 

Lalu bapak berjualan sate dan nihil hasilnya. Hanya sedikit uang yang bisa dikirim ke kampung. Bapak gulung tikar lagi. Lalu bapak kerja apapun, kuli panggul pasar, pemulung besi, tukang parkir Indomaret, kuli bangunan, pembersih kolam renang rumah orang kaya, lalu tukang cukur. 

Boleh jadi ini tulah bapak. Sebab tak menuruti nenekmu. Menjual benda sangkolan kakekmu. Bapak tak bisa terus-menerus kerja untuk orang. Syahdan, bapak pun mendirikan pangkas rambut.

Kala itu kau sudah besar, Nak. Bibimu mengirim fotomu. Kau akan masuk SMP. Kau mirip emakmu, Lastri. Istri bapak tercinta. Bapak tak akan menikah lagi. Cinta bapak kini dalam doa kepada Lastri. Ya, Lastri yang meregang nyawa agar kau lahir sehat dan selamat, Nak. Dia pendarahan hebat. Seusai kau lahir. Dan nama Bintang itu dari emakmu sebelum nafasnya tiada. 

Untuk mencoret sepi kala menunggu pelanggan. Bapak acap kali mewarnai. Mewarnai boneka-boneka koleksi bapak. Bapak gemar mengoleksi boneka. Semenjak dulu, bermain dengan boneka. Bapak tak suka bermain bola, perang-perangan, layangan, kelereng, petasan. Bapak hanya nyaman bermain dengan boneka. Mewarnainya. Menghiasnya. 

Begitulah, kata orang-orang bapak tak cocok bekerja berat-berat. Bapak terlalu gemulai. Bapak tak pernah becus, kata mereka.

Suatu hari, ada wanita cantik, lehernya bertato, mulutnya bau asap rokok, kira-kira berusia 40 tahunan, datang ke pangkas bapak. Dia minta potong rambut lalu pijit. 

"Pas sekali dan pijitanmu enak." Pujinya 

"Terima kasih." Kata bapak. 

"Nampaknya kau lebih cocok bekerja di salonku. Daripada di tempat kumuh ini."

Selanjutnya, di salon bercat hitam-putih yang lengkap alat-alat dan fasilitasnya ini bapak bekerja. Pangkas rambut dengan dinding yang sudah mulai memudar catnya dan banyak retakan sana-sini sempurna bapak tinggalkan. 

Teman-teman bapak di sini ada yang drastis mengubah penampilan, mengubah jenis, atau tingkahnya saja. Lantas lama-lama bapak tertarik mengubah penampilan.

Seusai kau lulus SMP, bapak berhasil punya uang untuk memondokkanku, Nak. Cukup uang saja yang bapak kirim kepadamu. Yang penting halal. Bapak tidak akan menafkahimu pakai uang haram. Tak boleh. Uang haram tidak baik buatmu yang sedang menuntut ilmu. Tak akan bapak biarkan badanmu tumbuh oleh daging yang haram. 

Bapak tak ingin menangkap ekspresimu melihat kondisi bapak yang begini. Bapak berbohong kalau bilang tak punya HP android. Kau pasti malu, Nak. Teman-temanmu tentu akan menyinyirmu. Alasan itulah, bapak tak mengirim foto kepadamu. Biarlah nanti di umurmu ke-25, tepat di hari wisuda kesarjanaanmu, bapak akan merubah penampilan ke sediakala lantas mudik menemuimu. Sebagai kejutan.  

Bagaimana jadinya jika kau melihat buah dada bapak ini? Bibir bapak yang berlipstrik? Wajah bapak yang tebal bedak? Rambut bapak yang tergerai? Bapak tak bisa membayangkan! Apakah ini tulah bapak? Entahlah!

Sekonyong-konyong tanpa bapak sadari, gadis yang tadi masuk lalu duduk di atas kursi saat ini adalah kau. Kala kau membuka masker putih, bapak terperanjat! Kaki bapak bagai berpijak di bumi yang bergoncang. Kau meminta potong rambut sebahu. Bapak masih tercenung. Tapi lekas tersadar. 

"Kau cantik dengan rambut panjang. Mengapa mau dipotong?"

"Karena emakku berambut pendek."

Bayangan emakmu serta-merta mengembang, Nak. Untung juga, kau tak menyadari bahwa ini bapak. Suara bapak sudah berubah. Tak seperti 20 tahun lalu saat bapak azan di telinga mungilmu. 

Bapak ingin sekali memarahimu tapi tak bisa. Jangan sampai kau tahu ini bapak. Kau pasti muak, Nak. Jauh sekali kau ke sini. Kau tentu mencari bapak. Di otak bapak terlintas perjalananmu dari Kwanyar, Madura menuju Jakarta ini. Nekat sekali. Kau perempuan pemberani seperti emakmu. 

Apakah di tengah perjalanan kau dijambret? 

"Kau punya uang?"

"Jelas punya. Kalau tak punya, buat apa saya ke sini."

"Dari mana kau?"

"Aku dari Madura."

"Apakah perjalananmu baik? Kau tidak dijahati orang di perjalanan bukan?"

"Tidak. Barang-barangku juga aman. Kalau ada yang macam-macam, aku bisa teriak dan lari."

Syukurlah. 

Lamunan merangsek. Bapak sungguh malu dan jijik dengan diri sendiri. Rencananya 5 tahun lagi, bapak akan mengubah penampilan lantas langsung pulang memelukmu, Nak. Tapi malah kau yang datang mencari bapak. Dan tanpa kau sadari, orang yang menyukur rambutmu, yang banci ini adalah bapakmu. 

Air mata merembes. Tanpa bapak sadari. 

"Kenapa anda menangis Tuan?"

"Melihatmu, saya teringat putri saya," tak bapak sangka perkataan itu yang meluncur. Dasar bodoh! Apakah kau menaruh curiga? 

Seketika hening. 

"Bapakku," oh sungguh itu yang tersadap telinga bapak. Angin sejuk yang muncul dari AC menggulung seperti badai. Seketika alat mencukur rambut terlepas dari genggaman bapak. Terjatuh membentur lantai. Menimbulkan suara gaduh. Tanpa bapak sadari, sebenarnya kau berujar "aku kesini mencari bapakku," tapi yang terdengar hanya satu kata belakangnya. Kau terkejut, Nak. Tubuh bapak bergeletar dan berkeringat.

Surabaya, 06 Mei 2023

Rosul Jaya Raya, mempunyai minat membaca cerpen dan menulis cerpen. Bergiat dalam Kalam Literasi Kwanyar dan Komunitas Pencinta Literasi. Sedang menempuh pendidikan S1 STAI Syaichona Moh. Cholil Bangkalan. 

Sumber Gambar: Dokumentasi Sendiri
Sumber Gambar: Dokumentasi Sendiri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun