Mohon tunggu...
Rosul Jaya Raya
Rosul Jaya Raya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pasca Sarjana

Cerpen pertamanya: Bentuk Sebuah Barokah memenangkan lomba cerpen se-kabupaten tingkat santri. Cerpennya: Putri Kuning memenangkan lomba cerpen nasional tingkat mahasiswa. Cerpennya: Mengapa Perempuan Itu Melajang terbit di media nasional Kompas.id (Rabu, 16 Oktober 2024). Cerpennya: Hutan Larangan Cak Badrun terbit di Instagram Cerpen Sastra. Tiga kali juara sayembara cerpen di Kompasiana yang diadakan Pulpen. Penikmat sastra (novel; cerpen; esai). Instagram: @rosuljayaraya24

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Advokat dan Kasus Adrian

23 April 2023   22:31 Diperbarui: 16 Mei 2023   18:52 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Terdakwa mengenggam pisau dapur stainless steel menghampiri Buk Lasma yang sedang berada di balkon rumah. Terdakwa menusukkan benda tajam tersebut ke perut Buk Lasma berkali-kali. Kemudian mendorongnya hingga jatuh ke dekat kolam renang keluarga Pak Ryan...."

Pembacaan dakwaan oleh Jaksa bermuka kotak itu memang betul. Ya, begitu kejadian yang saya kira-kirakan juga. Tapi jaksa itu tidak tahu sesuatu yang sangat penting, yang bisa menggeser pasal tindak pidana yang telah ia bacakan. Tenang saja. Saya pasti menang!

Pak Ryan yang mempunyai 5 perusahaan itu tentu akan menambah bayaran saya kalau saya bisa memenangkan perkara ini. Jelas saya akan menang. Tunggu saja.

Kasus sudah jelas. Pengakuan dari Adrian pun jelas. Saksi yang punya hubungan kedekatan sosial, Pak Ganjar (satu dari dua sopir keluarga Pak Ryan) dan Pak Tobroni (satu dari dua pembantu keluarga Pak Ryan), pun akan menperjelas. Pembunuhan itu sudah jelas, sangat jelas. Tapi ada yang tidak jelas, yaitu kondisi batin Adrian. Mereka pasti tidak tahu-menahu.

Karena sudah jelas suatu kejahatan, hukuman pasti tetap berlaku. Kali ini tugas saya meringakannya---sudah saya sampaikan pada Pak Ryan "Pak ini perkara sudah jelas. Jelas Ardian melenyapkan nyawa Buk Lasma, tapi jangan risau, saya bisa meringankannya. Peluang ini pasti berhasil," dengan keyakinan penuh saya sampaikan itu dan Pak Ryan meng-iyakan.

Ketok palu hakim agung akan tepat sesuai target saya atau tak akan meleset jauh.

Saya tak tega, saat pertama kali melihat tahanan bermuka polos itu. Dia orang rumahan, hobinya bermain piano. Saya terperanjat mengetahui anak itu membunuh seseorang, bahkan korban tersebut adalah orang terdekatnya bertahun-tahun, pembantu rumahnya. Setelah saya tanyakan ini-itu kepadanya dari luar jeruji tahanan, ada sedikit jalan terang terbuka.

Sekonyong-konyongnya langsung saya hubungi Basma Assegaf, psikolog yang dahulu teman semasa kuliah saya---saya jurusan hukum pidana, sedangkan Basma jurusan psikologi. Dahulu di kampus, Basma aktif di berbagai organisasi. Saya sempat bertanya, "apakah diberi izin ayah dan ibumu?" dia menjawab "aku tidak dipingit, asal tidak melanggar larangan agama" dengan senyum tipis.

Kala itu saya berspekulasi macam-macam tentang kekentalan patriarki keluarga Basma Assegaf, dan dugaan saya sangat meleset---tapi dalam kasus kali ini, saya tak akan meleset atau meleset sedikit sekali---dan masa ini, banyak keluarga-keluarga lain seperti keluarga Basma tidak terlalu memingit putrinya. Entahlah, boleh jadi dugaan saya itu meleset atau barangkali tepat (mungkin tidak, karena saya hanya berdekatan dengan golongan islam NU).

****

Sepi. Hiburanku di rumah ini hanya piano, handphone, dan laptop. Aku tidak hendak mengakrabi tiga anak yang usianya di bawahku di kamar sebelah apalagi wanita berumur 39 tahun yang telah merenggut cinta ayah untuk ibu.

Kepalaku bagai dikerubungi kerumunan lebah jikalau mendengar suara ribut-ribut tiga anak itu dari balik pintu kamarku yang selalu tertutup rapat. Kadang-kadang mereka berteriak-teriak lalu bertengkar lalu ada yang menangis. Dan akhirnya wanita itu mendamaikan mereka.

Yang paling menyebalkan ketika aku keluar dari kamar sepi ini, entah pergi ke kamar mandi, kolam renang, ruang makan, halaman, dan di mana pun di sekitar rumah ini, bertemu tiga anak itu bermain-main lalu si sulung---berusia 15 tahun---menatapku lantas mengajakku tapi selalu kutolak. Sementara si bungsu---berusia 7 tahun---seperti sengaja menabrakkan diri padaku ketika berlari. Dan anak nomor dua---berusia 10 tahun--- nampaknya membenciku.

Pergi keluar dengan kawan-kawan pun malas rasanya. Mereka hanya menginginkan uangku bukan bersamaku, dasar munafik! Lebih baik di kamar terus-menerus. Mentuts piano, main game di handphone atau laptop, sedikit dapat menggilas sepiku.

"Tok, tok, tok, Adrian! Makan dulu Nak."

Bertahun-tahun setiap hari suatu suara selalu terucap padahal aku tak ingin mendengarnya. Wanita itu tak ada bosannya! Dahulu dia mengganggu hidup ayah dan bodohnya ayah malah terpincut wanita jalang itu. Karena wanita itu, ibuku gantung diri. Dia pikir semua perbuatan baiknya selama ini bisa menembus kejahatannya pada ibuku. Dasar pelakor!

"Jangan menangis Dri. Ini bukan salah ayahmu. Ini salah ibu. Biar hari ini saja kau kehilangan ibu. Kalaupun ibu terus hidup, suatu saat kau juga akan kehilangan ibu."

"Dri" panggilan khas dari ibu yang terakhir kali ia ucapkan mengusutkan benang-benang kebahagiaanku. Ibu tidak mengusap rembesan air mataku. "Ibu!" ibu menggeliat-geliat lalu tali yang menggantung lehernya berwarna merah darah. Aku terus menangis. Ibu selamanya meninggalkanku sendiri.

Tak ada yang berani masuk kamar kosong itu selain aku, kamar yang dulunya ibu dan ayah tidur di sana. Kamar saksi bisu yang melenyapkan ibu itu, juga menghadirkannya ke dunia ini kembali. Aku masuk ke sana untuk bertemu ibu. Aku masih bisa merasakan usapan lembut ibu.

Bahkan di pagi buta, ibu sering datang ke kamarku lalu membangunkanku dari tidur. Dan ibu selalu kembali ke kamar itu---aku mengikutinya dari belakang---lalu menggantungkan diri dan kata-kata terakhir itu terus diucapkan. Bahkan di malam buta, ibu sering mendongengiku sebelum tidur seperti saat usiaku 7 tahun. Dan ibu selalu kembali ke kamar itu....

Semua nampak begitu nyata. Omong kosong! Ibu tak pernah kembali lagi. Ibu tak pernah datang ke dunia ini lagi. Semua halusinasi! Mengapa aku tidak bisa membedakan kenyataan dan khayalan?

Hidupku sepi sesepi kamarku tapi setelah mengenalmu, Cantika, hidupku berubah. Terutama ketika kamu menerima cintaku. Benang-benang kebahagiaanku tak lagi mengusut. Kamu penyemangat. Dan rencana bertemu kamu adalah jadwal wajib yang sangat kusiapkan matang-matang. Dan kita sudah 15 kali kencan.

Cantika, tinggal di kos-kosan bersama kedua temannya. Dia bekerja sebagai penjaga toko busana. Lalu malang menimpanya, dia dipecat sebab terlibat konflik. Aku prihatin. Setelahnya dia menganggur lama. Aku pun bernegosiasi dengan ayah. Lantas Cantika bisa bekerja di rumahku membantu Buk Lasma dan Pak Tobroni.

"Tok, tok, tok, Den Adrian, waktunya makan jangan sampai telat nanti sakit."

Selalu saja suara itu terdengar. Sangat perhatian sekali Buk Lasma kepadaku. Jujur sangat menyebalkan. Terlalu berlebihan. Sedangkan aku tak punya hubungan darah dengannya.

Aneh, suara indah Cantika tak pernah terdengar untuk menyuruhku makan. Padahal kalau dia yang melakukan, pasti aku langsung berangkat ke meja makan tapi suaranya tidak pernah muncul, bahkan dia tidak menyiapkan hidanganku, hanya Buk Lasma. Dan telah kusiapkan kamar untuknya tinggal, tapi tak pernah ada yang keluar dari kamar itu. Aneh! Ke mana sih Cantika? Dia ada atau tidak sih? Padahal aku masih senantiasa kencan bersamanya.

Lalu ada suatu masa, Buk Lasma membuat amarahku meledak-ledak. Aku tahu sedari awal Buk Lasma tak suka pada Cantika. Cantika perangainya buruk, katanya dan tak cocok denganku. Lalu ada suatu masa, Buk Lasma membunuh Cantika. Bangsat!

****

Saya berhasil. Hanya 5 bulan hukuman dipenjara. Bayaran saya ditambah berlipat ganda oleh Pak Ryan. Anak polos itu mustahil sengaja melenyapkan nyawa orang lain. Tapi perkara itu jelas dan dibaliknya ada perkara samar yang menjadi muasal. Ya, anak polos itu terjangkit Maladaptive Daydreaming---sesuai hasil konsultasi Basma. Pantas saja antara kenyataan dan khayalannya sulit dibedakan.

****

Ibu! Mengapa ibu tutupi semua dariku! Air mataku deras merembes. Tidak pernah ada ibu yang mati gantung diri. Tidak pernah. Sebab dia bukan ibuku, dia wanita yang tak bisa hamil, mandul. Aku tak pernah lahir dari rahimnya. Yang paling meleburkan diriku---Pak Tobroni membeberkan rahasia besar!---adalah tentang seorang wanita yang mempunyai lima anak lalu satu dari lima anak itu diserahkan pada keluarga kaya raya untuk diasuh. Anak itu ialah aku. Dan yang mempunyai lima anak itu wanita yang telah kubunuh.

Bangkalan, 22 April 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun