Review Buku: Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia, Tinjauan dalam Perspektif Teori Sosiologi Globalisasi
Oleh: Rossa Umdatul Khoirot (22180015), Prodi Sosiologi, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)
Identitas Buku
Judul Buku        : Kemanusiaan dan Pembarua   Masyarakat Muslim Indonesia
Nama Penulis     : Neng Dara Affiah
ISBNÂ Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â : 978-623-321-245-8
Ukuran            : xx + 226 hlm; 14,5 x 21 cm
Cetakan Pertama  : November 2023
Penerbit          : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Buku Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia karya Neng Dara Affiah merupakan kumpulan refleksi pemikiran selama 25 tahun (1998--2023) mengenai isu-isu kemanusiaan, keislaman, dan kemajemukan di Indonesia. Buku ini memberikan analisis mendalam tentang bagaimana umat Islam di Indonesia dapat beradaptasi dengan perubahan globalisasi, tantangan keberagaman, dan kebutuhan untuk memperbarui pemahaman agama. Secara khusus, buku ini relevan dengan topik yang dipelajari dalam Teori Sosiologi Globalisasi, seperti ilmu pengetahuan, hak asasi manusia, demokrasi, fundamentalisme agama, serta pluralisme.
Berikut merupakan Biodata singkat penulis: Penulis bernama Neng Dara Affiah (Eneng Darol Afiah). Lahir di Pandeglang, Banten, 10 Desember 1969. Beliau menyelesaikan pendidikan S1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1993), serta S2 dan S3 di Universitas Indonesia, FISIP, Departemen Sosiologi. Pernah mengikuti pendidikan HAM di Selandia Baru (2007) dan pluralisme agama di AS (2004). Saat ini, beliau adalah dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beliau pernah menjabat sebagai Komisioner Komnas Perempuan (2007-2014), anggota BAN PAUD dan PNF (2018-2023), serta terlibat dalam riset internasional, termasuk isu ekstremisme, demokrasi, dan gender. Beliau juga merupakan penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan organisasi Alimat.
Karya-karya beliau meliputi buku seperti Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia (2017) dan Muslimah Feminis (2009), Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia (2023) yang akan kita review, serta berbagai tulisan di media massa. Beliau aktif sebagai narasumber di forum nasional dan internasional, serta menjadi Ketua IKALFU UIN Jakarta (2021-2027).
Sebagai seorang intelektual publik, Neng Dara Affiah menghadirkan perspektif sosiologis yang kritis dan inklusif. Dengan latar belakangnya sebagai dosen, aktivis, dan komisioner Komnas Perempuan, penulis memiliki pengalaman luas dalam mengkaji isu-isu kontemporer terkait gender, pluralisme agama, dan kemanusiaan.
Buku ini terbagi ke dalam tiga bagian utama, yaitu (1)Spiritualitas Kemanusiaan dan Kesemestaan, (2)Islam dan Ikhtiar Pembaruan Ajaran Islam, serta (3)Keindonesiaan dan Kemajemukan. Tiap bagian mengulas berbagai topik yang erat kaitannya dengan aspek globalisasi, hak asasi manusia, demokrasi, dan dinamika fundamentalisme agama.
Ilmu Pengetahuan dan Hak Asasi Manusia
Bagian pertama buku ini, "Spiritualitas Kemanusiaan dan Kesemestaan," menyoroti pentingnya ilmu pengetahuan dalam memahami hubungan manusia dengan nilai-nilai kemanusiaan. konsep manusia unggul yang digagas oleh Allamah Iqbal, seorang filsuf Muslim terkemuka dari Pakistan. Iqbal menekankan pentingnya manusia mencapai potensi tertingginya dalam hidup. Ia menggambarkan manusia yang berhasil mencapai puncak kemuliaan seperti burung rajawali, simbol keberanian dan kebebasan. Sebaliknya, manusia yang tidak menggunakan akal dan hatinya diibaratkan seperti semut yang berjalan di tanah, mudah terinjak dan tidak dihargai. Pemikiran Allamah Iqbal yang diangkat dalam buku ini menekankan pentingnya pengembangan potensi individu melalui kerja keras, inovasi, dan pemikiran kritis. Konsep manusia unggul menurut Iqbal menggarisbawahi bahwa manusia harus selalu bergerak maju untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik, yang merupakan inti dari semangat globalisasi dan modernisasi.
Dalam buku ini, tema "Menyoal Paham Teologi Tulang Rusuk" membahas konsep hak asasi manusia dengan fokus pada pandangan tradisional mengenai penciptaan perempuan. Penulis mengkritisi kepercayaan lama yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk pria, yang seringkali dianggap bengkok. Keyakinan ini telah diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi selama berabad-abad, sehingga dianggap sebagai kebenaran yang tak terbantahkan. Akibatnya, perempuan sering kali dipandang tidak sepenuhnya setara sebagai manusia, baik dari segi hak maupun martabatnya.
Pembahasan mengenai penciptaan perempuan dari tulang rusuk pria juga dihubungkan dengan ayat Al-Qur'an yang berbunyi: "Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya, Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenis kamu sendiri, agar kamu merasa tenteram bersama mereka, dan Dia menjadikan di antara kamu rasa cinta dan kasih sayang" (QS. Ar-Rum: 30:21). Ayat ini menekankan pentingnya keharmonisan dan cinta dalam hubungan manusia, yang menjadi salah satu tanda kebesaran Allah.
 Penulis menyoroti bahwa konsep penciptaan perempuan sering digunakan untuk merendahkan keberadaan perempuan melalui sistem makna yang dibentuk oleh masyarakat, yang disebut sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini, meskipun tidak bersifat fisik, memiliki dampak yang sama seriusnya dengan kekerasan fisik dan psikis. Akibatnya, perempuan sering merasa rendah diri, penakut, mudah cemas, tidak berdaya, dan mengalami berbagai bentuk pelemahan lainnya. Oleh karena itu, penafsiran yang merendahkan tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk pria harus segera dihentikan sebagai langkah penting untuk menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai manifestasinya.
Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai bentuk kekerasan simbolik, yaitu kekerasan yang bersifat halus, samar, dan tersembunyi, sehingga sering kali tidak dianggap sebagai masalah dan diterima oleh banyak budaya sebagai sesuatu yang wajar. Kekerasan simbolik ini kemudian direproduksi melalui berbagai saluran pendidikan, mulai dari lingkungan keluarga, institusi pendidikan formal, hingga pendidikan nonformal. Dampak lebih lanjut dari pemahaman ini adalah munculnya diskriminasi terhadap perempuan, baik dalam aspek hukum agama, hukum negara, maupun dalam berbagai praktik budaya masyarakat.
Topik selanjutnya membahas tentang "Keluhuran Manusia dan Kekuatan Cinta" dengan merujuk pada teori Erich Fromm, seorang filsuf Jerman yang terkenal melalui bukunya The Art of Loving. Fromm mengembangkan banyak teori tentang cinta, namun salah satu yang paling menonjol adalah konsep cinta kepada sesama. Cinta jenis ini dianggap fundamental karena menjadi dasar dari semua bentuk cinta lainnya. Dalam cinta kepada sesama, terkandung elemen-elemen seperti tanggung jawab, rasa hormat, kepedulian, pemahaman terhadap sesama manusia, serta tekad untuk menjaga dan melestarikan kehidupan. Pemahaman terhadap cinta jenis ini sangat relevan, terutama di tengah maraknya ujaran kebencian yang tersebar melalui media sosial.
Masih dalam konteks yang sama, tulisan ini juga membahas ajaran toleransi beragama dari Jalaluddin Rumi sebagai respons terhadap berbagai konflik berbasis agama yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya pada awal Era Reformasi. Konflik ini mencakup pertikaian antara umat Kristen dan Islam di Maluku (1999), konflik serupa di Poso (2001), serta berbagai insiden seperti meningkatnya aksi terorisme, kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di berbagai wilayah, dan kekerasan terhadap komunitas Syiah maupun Kristen di Bogor dan Bekasi.
Fundamentalisme Agama dan Nalar Kritis
Pada bagian kedua buku ini yaitu, "Islam dan Ikhtiar Pembaruan Ajaran Islam," penulis membahas bahaya fundamentalisme agama, yang sering kali menjadi ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia. Menurut Cak Nur, sebuah bangsa akan sulit berkembang jika warga negaranya tidak teguh memegang etika mereka. Oleh karena itu, umat Islam seharusnya menerima Pancasila sebagai dasar etika, karena seluruh prinsip yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Penulis juga menekankan dalam pembahasan tentang "Islam Esoteris" bahwa Islam bukan hanya berfokus pada aspek politik, melainkan juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian, kasih sayang, dan cinta, serta berperan dalam membimbing dan membentuk peradaban umat Islam, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, maupun agama.
Pada bagian ini, penulis mengangkat subtema tentang "Mengembangkan Nalar Kritis dalam Mencegah Ekstrimisme Beragama." Penulis kemudian mengutip sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 2021, di mana seorang wanita bernama Zakiah Aini, yang berusia 25 tahun, menjadi simpatisan ISIS. Ia melakukan serangan terhadap Mabes Polri di Jakarta Selatan dengan menembakkan enam kali tembakan pada tiga kesempatan, pada hari Rabu, 31 Maret 2021. Sebelum melakukan aksinya, Zakiah menulis sebuah wasiat, di antaranya meminta orang tuanya untuk lebih banyak beribadah kepada Allah Swt., meninggalkan sistem ekonomi yang dianggapnya berpotensi riba, serta menghentikan kekaguman terhadap Ahok yang dianggapnya kafir. Ia juga meminta kakaknya untuk mengenakan jilbab.
Aspek-aspek yang perlu dikritisi inilah yang disebut dengan berpikir kritis. Sebagai contoh, apakah mengagumi orang yang bukan beragama Islam, seperti Ahok, itu berdosa, padahal dia sangat baik dalam mengelola ibu kota. Inilah salah satu hal yang perlu kita kritisi. Berpikir kritis adalah metode pembelajaran yang memungkinkan seseorang untuk membuat keputusan yang logis berdasarkan informasi yang diperoleh, kemudian mengolah dan memahaminya.
Kasus Zakiah Aini, seorang simpatisan ISIS yang menyerang Mabes Polri pada 2021, dijadikan contoh ekstremisme agama yang muncul akibat kurangnya pemahaman kritis terhadap ajaran agama. Penulis menekankan pentingnya berpikir kritis dalam memahami agama. Berpikir kritis memungkinkan seseorang membedakan antara ajaran pokok agama dan tafsiran manusia yang sering kali dipengaruhi oleh budaya, politik, atau ideologi tertentu. Dalam konteks globalisasi, di mana informasi dengan mudah diakses, berpikir kritis menjadi kebutuhan untuk menangkal penyebaran ideologi radikal.
Demokrasi dan Pluralisme dalam Keberagaman
Bagian ketiga, "Keindonesiaan dan Kemajemukan," mengulas bagaimana globalisasi memengaruhi hubungan antara agama, budaya, dan demokrasi di Indonesia. kemajemukan dipandang sebagai prinsip nilai bangsa Indonesia, sebagaimana tercermin dalam semboyan negara, Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini mengandung makna bahwa meskipun terdapat berbagai etnis dan agama yang hidup di wilayah Nusantara, semuanya memiliki tujuan yang sama. Pada subtema pertama yang membahas mengenai "Paham Teologi Tulang Rusuk," perempuan sering dipandang lebih rendah dari pria. Namun, pada subtema ini, penulis memperkenalkan topik mengenai sosok perempuan hebat di Indonesia dengan judul "Mengapa Kita Perlu Memperingati Hari Kartini."
Kartini diperingati karena memiliki keistimewaan sebagai pemikir pertama yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan mendorong pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ia dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan perempuan tidak kalah pentingnya dengan pendidikan pria. Kartini meyakini bahwa jika perempuan mendapatkan pendidikan yang baik, mereka akan mampu mendidik anak dan keluarga mereka dengan cara yang sama.
Pembahasan terakhir membahas tentang "Revolusi Islam Iran, Mahsa Amini, dan Pelajaran Bagi Indonesia." Sebelum revolusi Islam berlangsung di Iran sekitar 43 tahun yang lalu, terjadi perubahan besar dalam hak-hak pribadi, hukum, dan sosial perempuan. Hakim perempuan dicabut, sekolah teknik dan kejuruan untuk perempuan ditutup, dan perempuan dilarang memasuki perguruan tinggi. Bahkan, diberlakukan peraturan pemisahan antara laki-laki dan perempuan di tempat umum.
Hanya beberapa minggu setelah revolusi Islam di Iran dimulai, pada tahun 1983, pemerintah mewajibkan semua perempuan untuk mengenakan jilbab melalui keputusan parlemen. Perempuan yang tidak menutupi rambutnya di tempat umum akan dihukum dengan 74 cambukan. Sejak 1995, perempuan yang melanggar peraturan jilbab juga dapat dipenjara hingga 60 hari. Karena negara menetapkan standar tentang bagaimana seharusnya warga negara berpakaian, aturan tersebut menyebabkan terjadinya korban. Salah satunya adalah Mahsa Amini, seorang perempuan muda berusia 22 tahun asal kota Kurdi, Iran, yang meninggal pada 16 September 2022, tiga hari setelah ditahan oleh polisi moral. Kematian Mahsa Amini memicu protes dan demonstrasi besar-besaran.
Penulis berpendapat bahwa kewajiban negara adalah memastikan kesejahteraan, keamanan, dan keadilan hakiki bagi warganya. Pemakaian jilbab oleh perempuan sebaiknya menjadi bagian dari kultur berpakaian dalam masyarakat dan merupakan pilihan pribadi yang didasarkan pada kesadaran individu, bukan sebuah kewajiban yang ditentukan oleh negara. Buku ini menguraikan cerita secara bertahap dan tidak monoton. Dimulai dengan pembahasan tentang spiritualitas kemanusiaan dan kesemestaan, lalu berlanjut ke pembahasan tentang Islam dan usaha penyegaran ajarannya. Agama dibahas dengan cara yang kompleks, mencakup berbagai aspek. Pendidikan juga dibahas, termasuk peran pesantren, dampak positif dan negatif kekerasan dalam Islam, serta hubungan antara ulama, organisasi Islam, dan politik. Selanjutnya, buku ini menyentuh tema keindonesiaan dan kemajemukan, membuka wawasan kita untuk melihat Indonesia di masa lalu, serta memberikan pemahaman tentang pencerahan Eropa dan kontribusinya. Berbagai agama yang ada di Indonesia juga dibahas, termasuk daerah-daerah yang kental dengan agama dan keberagaman. Salah satunya adalah peringatan Hari Kartini, yang menjadi momen penting untuk mengingat perjuangan Kartini dalam memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, yang akhirnya membawa kesetaraan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Buku tentang Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia, Karya Neng Dara Affiah sangat bermanfaat sekali, buku ini penuh dengan wawasan baru dan inovatif, buku ini merupakan sumber pengetahuan yang sangat berharga bagi mahasiswa. Penjelasan yang jelas dan terperinci tentang konsep-konsep penting membuatnya menjadi panduan yang sangat berguna dalam memahami materi kuliah. Selain itu, penggunaan contoh yang relevan dan studi kasus yang menarik menjadikannya lebih mudah dipahami . Sebuah bacaan yang sangat direkomendasikan bagi siapa pun yang ingin mendalami subjek ini dengan lebih baik,di rekomendasikan untuk membaca buku ini,karena buku ini sangat keren untuk di baca,dan sangat banyak sekali manfaatnya.
Buku Kemanusiaan dan Pembaruan Masyarakat Muslim Indonesia karya Neng Dara Affiah sangatlah bermanfaat. Buku ini menawarkan wawasan baru dan inovatif, serta menjadi sumber pengetahuan yang berharga bagi mahasiswa. Penjelasan yang rinci dan jelas tentang konsep-konsep penting menjadikannya panduan yang sangat membantu dalam memahami materi kuliah. Ditambah lagi, penggunaan contoh yang relevan dan studi kasus yang menarik memuahkan pembaca untuk memahami isi buku ini. Buku ini sangat direkomendasikan bagi siapa saja yang ingin memperdalam topik ini. Sangat disarankan untuk membacanya, karena buku ini sangat menarik dan penuh manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H