Topik selanjutnya membahas tentang "Keluhuran Manusia dan Kekuatan Cinta" dengan merujuk pada teori Erich Fromm, seorang filsuf Jerman yang terkenal melalui bukunya The Art of Loving. Fromm mengembangkan banyak teori tentang cinta, namun salah satu yang paling menonjol adalah konsep cinta kepada sesama. Cinta jenis ini dianggap fundamental karena menjadi dasar dari semua bentuk cinta lainnya. Dalam cinta kepada sesama, terkandung elemen-elemen seperti tanggung jawab, rasa hormat, kepedulian, pemahaman terhadap sesama manusia, serta tekad untuk menjaga dan melestarikan kehidupan. Pemahaman terhadap cinta jenis ini sangat relevan, terutama di tengah maraknya ujaran kebencian yang tersebar melalui media sosial.
Masih dalam konteks yang sama, tulisan ini juga membahas ajaran toleransi beragama dari Jalaluddin Rumi sebagai respons terhadap berbagai konflik berbasis agama yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya pada awal Era Reformasi. Konflik ini mencakup pertikaian antara umat Kristen dan Islam di Maluku (1999), konflik serupa di Poso (2001), serta berbagai insiden seperti meningkatnya aksi terorisme, kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah di berbagai wilayah, dan kekerasan terhadap komunitas Syiah maupun Kristen di Bogor dan Bekasi.
Fundamentalisme Agama dan Nalar Kritis
Pada bagian kedua buku ini yaitu, "Islam dan Ikhtiar Pembaruan Ajaran Islam," penulis membahas bahaya fundamentalisme agama, yang sering kali menjadi ancaman bagi demokrasi dan hak asasi manusia. Menurut Cak Nur, sebuah bangsa akan sulit berkembang jika warga negaranya tidak teguh memegang etika mereka. Oleh karena itu, umat Islam seharusnya menerima Pancasila sebagai dasar etika, karena seluruh prinsip yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Penulis juga menekankan dalam pembahasan tentang "Islam Esoteris" bahwa Islam bukan hanya berfokus pada aspek politik, melainkan juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian, kasih sayang, dan cinta, serta berperan dalam membimbing dan membentuk peradaban umat Islam, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, maupun agama.
Pada bagian ini, penulis mengangkat subtema tentang "Mengembangkan Nalar Kritis dalam Mencegah Ekstrimisme Beragama." Penulis kemudian mengutip sebuah peristiwa yang terjadi pada tahun 2021, di mana seorang wanita bernama Zakiah Aini, yang berusia 25 tahun, menjadi simpatisan ISIS. Ia melakukan serangan terhadap Mabes Polri di Jakarta Selatan dengan menembakkan enam kali tembakan pada tiga kesempatan, pada hari Rabu, 31 Maret 2021. Sebelum melakukan aksinya, Zakiah menulis sebuah wasiat, di antaranya meminta orang tuanya untuk lebih banyak beribadah kepada Allah Swt., meninggalkan sistem ekonomi yang dianggapnya berpotensi riba, serta menghentikan kekaguman terhadap Ahok yang dianggapnya kafir. Ia juga meminta kakaknya untuk mengenakan jilbab.
Aspek-aspek yang perlu dikritisi inilah yang disebut dengan berpikir kritis. Sebagai contoh, apakah mengagumi orang yang bukan beragama Islam, seperti Ahok, itu berdosa, padahal dia sangat baik dalam mengelola ibu kota. Inilah salah satu hal yang perlu kita kritisi. Berpikir kritis adalah metode pembelajaran yang memungkinkan seseorang untuk membuat keputusan yang logis berdasarkan informasi yang diperoleh, kemudian mengolah dan memahaminya.
Kasus Zakiah Aini, seorang simpatisan ISIS yang menyerang Mabes Polri pada 2021, dijadikan contoh ekstremisme agama yang muncul akibat kurangnya pemahaman kritis terhadap ajaran agama. Penulis menekankan pentingnya berpikir kritis dalam memahami agama. Berpikir kritis memungkinkan seseorang membedakan antara ajaran pokok agama dan tafsiran manusia yang sering kali dipengaruhi oleh budaya, politik, atau ideologi tertentu. Dalam konteks globalisasi, di mana informasi dengan mudah diakses, berpikir kritis menjadi kebutuhan untuk menangkal penyebaran ideologi radikal.
Demokrasi dan Pluralisme dalam Keberagaman
Bagian ketiga, "Keindonesiaan dan Kemajemukan," mengulas bagaimana globalisasi memengaruhi hubungan antara agama, budaya, dan demokrasi di Indonesia. kemajemukan dipandang sebagai prinsip nilai bangsa Indonesia, sebagaimana tercermin dalam semboyan negara, Bhineka Tunggal Ika. Semboyan ini mengandung makna bahwa meskipun terdapat berbagai etnis dan agama yang hidup di wilayah Nusantara, semuanya memiliki tujuan yang sama. Pada subtema pertama yang membahas mengenai "Paham Teologi Tulang Rusuk," perempuan sering dipandang lebih rendah dari pria. Namun, pada subtema ini, penulis memperkenalkan topik mengenai sosok perempuan hebat di Indonesia dengan judul "Mengapa Kita Perlu Memperingati Hari Kartini."
Kartini diperingati karena memiliki keistimewaan sebagai pemikir pertama yang memperjuangkan hak-hak perempuan dan mendorong pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ia dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan perempuan tidak kalah pentingnya dengan pendidikan pria. Kartini meyakini bahwa jika perempuan mendapatkan pendidikan yang baik, mereka akan mampu mendidik anak dan keluarga mereka dengan cara yang sama.
Pembahasan terakhir membahas tentang "Revolusi Islam Iran, Mahsa Amini, dan Pelajaran Bagi Indonesia." Sebelum revolusi Islam berlangsung di Iran sekitar 43 tahun yang lalu, terjadi perubahan besar dalam hak-hak pribadi, hukum, dan sosial perempuan. Hakim perempuan dicabut, sekolah teknik dan kejuruan untuk perempuan ditutup, dan perempuan dilarang memasuki perguruan tinggi. Bahkan, diberlakukan peraturan pemisahan antara laki-laki dan perempuan di tempat umum.