Di tengah kebutuhan pendanaan infrastruktur yang begitu besar, skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur (KPBU) menjadi skema pendanaan yang menjanjikan. Sejak diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2005 tentang KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur, hingga saat ini paling tidak telah terdapat 17 proyek KPBU yang telah ditandatangani perjanjian kerja samanya. Ke depan, jumlah proyek infrastruktur yang menggunakan skema KPBU akan terus bertambah. Di samping memberikan alternatif pendanaan pembangunan infrastruktur, skema KPBU dapat memunculkan risiko fiskal yang perlu diwaspadai dan dikelola dengan baik oleh Pemerintah.
Karakteristik KPBU: Alokasi Risiko
Menurut Panduan Referensi Kemitraan Pemerintah Swasta Versi 2.0 yang diterbitkan oleh IIGF, secara umum kerjasama pemerintah dengan badan usaha atau public-private partnership(PPP) dapat didefinisikan sebagai suatu kontrak jangka panjang antara suatu pihak swasta dan suatu badan pemerintah untuk menyediakan suatu aset atau layanan publik, dan berdasarkan kontrak tersebut, pihak swasta menanggung risiko signifkan dan tanggung jawab pengelolaan dengan remunerasi yang ditentukan berdasarkan kinerja .
Salah satu karakteristik utama dalam KPBU adalah terdapat alokasi risiko. Keterlibatan pihak swasta dalam KPBU tidak berarti mengalihkan seluruh risiko kepada phak swasta. Alokasi risiko yang optimal dalam KPBU adalah bahwa risiko dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengelola atau menanggungnya. Sebagai contoh, perubahan hukum/peraturan perundang-undangan merupakan risiko yang berasal dari pihak pemerintah sehingga pihak yang paling tepat untuk menanggung risiko adalah pemerintah, dalam hal ini penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK). Sementara risiko keuangan proyek, pihak yang paling tepat untuk menanggungnya adalah pihak swasta mengingat pihak swasta lebih memiliki fleksibilitas untuk melakukan mitigasi risiko, misalnya dengan asuransi dan lindung nilai/hedging.
Risiko Infrastruktur dan Risiko Fiskal
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, Pemerintah dapat memberikan Penjaminan terhadap KPBU. Penjaminan Pemerintah tersebut diberikan dalam bentuk Penjaminan Infrastruktur yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur.
Penjaminan infrastruktur diberikan terhadap pembayaran kewajiban finansial PJPK , yaitu kewajiban untuk membayar kompensasi finansial kepada badan usaha atas terjadinya risiko infrastruktur yang menjadi tanggung jawab pihak PJPK sesuai dengan alokasi risiko sebagaimana disepakati dalam perjanjian kerja sama. Risiko infrastruktur adalah peristiwa-peristiwa yang mungkin terjadi pada proyek KPBU selama berlakunya perjanjian KPBU yang dapat memengaruhi secara negatif investasi badan usaha, yang meliputi ekuitas dan pinjaman dari pihak ketiga.
Perjanjian KPBU menjabarkan kewajiban masing-masing pihak, termasuk kewajiban finansial PJPK apabila PJPK melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang dapat menyebabkan timbulnya kewajiban finansial tersebut. Tindakan atau tiadanya tindakan PJPK tersebut secara umum disebut sebagai risiko politik. Sebagai contoh, dalam perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT), PJPK dapat menjanjikan diberikannya kompensasi tunai kepada badan usaha jalan tol (BUJT) apabila terdapat keterlambatan pengadaan tanah atau keterlambatan dalam perubahan tarif sesuai yang diperjanjikan. Demikian halnya apabila terjadi penghentian perjanjian (terminasi) yang disebabkan oleh risiko politik, misalnya adanya tindakan atau tiada tindakan pemerintah, perubahan hukum, cidera janji pemerintah, atau keadaan kahar, PJPK memberikan kompensasi kepada BUJT.
Terjadinya keterlambatan pengadaan tanah atau keterlambatan dalam perubahan tarif atau terjadinya terminasi tentu saja tidak dapat diperkirakan pada saat PJPK dan badan usaha menandatangani perjanjian kerja sama. Timbulnya kewajiban PJPK untuk memberikan kompensasi finansial tersebut adalah karena kejadian lain di masa depan yang tidak dapat diprediksi. Dengan demikian, kewajiban finansial tersebut dapat digolongkan sebagai kewajiban kontingensi.
Di sisi lain, kewajiban kontingensi merupakan salah satu risiko fiskal. Pemerintah telah melaporkan risiko fiskal di dalam Nota Keuangan dan APBN sejak tahun 2008 hingga sekarang. Dalam Nota Keuangan dan APBN Tahun 2017, risiko fiskal diartikan sebagai segala sesuatu yang di masa mendatang dapat menimbulkan tekanan fiskal terhadap APBN. Sumber risiko fiskal dalam APBN 2017 meliputi (1) risiko asumsi dasar ekonomi makro, (2) risiko pendapatan negara, (3) risiko belanja negara, (4) risiko pembiayaan, dan (5) risiko fiskal tertentu. Kewajiban kontingensi termasuk dalam risiko pembiayaan.
Terdapat tiga sumber kewajiban kontingensi yaitu (1) dukungan dan/atau jaminan Pemerintah pada proyek pembangunan infrastruktur, (2) program Jaminan Sosial Nasional dan jaminan sosial PNS, dan (3) kewajiban mempertahankan modal minimum pada lembaga keuangan tertentu. Kewajiban kontingensi pada dukungan dan/atau jaminan Pemerintah pada proyek pembangunan infrastruktur berasal dari penjaminan pada proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap II dan II, penjaminan pada proyek percepatan penyediaan air minum, penjaminan infrastruktur pada proyek KPBU, penjaminan pada pinjaman langsung BUMN kepada lembaga keuangan internasional, penjaminan pada proyek jalan tol Trans-Sumatera, dan penjaminan dalam penyediaan pembiayaan infrastruktur daerah melalui penugasan kepada PT SMI (Persero).