Akil Mochtar adalah hakim konstitusi yang memulai kariernya sebagai pengacara. Setelah dua kali terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ia mendapat amanah sebagai hakim konstitusi. Separuh hidupnya dilalui untuk berjuang meraih pendidikan tinggi di tengah keterbatasan dan kesederhanaan keluarga. From zero to hero, itulah usaha kerasnya untuk menggapai gelar sarjana. Sebab, ia terlahir dari sebuah keluarga besar di kampung yang tidak makmur. Untuk makan, terkadang mereka mencampur beras dan jagung, umbi-umbian, atau bulgur. Disiplin dan kerja keras yang ditanamkan sejak dini, akhirnya membentuk pribadi Akil sebagai manusia tangguh.
Akil Mochtar, biasa dipanggil Ujang, lahir pada 18 Oktober 1960 di Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, sebuah kota kecil berjarak 870 km dari Pontianak. Ayahnya, H. Mochtar Anyoek dan ibunya, Junah Ismail (alm). Sejak di bangku SD, Akil sangat bersahaja. Bahkan, kadang ia berangkat sekolah dengan telanjang kaki selama setengah jam. Ia baru bersepatu kelas 2 SMP, karena wajib. Untuk mendapatkan sepatu, ia harus memesan beberapa bulan sebelumnya. Namun, ia tidak kehabisan akal. Ia meminta sepatu bot bekas di asrama tentara. Bagian atasnya lalu dipotong. Maka bersepatulah Si Ujang.
Anak keenam dari sembilan bersaudara ini sudah terbiasa tinggal jauh dari orang tua sejak kelas 2 SMP. Saya ikut kakak perempuan, suaminya dinas ke Singkawang, ujarnya. Ia lalu pindah lagi ke Pontianak dan melanjutkan sekolah ke SMA Muhammadiyah I. Semasa SMA, Akil aktif berorganisasi. Ia pernah menjadi Ketua OSIS, Ketua Ikatan PelajarMuhammadiyah (IPM) Pontianak, dan Pelajar Islam Indonesia (PII).
Nilai Mulia dalam Keluarga
Waktu kelas 4 SD, ia pernah diajak ayahnya mencari ikan di sungai pukul 02.00 dini hari. Meski mengantuk, ia menuruti perintah ayahnya. Karena tak kuat menahan kantuk, begitu sampai di tengah sungai, perahu yang ditumpanginya oleng. Akil tercebur. Rupanya, perahu itu sengaja digoyang oleh ayahnya karena Akil tidak fokus mengendalikan perahu. Akil menangis. Tapi ia lekas naik ke atas perahu karena tak berani melawan orang tua. Dalam perjalanan pulang ia diberi tahu ayahnya, Kalau kerja itu benar-benar, jangan sambil main-main, jangan sambil tidur, ayah nggak suka.
Setelah dewasa, Akil mengerti bahwa setiap pekerjaan harus dijalankan dengan serius, bukan sambil lalu. Wak (ayah) saya itu mengajarkan tidak dengan omongan, tapi dengan perilaku, katanya. Ibunda Akil, yang biasa ia panggil Ummi, juga menerapkan disiplin tinggi. Cara mendidiknya lebih tegas dibanding sang ayah. Dari didikan kedua orang tuanya itu, Akil tampil menjadi sosok yang siap berjuang di segala medan.
Berjuang Menggapai Sarjana
Selepas SMA, Akil terobsesi untuk menggapai gelar sarjana. Tetapi, karena keluarga tak punya biaya, ia memutuskan merantau. Di rantau, ia lalu kerja serabutan, mulai dari loper koran, sopir cadangan, sampai broker sepeda motor. Agar bisa kuliah sehabis bekerja, ia memilih kampus swasta, Universitas Panca Bhakti, Pontianak.
Sebenarnya Akil mendambakan bisa diterima di fakultas pertanian. Namun, jurusan itu belum ada di kampusnya kala itu. Alternatifnya, ia masuk fakultas hukum. Ketika masih kuliah, Akil diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Departeman Dalam Negeri (Depdagri). Namun, ia kemudian mengundurkan diri. Alasannya, ia ingin lebih mandiri dan fokus pada studi. Saya pikir dengan punya ijazah sarjana saya bisa mengembangkan lagi, ujar mantan politisi yang pernah bercita-cita menjadi jaksa itu.
Meski sibuk bekerja, karena nalurinya yang tinggi berorganisasi, Akil tetap aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan. Ia menjadi Ketua Senat FH Universitas Panca Bhakti dan Komandan Batalyon Resimen Mahasiswa. Ia juga menjadi aktivis di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), maupun Pemuda Pancasila (PP). Akil berhasil menamatkan pendidikan tingginya dan meraih dua gelar sekaligus, Sarjana Muda Hukum (SMHK) dan Sarjana Hukum (SH). Wah itu udah hebat, karena dulu jadi jaksa dan hakim SMHK itu bisa, kenang Akil.
Dari Advokat, Legislatif, ke Judikatif