Mungkin terlalu berlebihan mensejajarkan Khrisna Pabichara (Khr_P) dengan Dan Brown, penulis novel best seller Da Vinci D’Code, Angel and Demond dan Inferno tetapi biarlah . . . karena membaca novel “Natisha Persembahan Terakhir” justru perasaan yang muncul pada bantaran akhir hal 297 – 419 sensasinya melayang pada tiga novel tersebut bahasan tentang :
Kitab Nyanyian Parakang, Sumur Keramat, Lubang Persembunyian, Kode Rahasia di Makam Purba, Kitab Perkara Parakang, Cawan Darah Perawan dan Benih Iblis
Menjadi klimaks kisah yang sarat dengan mistik juga pemecahan sandi dalam bentuk puisi, nyanyian dan mantra – mantra memunculkan kejutan – kejutan ala_ala Dan Brown secara manis dikisahkan cukup menggigit nendang bahkan menegangkan jiwa plus ngilu – ngilu di beberapa persendian karena hal tidak lazim juga langka, di tulis dalam novel Natisha. Pengungkapannya tidak di paksakan meskipun sang penulis bertutur tentang hal yang menyeramkan, kisahnya cukup jernih dan sangat natural sehingga saya sebagai pembaca sangat menikmatinya;
Kemahiran Khr_P adalah menyusun kisah bantaran demi bantaran tersebut dengan dinamika yang sangat terjaga tidak ingin rasanya meletakkan novel Natisha bahkan penasaran yang menggebu – gebu ingin mengetahui bagaimana ending kisah Parakang, meskipun ada niat mengompas bacaan dengan cara tinggal membuka bagian terakhir maka akan segera tahu akhir kisah Rangka, Daeng Tutu dan Laila juga Natisha namun itu tidak saya lakukan demi menjaga sensasi aneh yang sering muncul saat membaca novel karya Dan Brown cukup saja menduga – duga dengan berbagai kemungkinan dan kejutan yang terkadang membuat kita merasa ‘kecele’ alias tertipu, dan itu yang dilakukan Khr_P dalam novel Natisha.
Adapun bahasan parakangadalah center problem yang menjadi daya pikat kisah Natisha semakin memikat, dari unik dan rumitnya parakang akan meluas bercabang – cabang pada kitab purba hingga nyanyian parakang yang mistis, siapa saja korban parakang, tokoh – tokoh lokal yang mengerti tentang parakang sejarahnya sehingga menjadi sedemikian kompleks dan kita terhanyut dalam aliran serba neka tentang parakang.
Secara aqidah adanya parakang antara percaya dan tidak; halal dan haram hehehe . . . bisa jadi khilafiah ! Namun baik kita kenal secara sepintas tentang kata parakang yang baru saya ketahui lewat novel ini.
Parakang adalah ilmu sesat peninggalan jaman purba yang bertujuan menimbun kekayaan, membangun pesona dan kharisma kekebalan tubuh serta tujuan – tujuan jahat lainnya seperti untuk membalas dendam kesumat, dengan syarat utama bagi penuntut ilmu sesat ini mereka harus memangsa jeroan orang yang menjelang sakarat dan bisa melahap dari jarak jauh isi jeroan korban.
“Parakang bisa mengancam keselamatan orang sakit dengan cara mengubah diri menjadi banyak wujud. Parakan bisa menyerupai binatang, seperti kucing atau serigala. Parakang juga dapat mengubah wujudnya menjadi tumbuhan. Yang paling mudah di kenali ialah ketika parakang menyerupai batang pisang, karena ia berdiri sendiri dan berdaun ganjil . . . lebih unik lagi parakang dapat menyerupai benda semacam kamboti, keranjang yang terbuat dari daun lontar atau daun kelapa. (Natisha, p. 80 – 81)
Membaca novel Natisha serasa masuk kedunia asing yang sarat dengan kisah mistik dan imaginasi liar saya meyakini sepertinya inilah salah satu fenomena budaya lokal yang tumbuh secara merayap sejak jaman dahulu kala hingga kini di berbagai wilayah Nusantara dari Aceh hingga Raja Ampat, dari Banten hingga ujung Madura.
Beruntung Jeneponto memiliki aset SDM seperti penulis Novel yang peduli tentang kisah tersembunyi legenda atau mitos ( kendati mitos . . , tetapi ada pembicaraan secara budaya tutur sehingga viral abadi ).
Lagi . . . tentang kepiawaian Khr_P bukan semata dari susunan kalimat yang cukup mengalir dan mudah difahami kendatipun banyak kata – kata langka yang tidak populer dipakai oleh para blogger atau secara umum netizen ( iyalah . . . beda level blogger dengan sastrawan atau budayawan ) akan tetapi saya meyakini bahwa Khr_P melakukan riset lapangan dan riset pustaka yang panjang pemahaman tentang budaya lokal yang super kaya raya yakin semuanya tidak instan dan permainan logika yang nyaris sempurna saat dialog para tokoh di dalam kisah dipaparkan cukup menakjubkan ada misi kuat untuk memperkenalkan budaya setempat khususnya Jeneponto.
Dari tulisan, suatu daerah mencuat terbukti sudah apa yang di tulis Andrea Herata tentang Belitong serta merta lebih dikenal lagi karena novel Lasykar Pelangi. Akan tetapi, saya kira bukan itu tujuan Khr_P berkisah tentang Natisha ada sesuatu yang lebih ideal dan jauh kedepan.
Alhamdulillah saya bisa membaca novel ini secara perlahan dan hati – hati, berusaha memahami satu demi satu kalimat yang tertulis tidak seperti biasa jika membaca satu novel cukup dinikmati saja tanpa mencurat – coret novel yang masih gress hadiah istimewa dari admin fiksiana Mas Rudie Chakil dan Mbak Sri Subekti Astadi dari tulisan pilihan :
Tuntas sudah membaca sebuah novel klasik yang sarat dengan tuntunan dan kejutan serta kritikan pada awal tahun 2017 . . . standing applaus untuk tim yang mewujudkannya . . .
Novel : Natisha Persembahan Terakhir
Penulis : Khrisna Pabichara
Penerbit : Javanica PT. Kaurama Buana Antara
Penyunting : Shalahuddin GH
Pemindai Aksara : Amaliana Widya Utami
Penata Letak : design651
Tahun Terbit : Mei, 2016
Tokoh – tokoh pada Novel Natisha
Daeng Tutu
Kita sebagai pembaca dituntun oleh Khr_P untuk mengenal para tokoh dengan berbagai kebiasaan sikap dasar tingkah laku fikiran budaya bahkan nama utuh, nama panggilan harian hingga nama bangsawan yang diurai di beberapa tempat menjadi kejutan kecil yang menyenang pembaca awam seperti saya, biasanya di beberapa novel tokoh secara narasi di ungkapkan polos saja di awal kisah, Khr_P tidak melakukan itu.
Tentu saja tokoh centralnya menggunakan nama panggilan sehari – hari yaitu Daeng Tutu dengan profesi terhormat sebagai dokter di Puskesmas Tamalea nama lengkapnya adalah “Muhammad Jamil Daeng Tutu” muncul di halaman 282 saat ia di interogasi polisi jahat dengan tuduhan pembunuhan.
Kisah Daeng Tutu adalah ceritera menyedihkan dari anggota masyarakat yang di perlakukan sangat frontal oleh ‘oknum’ polisi – polisi tidak bermoral sebagaimana sering kita baca kekejaman polisi masa orde baru penyiksaan fisik kepada para aktifis kemanusiaan seakan kejadian tersebut dibuka kembali ingatan kita kesana . . . ( Natisha, p. 283 – 295)
Sempurna kesedihan !
Natisha sesungguhnya termasuk tokoh utama, namun ia dikisahkan secara pasif oleh sang penulis novel hanya beberapa halaman ada dialog antara Natisha dengan Daeng Tutu.
Natisha
Apakah nama ini lazim digunakan di kampung sekitaran Jeneponto saya tidak tahu pasti atau sekedar imajiner sang penulis, jika memandang cover buku novel, Natisha wajahnya seperti peranakan Eropa dengan pandangan mata yang super jutek dan penuh misteri. Diantara cuplikan tulisan tentangnya :
“ . . . . Ternyata tidak. Konsentrasiku hanya sejenak tertuju pada buku. . . . . Setelahnya ingatanku memajang tatapan dingin dan senyum sinis seorang gadis-yang-orangtuanya-lebih-kaya-daripada-Tuhan. (p. 107)
PastinyaYudi Irawanmencoba menerjemahkan narasi ini sebagai orang yang menggambar cover novel Natisha.Gadis itu cantik. Sangat cantik. Tubuh dan wajahnya seolah di tatah dari segala pesona (p.89)
Mas Yudi Irawan berhasil menggambarkan Natisha, seperti bayangan banyak orang oiya mirip tidak ya dengan Andi Meriam Matalatta ? pelantun Lembah Biru yang mendayu – dayu . . . belok kemana ini teh . . .
Lanjut akh . . .
Sebagai salah satu tokoh sentral kecelebritisan Natisha adalah ia :
Natisha punya tiga nama.
Natisha nama pertamanya.
Daeng Lebang nama kedua alias paddaengang_nya adapun pakkaraengang Natisha ialah Karaeng Marannu belakangan nama ketiga jarang digunakan, sekaligus gelar Kakaraengang. Dia lebih kerap disapa Karaeng Lebang di banding Karaeng Marannu. Sebagai seorang Karaeng Puli, tidak seorangpun menyapanya menggunakan nama pertama dan nama kedua. ( Natisha, p. 143 )
Ia mempunyai aura dan pesona yang memikat di bandingkan gadis – gadis lain di kampungnya, yakin ending kisah dikejutkan dengan apa yang tidak kita perkirakan, hanya orang cerdas yang bisa nebak nasib akhir Natisha.
Rangka
Rangka adalah politisi gagal dua kali pemilihan calon anggota dewan dua kali pula tidak berhasil alias zonk – dia ingin menjadi Parakang yang sempurna (p. 327) lelaki pemberang berdada bidang, makhluk culas dan dengan sengaja menusuk betis Daeng Tutu ketika keluar dari sumur usai pertarungan pappuli ia juga penggemar berat Barcelona.
Baik Daeng Tutu, Natisha dan Rangka ketiganya gemar menulis diary dan hobby membaca ini aura yang sangat positif bagi para pembacanya bahwa budaya menulis minimal catatan kejadian harian dan membaca baik komik picisan atau novel murahan bahkan koran merah sekalipun penting menjadi habit, pada waktunya pembaca komik picisan atau novel murahan juga koran merah akan mengalami kejenuhan. Pasti pada saatnya akan naik tingkat mencari bacaan yang lebih berkualitas karena kebutuhan akan membaca adalah fitrah semua hamba Allah yang berfikir.
Kakek Manrawa
Saya sungguh terkesan dengan tokoh Kakek Manrawa yang gila baca dan memiliki ketrampilan menulis dengan aksara lontarak disamping ia bertugas sebagai kerani (sekretaris) Raja Binamu - kerajaan cikal bakal kabupaten Jeneponto, dan bertugas menuliskan semua kejadian diseluruh kerajaan. Sang kakek Daeng Tutu dalam paparan Khr_P beliau pandai berbahasa Belanda, Jepang dan Inggris benar – benar kaum bangsawan yang real nyata adanya . . . . (Natisha, p.43)
Kritik Sosial Yang Renyah
Khr_P dengancerdik mengkritik kondisi sosial masyarakat Makassar di tulis juga dengan sebutan Jumpandang saya kutip apa yang tertulis disana :
“Aku berharap ata dan daeng diberkati kesadaran dan berani menentukan pilihannya sendiri”.
Aku berharap keadilan, semacam "siapa bisa mendapatkan apa" atau bagaimana seseorang diperlakukan sama.
Tetapi harapan itu tidak akan pernah jadi kenyataan .
Harapan seperti itu sama seperti berharap si-kodok-buruk-rupa bersanding dengan si-peri- yang-cantik-jelita
Lebih janggal lagi bila gadis dari kalangan daeng dibawa lari oleh pemuda karaeng, orang tua gadis itu akan dengan mudah menyatakan penerimaan dan kerelaan karena "darah biru" si pemuda.
Jangan berharap hal sama terjadi jika yang mengajak kawin lari itu pemuda dari kalangan daeng apalagi ata.
Aku juga sering memimpikan kesetaraan, semacam "demi manfaat semua orang" .
Tetapi karaeng selalu di sediakan tempat duduk dibarisan terdepan pada setiap hajatan atau upara adat.
Sia - sia berjuang demi "memperlakukan sesama dengan setara"
Sebab
Bahkan dalam mimpipun hal itu tidak akan benar - benar terjadi .
Kalaupun terjadi itu mimpi belaka.
Betapa adat menghunjam kuat, ada ata, daeng dan karaeng . . .
( Natisha, p.94)
Menggali Budaya Lokal Yang Berlimpah
Membaca dengan perlahan Novel Natisha karya Khr_P terasanya menimbulkan keasyikan khusus, banyak hal menarik diantaranya :
Kisah Natisha adalah sebagai fenoma masyarakat Sulawesi khususnya Makassar yang dalam novel tersebut di tulis sebagai Jumpandang secara generik indah dan oke laa . . . mungkin agak sedikit subyektif karena saya sebagai pembaca berlatar orang yang lahir di Selayar namun besar di Bandung yang tidak terlalu banyak tahu tentang budaya leluhur termasuk tentang silariangyang melahirkan sirik.
Boleh di vote jika kemudian lebih banyak lagi pembaca yang membaca novel Natisha ini, beneran keren.
Coba kita lanjut kemenarikan lainnya . . . .
Latar politik yang disimbolkan dengan warna kuning dan hijau penulis dengan cerdik tidak sekalipun menyebutkan bahwa itu golkar dan yang hijau lambang PPP (semoga penulis tidak keliru menebak).
Kritik – kritik sosial dihidangkan dengan cantik khususnya tentang pengkastaan masyarakat, sebagian tadi sudah diulas selewat saja, itu yang menjadi gejolak jiwa Daeng Tutu yang merasa dan dianggap dari level rendah dibandingkan dengan keluarga Natisha
Dengan membaca Novel ini penulis sedikit – sedikit kembali belajar bahasa Indonesia yang agak asing, kurang populer dan tentu saja tabu digunakan bagi generasi alay diantaranya :
- Sewaktu keringat mengucur dari kening Kasing, dadanya kembang kempis dan matanya menguarkan amarah . . .
- Aku mengendikkan bahu. “Yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin!”
- Aku penasaran. Kugamitlengan Kasing sambil menoleh beranda.
- Kali ini mengarah ke perutku, lalu memancaslenganku
- Selebihnya, kembali luka akan meracah – racah hatiku.
- Kata demi kata yang Ayah tuturkan langsung lesapkedalam sanubariku.
- Sekarang aku terperenyak disini dengan tingkah layaknya maling.
- Pelan – pelang keheningan menggelimuni kami.
- Dst.
Setting lokasi mengundang pembaca untuk bisa hadir dilokasi pantai gunung dan sawah yang nama – namanya lengkap ditulis semoga ini apa adanya, gregetan ingin datang kesemua yang di catat seperti Tamalatea Kalumpang Tanetea Bukit Lantaka, Bontoramba, Pantai Tamarunang Batujala dan banyak lagi tempat berasa ingin menjejaknya kesana. ( hm . . . lumayan menggoda )
Diantara quote – quote sayang jika tidak ditampilkan . . .
Tidak seorangpun ditakdirkan beruntung sepanjang hidup. Keberuntungan hanya datang sekali – kali, itupun harus di kejar, harus diperjuangkan sendiri . . . . (Natisha, p. 66)
Ini khusus harus menggunakan stabillo oranye ( #ekh . . . ).
Jangan bersikap terlalu manis, jangan bertutur terlalu pahit. Terlalu manis akan tertelan, terlalu pahit akan dimuntahkan ;
Ingatlah falsafah Sulapak Appak. Di dalam dirimu ada api, nyalakan api itu agar kamu tidak di remehkan orang. Ada angin tiuplah angin itu biar kamu terus merasa hidup. Jangan lupakan air, darisana kamu bercermin perihal bagaimana menyesuaikan diri. Lalu tanah. Benar kamu penyabar, tetapi kamu harus ingat bahwa tanah juga sewaktu – waktu bisa marah. Terakhir jika kamu mencari seseorang yang pergi, pencarian itu harus bermula dari mana ia berangkat.” (Natisha, p. 66)
Merawat Amarah adalah sumber . . . kalimat ini maybe yess maybe no.
Lantas mengapa sebegitu benci Rangka kepadaku ? Dari mana asal muasal amarah Rangka dan bagaimana ia merawat amarah itu (Natisha, p.77)
Saya merasa bahwa disamping Kuntowijoyo mempengaruhi kisah ini tampak dari logika berfikir yang mengkerutkan kening bahkan mengulang bacaan, kisah inipun dikaitkan dengan latar belakang politik saat kejadian kejatuhan Presiden Suharto, latar sejarah kerajaan Binamu dan tahun demi tahun yang bertebaran dalam novel Natisha aroma kuat Pramudya Ananta Toer dari trilogi : Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa dan Rumah Kaca itupun muncul . . . mengayun ngayun ingatan pada Minke dan Nyai Ontosoroh.
Baiklah novel ini terasa hidup salah satunya tentang kaum lelaki dari tanah Makassar yang selalu membawa badik di pinggangnya, dan itu acapkali ter saksikan pada Ayah saya lahir di Bulukumba – Benteng Selayar yang membawa badik di pinggangnya, bahkan hingga kini beliau sering ketahuan menyelipkan badik di kopernya saat akan melakukan perjalanan jauh. Amaging !!!
Salam Ahad dan Ahad lagi,
Sabtu, 22 Jumadil Awwal 1438 H / 18 Februari 2017 M
Catatan :
Pada halaman 268 tertulis . . . "sudah maghrib ketika aku tiba rumah"
sepertinya yang dimaksud . . . "sudah maghrib ketika aku tiba di rumah"
Halaman 111 lembaran dilipat dan disolasi khawatir anak - anak gadis dan bujang saya membacanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H