Bang Aswi sebagai Komandan KBandung (Kompasianer Bandung) beberapa hari sebelumnya via medsos telah mengundang Kompasianers yang bermukim di Kota Kembang untuk merealisasikan acara dengan tagar #MapahKaBandung kuota dua puluh orang.
Sesungguhnya acara ini muncul hasil dari bincang–bincang ringan saat Kompasiana mendapat undangan dari Kementerian Perhubungan dan dilaksanakanlah acara mendadak nangkring dengan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bersama beberapa Kompasianer Jakarta di antaranya Bang IsJet (Iskandar Zulkarnaen) Mas Rahab, Bang Pendi, Bang Harry, Bang Aswi Fx.Muchtar, Kang Ali Muakhir dan siapa lagi . . . yang tidak tertulis mohon maaf diriku #lupaa, sedikit catatannya bisa cikog–cikog ke sini:
Mendadak Nangkring Kompasiana dengan Menteri Perhubungan dan Kang Emil
Mapah ka Bandung bermakna berjalan ke Bandung dengan tujuan menelusuri sebagian jejak–jejak sejarah kota yang masih bisa dikisahkan dengan beberapa penanda di antaranya stilasi.
Stilasi tersebut berbentuk prisma tegak segitiga yang terbuat dari beton dengan hiasan bunga Patrakomala yang terbuat dari besi masif.
Sepuluh orang Kompasianer yaitu Bang Aswi, Umi Bindia Teh Maria G Sumitro Kang Deni, Teh Julia Bioeti Teh Efie Fitriah Teh Euis Sri Nurhasanah Teh Eka dan penulis (eit . . . Bunda hampir #lupaa lagi) oiya di tambah dua puteri Bang Aswi.
Kami berjalan beriringan, kadang bersatu kadang memencar karena sambil meyimak pemaparan Abang Komandan KBandung, kami juga bermedsos ria, mengambil gambar gambar yang dianggap penting berbincang bincang, posting picture di Instagram bercuit–cuit di Twitter, hangat dan guyub acara teh keren pisan.
Kehangatan perjalanan kami salah satu penyebabnya karena kota Bandung relatif masih belum sibuk, penduduk baru satu dua keluar rumah, jam libur sekolah sehingga asyiik rasanya.
Satu hal jadi catatan juga tidak biasanya Bunda kopi darat membawa masker digunakan sepanjang kegiatan sesekali dilepas, memang masker yang saya bawa berguna sekali karena selama perjalanan aroma kota Bandung di beberapa lokasi agak kurang akrab dengan indera penciuman.
Pasang masker cukup membantu di antaranya sekitar wilayah basemen Mejid Agung, stilasi regentsweg dan saat melewati beberapa jalur entah kenapa aroma memixing lambung menyebabkan mual yang lumayan eplek–eplek juga badan dibuatnya.
Kita semua masyarakat kota memang harus dibina budaya bersih budaya buang sampah dan budaya bertanggung jawab memelihara kota, termasuk memelihara taman–taman dan sungai yang terus dibenahi oleh Bapak Wali Kota Kang Emil.
Bertanggung jawab memelihara dan menjaga kota memang harus terus didengungkan serta diimplementasikan secara teknis di lapangan karena hasil #MapahKaBandung di antara beberapa keprihatinan yang mendalam adalah patut disayangkan dengan hilangnya semua putik bunga patrakomala yang dipasang dan dirancang indah menggunakan besi masif sebagai mana Bang Aswi katakan semua putik itu sudah patah atau dipatahkan tentu oleh ‘oknum’ warga masyarakat kota Bandung yang tidak bertanggung jawab, tidak mungkinlah jika dipatahkan oleh para Malaikat penjaga kota.
Seputik Kisah Bunga Patrakomala
Kantor Berita Domei (BTPN)
Letak stilasi satu ada di Kantor Berita Domei (BTPN), posisi di kawasan Jalan Dago dekat perempatan Riau Merdeka, tepatnya di jalan Sultan Agung lokasi ini menjadi agenda berikutnya #MapahKaBandung untuk lebih memaknai posisi lengkap dari 10 stilasi yang belum sempat kami kunjungi.
Adalah kutipan sejarah . . .
Gedung Denis (BJB)
Stilasi kedua posisi di Gedung Denis (BJB); monumen mini kedua ini pun menjadi agenda mendatang Kompasianer Bandung khususnya atau siapapun yang tertarik untuk bergabung, sepenggal sejarah saya kutip dari sini:
Gedung Asuransi Jiwa Sraya
Bismillah sepuluh kompasianer begerak menuju stilasi ketiga yang letak nya di depan gedung Jiwa Sraya jalan Asia Afrika.
“Stilasi atau monumen mini merupakan bagian dari konsep seni gambar yang meniru obyek sebenarnya”.
Berdasarkan penjelasan Bang Aswi bahwa di Kota ini ada sepuluh titik stilasi yang tersebar di Varisj Van Java Bandung Lautan Api (BLA) Heritage Trail, dengan perancang patung yang cukup dikenal yaitu Pak Sunaryo (seniman patung).
Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage) bekerja sama dengan American Express Bank Foundation membangun stilasi tersebut pada 1997 spiritnya adalah untuk memahami dan mengenang bahkan menghargai puncaknya bersyukur bahwa kebebasan dan kenikmatan yang kita rasakan saat ini adalah berkat perjuangan para pejuang yang terjun langsung (memikirkan rencana dan strategi mempertahankan kota).
Mereka yang berjuang secara tidak langsung pada 24 maret 1946 dengan cara memberikan dukungan rencana aksi di mana saat itu ada 200.000 penduduk membakar rumah masing–masing dengan tujuan agar kota Bandung tidak dikuasai pasukan sekutu, sedang warga ketika itu meninggalkan kota Bandung dan mengungsi ke daerah selatan, sangat dramatik bila membanding situasi ketika itu dengan kondisi Bandung saat ini.
Berkaitan dengan stilasi tiga yang dibangun unik dan cantik bersih juga stylis tentu saja dilengkapi setangkai bunga patrakomala diatasnya (dari besi masif dengan cat coklat kekuningan) di sekitaran gedung Jiwa Sraya sejarah mengungkapkan bahwa saat persiapan BLA gedung ini pernah dijadikan markas Resimen 8 divisi III Priangan, komandemen I Jawa Barat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) ada di bawah pimpinan Letkol Omon Abdurrahman.
Dikisahkan bahwa empat bulan sebelum peristiwa BLA pasukan ini menyerang kantor-kantor Inggris seperti di Hotel Homann dan Preanger, yang terbayang oleh penulis tentara Inggris mesti cukup repot juga menghadapi aksi–aksi heroik para pejuang kota (kirim doa untuk mereka shalawat dan alfatihah).
Kami senang berfoto–foto di lokasi ini disamping masih pagi pejalan kakipun relatif sangat lengang dan beberapa kursi serta batu – batu bundar tampak nyaman dipandang enak diduduki beberapa jenak sampil memandang kubah masjid Alun–alun kota yang sudah ramai hilir mudik keluar masuk jamaah Mesjid Agung, kompasianers tidak berlama–lama karena harus kembali bergerak menuju titik berikut yaitu monumen Bambu runcing.
Kami menyusuri jalan Kepatihan setelah melewati halaman Mesjid Agung tersaksikan warna hijau dominan rumput imitasi (sampah lumayan bertebaran), dari kejauhan memang telah tampak bentuk miniatur bambu runcing berwarna kuning keemasan dililit rantai berwarna hitam posisinya di pinggir jalan bahkan didepan teras super market Yogya Kepatihan.
Saat sampai Monumen Bambu Runcing (MBR) Bang Aswi dengan sigap membuang beberapa sampah yang terkesan sengaja di buang di situ, pikiran penulis hanya orang yang mabuk saja membuang sampah ke seputaran MBR bambu runcing ini tanpa beban apapun juga.
Aroma tidak sedap memang menjalar, dengan sigap saja penulis memasang masker sambil menyimak apa–apa yang dikisahkan Bang Aswi dan mengambil beberapa gambar.
Memaknai MBR dilokasi ini sekitaran 1946 ada bangunan bersejarah yang menjadi markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) – Siliwangi, dan menjadi markas rahasia dicetuskannya idea awal BLA selanjutnya markas tersebut menjadi Hotel Harapan Eka Graha.
Monumen bambu runcing yang berada di depan Yogya Kepatihan diperkirakan juga berhubungan erat dengan perjuangan dua prajurit Laswi (Lasjkar Wanita) yaitu Zus Willy dan Zus Susilawati.
Zus Willy
Memenggal kepala salah seorang tentara Gurkha (yaitu tentara Inggris berdarah Nepal) setelah menembak terlebih dahulu di sekitar Ciroyom, kepala tentara Gurkha itu ditebas dengan gunto (pedang samurai) dan potongan kepala itu diserahkan pada komandan Lasjwi Ibu Arudji.
Zus Susilawati
Lasjkar wanita ini mengeksekusi kepala seorang Gurkha dan mengarak potongan kepala itu dari jalan Cibadak sampai ke Markas Divisi III di Regentsweg selanjutnya kepala Gurkha ini di kirim ke Markas TRI di Yogyakarta.
Hal yang penting kita pahami bersama bahwa stilasi ini tidak masuk dalam daftar yang berada dalam pengelolaan pemkot Bandung atau Dinas Pertamanan Kota, berdasarkan apa yang diungkap Bang Aswi dalam tulisannya kemungkinan stilasi ini penguasaannya masuk dalam wilayah Kabupaten Bandung atau bahkan Pemprov Jawa Barat.
Rasanya penulis masih mencoba berusaha mencerna situasi dan kenyataan ini meskipun belum dapat menggali lebih jauh nasib salah satu situs sejarah di kota yang sesungguhnya banyak orang–orang pintar dari berbagai kalangan dapat memikirkan bagaimana stilasi ini bisa ada kepastian dalam penguasaan lembaga yang legal. #bingung beberapa jenak.
Rumah tinggal Kolonel Abdul Haris Nasution dikenal dengan sebutan regentsweg, salah satu lokasi yang bersejarah karena di sana di rumah tersebut Kolonel Abdul Haris Nasution (AH. Nasution) mengumpulkan anak buahnya membahas agar strategi Bandung Lautan Api berjalan dengan lancar.
Kami melacak pada hari Sabtu (24/12/2016) bersama rombongan Kompasianer Bandung letak regentsweg ada di depan salah satu toko Jalan Raden Dewi Sartika no 20.
Stilasi tersebut tidak memiliki makna apa apa selain bangunan mini tembok tipis berdasar ukuran lebih dari satu meter dengan setangkai bunga Patrakomala berbahan besi masif dan tanpa putik sama sekali di sebelah kanan stilasi bertumpuk krat – krat plastik penyimpan botol pemandangan “no comment” menandakan perasaan nyaris sulit mendeskripsikannya (jadi inget Kang Emil, sekiranya beliau mengetahui dan mendadak sidak misalkan bersama acara Mata Najwa, ea . . . .) “aib” itu mau diletakkan di manakah gerangan sebagai warga yang bangga dengan taman–taman dan penduduknya berpendidikan serta berbudaya.
Sakola Kautamaan Istri
Stilasi yang berdiri di dekat bangunan sekolah yang didirikan oleh Raden Dewi Sartika, relatif terpelihara lebih layak dan layak saksi artinya bersih rimbun dan cukup indah sehingga hati kami tidak terlalu miris saat mengambil gambar.
Sakola Istri sesungguhnya lebih semacam komunitas di mana Raden Dewi mengajarkan ketrampilan menulis dan membaca kepada sesama kaum perempuan dilingkungannya, tercatat sejak 16 Januari 1904, sakola istri juga mengajarkan keterampilan–keterampilan puteri di antaranya menjahit, merenda dan memasak.
Kegiatan komunitas istri ini mendapat dukungan dari Inspektur Pengajaran Hindia Belanda dan RA. Martanegara yang saat itu menjadi Bupati Bandung.
Rumah Motor Di Jalan Simpang
Stilasi yang terletak di Jalan Simpang yang paling misterius dan mengherankan semua kompasianer, disamping stilasi tersebut ada dibalik pagar terbungkus oleh spanduk usang seakan sesuatu hal yang tidak penting (memang tidak ada kepentingan rakyat sekarang dengan perjuangan masa lalu).
Letaknya memang di Jalan Simpang no 10 Kelurahan Balong Gede Regol, di lokasi ini terjadi peristiwa bersejarah yaitu tempat perumusan BLA dan diambilnya keputusan pembumi hangusan Kota Bandung entah dengan alasan apa stilasi letaknya ada di samping semacam toko motor.
Tentu saja dengan melacak satu demi satu stilasi sebagai penanda perjuangan rakyat Jawa Barat yang erat kaitannya dengan Bandung Lautan Api selayaknya rakyat Jawa Barat bersyukur dengan kondisi saat ini yang bebas merdeka dan maju, jika mereka tidak berkorban dan berjuang tentu kisah hari ini akan sangat berbeda. Dan kita semua tidak seperti kali ini.
Salam Bandung Lautan Api
26 Desember 2016 / 26 Rabi’ul Akhir 1438 H
Rujukan :
Lembaran presrilis dari Bang Aswi
Ada 10 Stilasi Penanda Jejak Bandung Lautan Api
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H