Klub Sahabat Pena muncul di berbagai majalah baik nasional maupun lokal demikian pun dalam koran – koran yang saat itu terasa persaingannya dari satu harian dengan harian lainnya demikian edisi mingguan, tabloid masih belum tren kejadiannya sekitar tahun 1970 – 1980 an.
Kala itu masuk dalam klub Sahabat Pena merupakan kegiatan yang sangat positif dan cukup bergengsi apalagi jika semua perangko, di kumpulkan dengan cara menggunting bagian sampul surat merendamnya satu malam sehingga esoknya terkelupas dan di simpan pada kertas semen di angin – anginkan hingga betul – betul kering terakhir masukkan ke dalam album perangko.
Lanjutannya penulis suka sekali membalas dengan segera surat – surat yang dikirim dengan tulisan tulisan indah tebal tipis (hahay berasa lebay bangets ya . . . )
Iyalah masa itu tulisan bagus dan indah sangat penting karena akan memperoleh nilai tambahan dari Ibu dan Bapak Guru yang mengajar, jaman sekarang rasanya tulisan bagus dan indah tidaklah terlalu prioritas.
Sekarang mah . . . semua telah sangat berubah dan berbeda, para Sahabat Pena beralih fungsi jika melek medsos maka menjadi FB’s Kompasianers dst.
Tadi pagi penulis menerima buku mungil sederhana berjudul : “Kumpulan Prosa Sepucuk Surat Untukmu” berbisik dalam hati dengan nada haru dalam batin : terima kasih ya Fiksiana Community, Mbak Sri Subekti Astadi, Mbak Sekar Mayang dan Mbak Liez Mutiara.
Buku tersebut nyaris belum sempat di baca, namun entah kenapa teringat saja pada lagu ‘Fatwa Pujangga’ Said Efendi – anak sekarang tidak kenal sama penyanyi tahun 60’an ini. Sambil mendendang ringan suara di tekan serendah mungkin :
Cipt. Said Effendi
T'lah kuterima suratmu nan lalu
Penuh sanjungan kata merayu
Syair dan pantun tersusun indah, sayang
Bagaikan sabda fatwa pujangga
Kan kusimpan suratmu yang itu
Bak pusaka yang sangat bermutu
Walau kita tak pernah bersua, sayang
Cukup sudah tandamumu setia
Tapi sayang sayang sayang
Seribu kali sayang
Kemanakah risalahku
ku alamatkan
( Terimalah jawabanku ini
Hanyalah doa restu Ilahi )
Moga lah dik/bang kau tak putus asa, sayang
Pasti kelak kita kan berjumpa (bersua)
Sepucuk surat, seperti transfer uang milyaran jika memang sebanding akan tetapi tentu saja kisah – kisah di balik sepucuk surat menjadi sejarah tersendiri bagi penulisnya bahkan seorang RA. Kartini surat menjadi ajang curcol habis.
Saya mah tidak tahu bagaimana prosesnya kemudian dipilih tiga belas surat yang dibukukan dengan judul yang telah di sebut diatas.
Hatur Nuhun ya Kompasiana, isinya tidak terlalu penting itu surat namun maknanya ada persahabatan diantara kompasianers yang kental dan ajaib saja koq dibukukan.
Jum’at Mubarokan ; 14 Dzulhijjah 1437 H /16 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H