Tidak ada yang di sengaja jika kemudian kami tak memiliki apa – apa dalam arena pergumulan hidup berumah tangga, nyaris keseluruhan benda adalah lungsuran dari Ibunda yang kemudian beliau membeli yang baru lebih trendy kokoh dan mahal.
Tempat tidur, seperangkat meja dan kursi makan, lemari pakaian bahkan beberapa benda yang bisa mendukung kehidupan pertumbuhan jasmani alias masak memasak beliau juga yang menyediakan.
Demikianpun rumah, bukan – bukan rumah mugkin tepatnya pondok kecil tempat kami berteduh Ayahanda yang juga membangunkan demi semua berjalan lancar dan tidak overcost.
Meskipun sedikit agak kurang layak karena beberapa hal akan tetapi sangat penting di syukuri bahwa kami memiliki tempat berteduh, aman walau di saat tengah malam tiba pondokan ini mirip kerajaan satu komunitas yang mendominasi hampir semua ruang – ruang yang nyaman bagi mereka , . . . emm kerajaan tikus.
Beberapa cara telah kami lakukan untuk mengusir komunitas tikus kebun, diantaranya dengan meletakan buah bintaro pada beberapa wilayah persinggahan para tikus sang anggota komunitas.
Walau demikian akhirnya kami satu keluarga besar rutin mengeluarkan dana khusus untuk mengusir para tikus dan kurang efektif juga, akhirnya berusaha maklum ketika saat santai mengobrol anak – anak tikus berlarian . . . geram namunpun tidak kuasa membunuhnya satu persatu.
Pondokan kecil ini senyatanya hanya memiliki empat kamar yang disiapkan akan tetapi ada ruang luas dengan multy fungsi untuk menerima tamu, salat berjamaah, pertemuan semua keluarga dan ruang bermain yang paling bersahabat bagi si bungsu disana ia bisa melakukan apapun yang ia mau bersama sahabat – sahabat ciliknya bahkan terakhir bungsu kami mendirikan tenda di ruang tersebut hampir sebulan bahkan dua bulan penuh.
Mentolerir si bungsu Bunda rasa sebagai hal yang paling bijak dengan pertimbangan bahwa itu semua demi kebahagiaan si kecil dan demi membangun imajinasi kehidupan mini dengan puluhan boneka pemberian Kakak kakaknya juga beberapa sahabat bahkan ada juga khusus membeli untuknya.
Satu ruang yang riuh di tempati putera dan puteri kami adalah tempat diletakannya TV berwarna ukuran sedang, dinding berwarna hijau cerah dan akhirnyapun lecek oleh coretan – coretan abstrak si bungsu sesungguhnya tidak terlalu kinestetik namun rasanya anak dimana – mana hampir memiliki kesepakatan yang seragam mencoreti dinding yang senyatanya sangat kinclong.
Menikmati tontonan dikala menyantap hidangan ba’da shalat isya misalnya nasi liwet dengan sayur daun kelor berbumbu sederhana turunan para leluhur cukup bawang putih dan serai di geprek kemudian di taburi garam plus perasan lemon cukuplah kerupuk atau bersama udang buntel terasa sangat mewah dan layak kami berucap Alhamdulillah.
Kenikmatan hidangan dan tontonan penyempurna rasa dalam jiwa dan jasmani adalah disaat kami bisa duduk diatas kursi usang berwarna merah marun, kondisinya memang tidak layak guna akan tetapi kami semua merasa sedemikian akrab dengan dia.
Pinggiran kursi sudah menjorok ke bawah karena bolong sehingga dicari akal untuk mendatarkannya saat posisi duduk bisa datar dan memberi kenyamanan.
Maka di tumpuklah dua bantal yang juga telah usang sehingga menutupi juga wilayah yang tidak pernah ada kesempatan juga dana untuk memperbaikinya, biarkan kursi merah marun itu bertahan hingga usianya berakhir.
Bunda tidak menjadikan prioritas untuk memperbaikinya kemungkinan butuh uang sekitar lima ratus ribuan, namun sekiranya kursi merah marun ini dapat diajak berdialog dia akan katakan pada siapapun bahwa Ayahnya anak – anak yang telah wafat pada tahun yang lalu menjadikan kursi merah marun ini sebagai tempat duduk pavoritnya.
Dari kursi merah marun ini putera puteri Ayah yang berjumlah dua belas terkadang berlomba agar bisa duduk karena keempukan dan kekokohannya.
Entah kapan bisa memprioritaskan memperbaikinya, harga lima ratus ribu itu bagi Bunda bisa membeli satu karung beras dan enam gas buah melon, bahkan lima ratus ribu itu bisa Bunda kirim untuk putera kelima yang kuliah di Jakarta dua ratus lima puluh ribu dan buat puteri ke tujuh yang kuliah di Malang dua ratus lima puluh ribu.
Kursi merah marun yang usang kini usianya mendekati hampir dua puluh lima tahun, belum hancur masih tetap menjadi kursi seperti singgasana para raja dan ratu memiliki kedudukan terhormat karena selalu menjadi pilihan.
Secara imajiner kadang kursi merah marun mengkhabarkan pada kami betapa bahagianya ia menyaksikan keluarga ini dengan keadaan yang serba terbatas dan menunggu selalu kehadiran Ayah yang biasa duduk disini di pandang dengan senyuman oleh putera dan puterinya sambil mengucapkan kalimat – kalimat persembahan cintanya pada Sang Ilahi Robbi.
Salam Milad “Novaversary”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H