Pinggiran kursi sudah menjorok ke bawah karena bolong sehingga dicari akal untuk mendatarkannya saat posisi duduk bisa datar dan memberi kenyamanan.
Maka di tumpuklah dua bantal yang juga telah usang sehingga menutupi juga wilayah yang tidak pernah ada kesempatan juga dana untuk memperbaikinya, biarkan kursi merah marun itu bertahan hingga usianya berakhir.
Bunda tidak menjadikan prioritas untuk memperbaikinya kemungkinan butuh uang sekitar lima ratus ribuan, namun sekiranya kursi merah marun ini dapat diajak berdialog dia akan katakan pada siapapun bahwa Ayahnya anak – anak yang telah wafat pada tahun yang lalu menjadikan kursi merah marun ini sebagai tempat duduk pavoritnya.
Dari kursi merah marun ini putera puteri Ayah yang berjumlah dua belas terkadang berlomba agar bisa duduk karena keempukan dan kekokohannya.
Entah kapan bisa memprioritaskan memperbaikinya, harga lima ratus ribu itu bagi Bunda bisa membeli satu karung beras dan enam gas buah melon, bahkan lima ratus ribu itu bisa Bunda kirim untuk putera kelima yang kuliah di Jakarta dua ratus lima puluh ribu dan buat puteri ke tujuh yang kuliah di Malang dua ratus lima puluh ribu.
Kursi merah marun yang usang kini usianya mendekati hampir dua puluh lima tahun, belum hancur masih tetap menjadi kursi seperti singgasana para raja dan ratu memiliki kedudukan terhormat karena selalu menjadi pilihan.
Secara imajiner kadang kursi merah marun mengkhabarkan pada kami betapa bahagianya ia menyaksikan keluarga ini dengan keadaan yang serba terbatas dan menunggu selalu kehadiran Ayah yang biasa duduk disini di pandang dengan senyuman oleh putera dan puterinya sambil mengucapkan kalimat – kalimat persembahan cintanya pada Sang Ilahi Robbi.
Salam Milad “Novaversary”