[caption caption="Fiksiana Communiity"][/caption]
My Diary . . .
Muncul dalam ingatanku yang hampir usang di makan usia
Beberapa kisah masa lalu pahit getir bagi kami yang sempat menyaksikan runtuhnya satu kejayaan,
Kejayaan tentang jiwa yang merasa dirinya agung dan berbeda
Seakan satu sekte yang sering disebut darah biru
Birunya darah birunya nasib hampa
Jika saja jam waktu bisa kita putar seenak maunya manusia sesungguhnya mungkin tiada sesal dan derita . . .
Suatu ketika seorang Ibu darah biru paruh baya berambut sasak di puncak kepalanya, bergincu warna cabe merah kemewahan jaman baheula di tatar Pasundan . . .
Jujur kemudian merah itu menjadi patokan penganten Sunda buhun . .
Ibu Iis Tresnawati, (bukan nama sesungguhnya . . )
Wajahnya agak – agak mirip Marilyn Monroe yang ngehits ke seantero
Entahlah kadang aku lebih memikirkan dia mirip Nyai Ontosorough di Bumi Manusia sang Pramoedya
Mungkin karena melihat sekte yang di bangun dalam kehidupan nyata dan mengabadikan kepada para tetangganya.
Bertetangga dengan beberapa menak berderet agak sedikit membangun aura ngeri – ngeri jutek
Namun mereka juga berbatas dengan para tetangga yang hidup alakadarnya saja untuk dapat bertahan hidup sejenak
Telah menjadi kebiasaan Ibu menak setiap jam 11 siang menjelang Matahari naik ke puncak, mengambil kunci lemari antik yang disimpan dalam box bernomer rahasia . . . entah no berapa
Tampaknya iapun menyimpan dalam ingatannya sedemikian rapih sehingga tidak seorangpun mengetahuinya, termasuk putera – puteri anak dan mantu yang hampir semuanya tinggal diluar kota.
Kunci dalam kotak ia buka dengan melafalkannya di lisan sambil berusaha mengingat angka demi angka, dan kunci digenggaman segera dibawa menuju lemari antik pembatas ruang tamu dan ruang keluarga . . .
Lemari antik berwarna hitam legam berukiran sejenis jepara meliuk liuk indah dedaunan pahatan jarang orang memilikinya hanya para menak saja
Ah . . . riang hatinya saat lemari terbuka beberapa baris kain batik tersusun rapih pada lima tingkat
Ditatap satu demi satu dari tingkat satu hingga ke tingkat lima kemudian sebaliknya dari tingkat lima menuju tingkat satu tersenyum senyum mencoba menariknya salah satu berwarna merah daun sirih yang bercampur pinang saat si Mbok – mbok menginang dan meludah disembarang tempat . . .
[caption caption="https://www.google.co.id/search?hl=en&site=imghp&tbm=isch&source=hp&biw=1143&bih=559&q=batik+tiga+negeri&oq=batik+tiga+negeri&gs"]
Berucap agak berbisik seperti mengucap mantera,
“batik tiga negeri merah Lasem, biru Pekalongan soga Solo
Oh . . . tiga negeri . . .
Keindahan warna alami warna alam adalah jiwaku yang cantik, biru ku yang anggun sogaku yang tiada duanya”
Seakan Iis Tresnawati berjumpa dengan kekasihnya yang teramat ia cintai berdialog mesra tersenyum senyum romantis
Esok hari ia lakukan hal yang sama, seusai menarik salah satu kain batik bercorak lembut agak putih krem ia kembali seakan berucap mantera :
“batik Veldhuisen . . . Veldhuisen karyamu apik tak tertandingi, Veldhuisen aku memujamu . . . siapa rekanmu itu, berikan aku satu nama untuk ku mengenalnya tampak bungamu indah rumahmu nyaman”
Hampir semua rekan Iis Trenawati akan terpesona dengan koleksi batik antiknya, disamping mahal dengan kisah – kisah perburuan semasa kehidupannya berjaya . . .
Dan ia tidak akan membiarkan batik tiga negeri tanpa sentuhan dan ungkapan “batik tiga negeri merah Lasem, biru Pekalongan soga Solo” mantera – mantera usang yang tidak sedikitpun menolongnya.
Sudah takdir sang menak, saat wafat pintu lemari antik terkunci dengan nomor rahasia batik mahal berhaga ratusan juta tak seorangpun dapat membukanya.
Apa mau dikata saat kematian datang, salah seorang tetangga miskin berkenan meminjamkan kain panjang lusuh sebagai penutup jenazah entah untuk seketika dan sementara entah hingga kapan.
Salam Fiksiana,
Rabu 5 Rajab / 13 April 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H