Adalah anugerah Allah saat akhirnya puteri ke sembilan kami jadi berangkat ke Makassar meskipun dengan ketrampilan minim, jikapun sampai arena perkemahan Bantimurung sepertinya kelompok puteri kami ini semacam tim penggembira atau peninjau atau semacam tim hore agar lapangan luas yang ada semakin semarak dengan adanya rombongan peserta dari Bandung ( hm . . . jauhnya pelayaran anak kami ! )
Packing Barang yang Hingar Bingar
Kholillah berangkat dengan pengetahuan minim tentang perkemahan, sejak sabtu 25 juli Kakak ke empatnya bertanya berbagai hal tentang perbekalan yang akan ia persiapkan dan planning dirinya tentang keselamatan, ia gagap dan seakan tidak memperoleh info apapun, maka kami berinisiatif cepat ; terutama yang perlu Bunda persiapkan :
- Perbekalan Bandung – Surabaya ( alat shalat, alat mandi, makanan dan minuman ) ini disimpan di luar saja.
- Perbekalan di Pelayaran Surabaya – Makassar ( disamping poin satu, bunda tambah sambel terasi instan, sambal pedas instan, cream creackers )
- Perbekalan selama di Bumi Perkemahan ( poin satu, poin dua plus beberapa makanan kaleng, garam !! ) Bunda jelaskan garam sedemikian penting tabur saja disekeliling tenda, jaga – jaga.
Tentu saja poin tiga letakkan paling bawah, packing – packing ini membutuhkan waktu hingga empat jam . . . karena saling bersikukuh bahwa packing barang akan dilakukan oleh pembina putera ( amphuuun habis ni puteri Bunda !! )
Kakaknya, ceramahlah . . . packing barang itu urusan masing – masing individu bukan urusan Kakak Pembina , apalagi Kakak Pembina putera sampai sang Kakak emosi : “kamu itu anak perempuan, lalu akan packing Kakak Pembina Putera, apa kamu tidak malu seluruh pakaian dalam dirapihkan Kakak Pembina putera ikh !! malu Kholil . . . lalu jika semua anggota kepanduan yang melaksanakan pengepakan barang Kakak Pembina – nya, ngapain kerja kalian ?” Bunda melerai kedua-nya dan menasihati Kakak perempuannya ; “sudah – sudah kamu juga ngga perlu emosi, adik kamu itu bingung, tidak faham dan kurang wawasan ya udah kita saja yang mengepak barangnya sampil juga memberikan beberapa instruksi”.
Sambil mengepak barang – barang puteri ke sembilan, Bunda sedikit berkisah padanya ;
“Kholillah . . . kamu harus bersyukur, bisa berangkat jambore dengan peralatan dan perlengkapan yang memadai sampai mengepak barang dilalukan Bunda dengan Tetehnya, dulu Bunda tidak memiliki sleeping bag sebagus yang kamu bawa saat ini, Bunda menjahit sendiri dari selimut bekas dilapis plastik putih transparan dengan jahit tangan, ransel yang Bunda pakai dipinjami Kakak Pembina ke teman – temannya sesama pramuka, bahkan tas tenteng terbuat dari karung tepung terigu” kisah nyata itu Bunda sampaikan agar ia faham bahwa hidup kami dahulu tidak lah mudah.